Samar di antara kabut debu, Gie melihat Ran berlari menghampirinya.
Dikedip-kedipkannya matanya dengan heran bercampur was-was. Mengapa Ran kembali? Apakah mereka terhadang? Lalu, bagaimana nasib Rhein?
“Cepat lari, Gie, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi,” bisik Ran sambil memapah Gie bangkit dan mulai berlari dengan amat terseok. Sementara di belakangnya Rijal mengikuti sambil merangkul Plenyun dan Ridwan.
“Apa yang terjadi, Ran? D-di mana Rhein?” susah-payah Gie bertanya.
Antara sadar dan tidak sadar, Gie mendengar Ran mengatakan bahwa Rhein telah dapat diselamatkan. Tapi dalam kesadarannya yang timbul-tenggelam, Gie justru merasa mereka di kejar oleh Jono Novanto dan para serigala ekonomi serta suster dan perawat gadungan.
Dilihatnya mereka kembali terkepung, dengan Rhein menjadi sandera mereka.
“Biadab! Lepaskan Rhein! Cepat lepaskan…!!!”
Gie mengamuk sejadi-jadinya. Tapi sisa tenaga yang dia miliki tak cukup untuk mendukung ambisinya.
“Raannn! Nyuunnn! Tolong selamatkan Rhein! Tolong, Waaannn! Tolong selamatkan Rheiiinnnn…!!!”
Gie merasa ada begitu banyak pasang tanganmenghujani wajahnya dengan pukulan. Walau anehnya ada juga yang mengusap jidat dan pipinya. Sementara tubuhnya diguncang agak keras.
“Tolong Rhein segeraaa…!!! Siapapun tolong Rheinnnn…! Jangan biarkan dia matiiii!!!”