Prolog:
Terasa asing di sini,
celingukan mencarimu
jauh....
Sengaja melempar pandang di sepanjang
jalanan, berharap bau rambutmu
tercium olehku, atau aroma kulit remajamu dulu telah tergerus usia?
Tak lelah mencarimu
jejak yang kupastikan kau pernah singgah disini
mungkin sesaat, mungkin cuma hanya melepas lelah dari panasnya kota
Aku berjalan dari etalase menuju etalasi,
membaui kopi mengepul dari kafe-kafe yang berderetan
dari tawa dan senyum ramah para penjaganya
dari hembusan napas-napas lelah
Ah, suatu saat aku akan mampir,
sekedar ngopi dan mencari tahu
jejakmu di sini
Aku melangkah perlahan di trotoar yang ramai, mataku menyapu setiap sudut jalan dengan penuh harap. Sudah lima belas tahun berlalu sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota ini. Kembali ke sini bukan sekadar kunjungan biasa; aku datang dengan misi khusus: mencari jejak cinta masa laluku, Ken.
Kota ini telah banyak berubah. Gedung-gedung pencakar langit kini berdiri angkuh, menggantikan bangunan-bangunan tua yang dulu menjadi saksi bisu kisah cinta kami. Namun, aku yakin masih ada serpihan kenangan yang tersisa, menunggu untuk ditemukan.
Aku terus berjalan, mataku menatap lekat setiap wajah yang lewat, berharap menemukan sepasang mata yang familiar. Hidungku mencoba menangkap aroma parfum yang mungkin masih sama seperti dulu. Namun, yang kutemui hanyalah wajah-wajah asing dan aroma kopi yang menguar dari deretan kafe modern.
Langkahku terhenti di depan sebuah toko buku. Dulu, di tempat ini berdiri sebuah toko musik kecil tempat aku dan Ken sering menghabiskan waktu. Kami akan mendengarkan lagu-lagu romantis, berbagi earphone, dan membayangkan masa depan bersama. Kini, rak-rak buku telah menggantikan deretan kaset dan CD.
Saat matahari mulai condong ke barat, aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu kafe. Aku memesan secangkir kopi, aroma yang mengingatkanku pada kencan pertama kami di sebuah kedai kopi sederhana. Sambil menyesap kopi, aku mengeluarkan selembar foto usang dari dompet. Foto itu menampilkan aku dan Ken, tersenyum bahagia di depan air mancur taman kota.
Tiba-tiba, seorang pelayan mendekati mejaku. "Maaf, Pak. Boleh saya lihat foto itu?" tanyanya sopan. Aku mengangkat alis, terkejut, namun mengizinkan. Pelayan itu mengamati foto tersebut, lalu tersenyum. "Saya kenal wanita ini. Dia sering datang ke kafe ini beberapa tahun lalu."
Jantungku berdegup kencang. "Benarkah? Apa kau tahu di mana dia sekarang?"
Pelayan itu menggeleng pelan. "Maaf, saya tidak tahu pasti. Tapi dia selalu duduk di meja pojok sana," katanya sambil menunjuk ke arah sebuah meja dekat jendela.
Aku mengucapkan terima kasih dan berpindah ke meja yang ditunjuk. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan jalan raya yang sibuk. Apakah Ken juga duduk di sini, memandangi orang-orang yang berlalu lalang, mungkin juga mencari sosokku di antara kerumunan?
Saat aku tenggelam dalam lamunan, mataku menangkap sesuatu yang terukir di sudut meja. Dengan jantung berdebar, aku menyibakkan taplak meja dan melihat ukiran samar: "K + A". Mungkinkah ini Ken dan Aku? Atau hanya kebetulan yang mempermainkan harapanku?
Aku memutuskan untuk kembali ke sini setiap hari, berharap suatu saat akan berpapasan dengan Ken. Hari demi hari berlalu, dan meski Ken tak kunjung muncul, aku mulai mengenal para pelanggan tetap dan staf kafe. Mereka menceritakan tentang seorang wanita yang sering datang sendirian, membawa buku sketsa dan menghabiskan waktu berjam-jam menggambar.
Suatu sore, seorang pelanggan tua menghampiriku. "Kau pasti Andi," katanya. Aku terkejut, bertanya bagaimana dia bisa tahu. "Ken sering bercerita tentangmu," jawabnya dengan senyum hangat. "Dia pindah ke kota Sidoarjo setahun lalu, tapi masih sering meneleponku."
Dengan tangan gemetar, aku menerima secarik kertas berisi alamat Ken dari orang tua itu. Keesokan harinya, aku berangkat ke kota Sidoarjo, membawa harapan dan keraguan yang bercampur aduk.
Aku tiba di sebuah galeri seni kecil. Di etalase, terpajang lukisan pemandangan kota yang sangat kukenal - kota kami. Dan di sana, di depan sebuah kanvas besar, berdiri sosok yang selama ini kucari.
"Ken," panggilku lembut.
Dia berbalik, matanya melebar kaget, lalu berkaca-kaca. "Andi? Benarkah ini kau?"
Kami berpelukan, lima belas tahun kerinduan luruh dalam dekapan erat. Ada begitu banyak yang ingin kuceritakan, begitu banyak yang ingin kutanyakan. Tapi untuk saat ini, kehadirannya sudah lebih dari cukup.
"Aku selalu berharap kau akan menemukanku," bisik Ken.
"Dan aku tak pernah berhenti mencarimu," jawabku.
Di luar galeri, kota bergerak dalam ritme modernnya yang cepat. Tapi di sini, waktu seolah berhenti. Kami kembali ke masa di mana cinta kami bermula, siap untuk menulis bab baru dalam kisah kami.
Dua cangkir kopi mengepul di atas meja,
Dua pasang mata saling menatap dalam hening,
Lima belas tahun terurai dalam senyuman.
Kota boleh berubah, waktu boleh berlalu,
Tapi cinta sejati selalu menemukan jalannya pulang.
Dalam lukisan-lukisan Ken,
Dalam pencarianku yang tak kenal lelah,
Kisah kami terus hidup, menanti untuk dilanjutkan.
Hari-hari berikutnya berlalu seperti mimpi. Ken dan aku menghabiskan waktu berjam-jam di galerinya, berbagi cerita tentang tahun-tahun yang telah kami lewati terpisah. Aku menceritakan tentang karirku di luar negeri, tentang kota-kota yang kutemui, dan bagaimana tak ada yang bisa menggantikan kenangan akan kota kami. Ken bercerita tentang perjalanannya sebagai seniman, bagaimana dia mengabadikan memori kami dalam lukisan-lukisannya.
"Setiap kali aku melukis kota kita, aku berharap suatu hari nanti kau akan melihatnya dan menemukanku," kata Ken suatu hari, tangannya sibuk memoles kanvas dengan warna-warna hangat senja.
Aku mengamati lukisannya yang menggambarkan taman kota kami, tempat kami sering menghabiskan waktu dulu. "Dan di sinilah aku sekarang," jawabku, menggenggam tangannya.
Minggu-minggu berlalu, dan kami mulai membicarakan masa depan. Haruskah aku pindah ke kota ini? Atau Ken yang akan kembali ke kota kami? Bagaimana kami bisa membangun kembali hubungan ini setelah sekian lama?
"Mungkin kita bisa memulai dari awal," usul Ken suatu malam, saat kami duduk di beranda apartemennya, memandangi langit berbintang. "Kembali ke kota kita, memulai hidup baru bersama."
Ide itu terdengar menggoda. Kembali ke akar, ke tempat di mana semua bermula, tapi kali ini dengan perspektif baru dan cinta yang telah teruji waktu.
"Tapi bagaimana dengan galerimu di sini?" tanyaku.
Ken tersenyum, "Aku bisa membuka galeri baru di sana. Lagipula, kota kita selalu menjadi inspirasi terbesar bagiku."
Seminggu kemudian, kami berkemas. Lukisan-lukisan Ken, buku-bukuku, dan kenangan-kenangan baru yang telah kami ciptakan, semua dimasukkan ke dalam kardus-kardus. Kami siap untuk babak baru dalam hidup kami.
Saat mobil kami melaju kembali ke kota masa kecil kami, aku merasakan campuran antara nostalgia dan antisipasi. Kota itu mungkin telah berubah, tapi inti dari apa yang membuatnya istimewa bagi kami masih ada - cinta kami.
"Siap untuk petualangan baru?" tanya Ken, tangannya menggenggam tanganku.
Aku mengangguk, "Selama bersamamu, aku siap menghadapi apa pun."
Dan begitulah, kisah pencarian kami berakhir, hanya untuk memulai babak baru yang lebih indah. Kota itu menyambut kami kembali, siap menjadi saksi atas cinta yang telah menemukan jalannya pulang.
Akhir yang sekaligus menjadi awal,
Dua hati yang terpisah kini bersatu,
Dalam pelukan kota yang tak pernah terlupakan.
Setahun Kemudian:
Waktu berlalu dengan cepat sejak kami kembali ke kota ini. Ken berhasil membuka galeri barunya di pusat kota, tak jauh dari kafe tempat kami bertemu dulu. Galeri itu menjadi sensasi baru di kota kami yang sedang berkembang, menarik pengunjung dari berbagai kalangan.
Aku sendiri memutuskan untuk menulis novel, terinspirasi oleh perjalanan kami. Setiap pagi, aku duduk di meja yang sama di kafe itu, mengetik sambil sesekali memandang ke luar jendela, mengamati kota yang perlahan berubah namun tetap familiar.
Suatu hari, saat sedang menulis, aku mendengar suara yang familiar.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Ken, tersenyum lembut.
Aku mengangguk, tersenyum balik. "Tentu saja. Bukankah ini meja kita?"
Ken duduk, meletakkan secangkir kopi di depanku. "Bagaimana novelmu?"
"Hampir selesai," jawabku. "Tapi aku masih bingung dengan endingnya."
Ken terdiam sejenak, matanya menerawang ke luar jendela. "Kau tahu," katanya pelan, "kadang-kadang ending terbaik adalah awal yang baru."
Kata-katanya mengingatkanku pada perjalanan kami. Bagaimana setiap akhir selalu membawa kami ke awal yang baru, ke petualangan baru.
"Ken," aku berkata, menutup laptopku. "Ayo kita jalan-jalan."
Kami berjalan menyusuri jalan-jalan kota, tangan bergandengan. Kota ini telah berubah, gedung-gedung baru menjulang di antara bangunan lama yang familiar. Tapi di setiap sudut, ada kenangan kami.
Kami berhenti di taman kota, tempat kami sering menghabiskan waktu dulu. Bangku tua kami masih ada di sana, sedikit aus dimakan waktu tapi tetap kokoh.
"Aku punya ide," kata Ken tiba-tiba. Dia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mulai mengukir sesuatu di bangku itu.
"K + A," bacaku saat dia selesai. Sama seperti ukiran di meja kafe dulu.
Ken tersenyum, "Untuk menandai awal yang baru ini."
Saat kami duduk di bangku itu, memandangi matahari yang mulai terbenam, aku sadar bahwa inilah ending yang kucari untuk novelku. Bukan sebuah akhir, tapi sebuah kelanjutan. Sebuah janji akan lebih banyak hari yang akan kami lalui bersama, lebih banyak kenangan yang akan kami ukir di kota ini.
"Ken," bisikku, "Terima kasih telah menemukanku lagi."
Dia menggenggam tanganku erat, "Dan terima kasih telah kembali padaku."
Saat langit berubah jingga, kami tetap duduk di sana, dua jiwa yang telah menemukan rumah dalam diri satu sama lain dan dalam kota yang telah mempertemukan kami kembali.
Malam itu, saat aku menyelesaikan bab terakhir novelku, aku sadar bahwa kisah kami, seperti kota ini, akan terus berkembang.
Setiap hari adalah lembaran baru dalam kisah kami yang terus berlanjut. Aku mengetik kalimat terakhir novelku dengan perasaan puas, menyadari bahwa meskipun buku ini telah selesai, cerita kami masih jauh dari kata akhir.
Galeri Ken telah berkembang menjadi pusat seni yang terkenal di kota kami. Karyanya kini tidak hanya menggambarkan masa lalu kami, tetapi juga momen-momen baru yang kami ciptakan bersama. Sementara itu, novelku telah diterbitkan dan mendapat sambutan hangat dari pembaca.
Suatu pagi, Ken mengajakku ke pantai tempat kami sering menghabiskan waktu di masa muda. Ombak bergulung lembut menyapa kaki kami saat kami berjalan di sepanjang garis pantai.
"Aku punya kejutan untukmu," kata Ken, mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya.
Dengan penasaran, aku membuka amplop itu. Di dalamnya ada selembar tiket pesawat dan brosur sebuah desa kecil di Italia.
"Aku ingin kita memulai petualangan baru," Ken menjelaskan. "Bagaimana kalau kita tinggal di sana selama setahun? Aku bisa melukis pemandangan baru, dan kau bisa mendapatkan inspirasi untuk novel berikutnya."
Aku terdiam sejenak, terkejut dan terharu. "Tapi bagaimana dengan galerimu? Dan kota ini?"
Ken tersenyum, "Galeri bisa diurus dari jarak jauh. Dan kota ini... well, dia akan selalu ada di sini menunggu kita kembali."
Aku memeluknya erat, "Ya, ayo kita lakukan!"
Â
Enam Bulan Kemudian, di Italia:
Kami menyewa sebuah rumah kecil di bukit yang menghadap ke laut. Setiap pagi, aku bangun dengan pemandangan matahari terbit yang memukau, sementara Ken sudah sibuk dengan kanvas dan cat-catnya di beranda.
Hari-hari kami dipenuhi dengan eksplorasi desa-desa kecil, mencicipi makanan lokal, dan bertemu dengan penduduk setempat yang ramah. Malam-malam kami dihabiskan dengan berbagi cerita tentang pengalaman kami sepanjang hari, atau hanya duduk dalam diam menikmati anggur lokal sambil memandangi bintang-bintang.
Suatu malam, saat kami duduk di beranda, Ken berkata, "Kau tahu, Aku, kadang aku berpikir tentang berapa banyak yang telah kita lalui untuk sampai di sini."
Aku mengangguk, "Ya, perjalanan kita tidak selalu mudah. Tapi setiap langkah membawa kita lebih dekat satu sama lain."
Ken menggenggam tanganku, "Dan aku bersyukur untuk setiap langkah itu."
Saat itu, memandang Ken di bawah cahaya bulan Italia, aku menyadari bahwa cinta kami telah berevolusi. Dari cinta muda yang penuh gairah, menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih abadi.
"Ken," aku berbisik, "Terima kasih telah menjadi rumahku, di manapun kita berada."
Dia tersenyum, matanya berkaca-kaca, "Dan kau adalah rumahku, selalu."
Malam itu, di bawah langit berbintang Italia, kami membuat janji baru. Untuk terus menciptakan petualangan
Setahun berlalu di Italia, dan hari kepulangan kami ke tanah air semakin dekat. Namun, pagi itu, aku terbangun dan mendapati sisi tempat tidur Ken kosong. Di atas bantal, ada secarik kertas dengan tulisan tangannya yang khas:
"Temui aku di tempat pertama kali kita bertemu. Ada sesuatu yang harus kukatakan."
Jantungku berdebar kencang. Tempat pertama kali kami bertemu? Itu berarti kembali ke kota kami di Indonesia. Tapi kenapa? Dan mengapa Ken pergi tanpa memberitahuku?
Dengan tergesa-gesa, aku mengemas barang-barangku dan memesan tiket pulang ke Indonesia. Sepanjang perjalanan, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Apakah ada sesuatu yang salah? Apakah Ken menemukan sesuatu dari masa lalu kami?
Setibanya di kota kelahiran kami, aku langsung menuju taman kota, tempat kami pertama kali bertemu dulu. Hari sudah senja ketika aku tiba. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang lewat. Aku mencari-cari sosok Ken, tapi dia tak terlihat di manapun.
Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu yang berkilau di bangku taman tempat kami biasa duduk. Aku mendekat dan menemukan sebuah amplop berwarna emas. Dengan tangan gemetar, aku membukanya.
Di dalamnya ada selembar kertas dengan tulisan Ken:
"Aku, maafkan aku harus melakukan ini. Ada sesuatu yang harus kau ketahui, tapi aku tak bisa mengatakannya langsung padamu. Temui aku di tempat di mana kita berpisah dulu. Aku akan menunggumu di sana, tak peduli berapa lama waktu yang kau butuhkan. Aku mencintaimu, selalu."
Aku terduduk di bangku taman, pikiranku kacau. Tempat di mana kami berpisah dulu? Itu bisa berarti banyak hal. Apakah maksudnya bandara? Atau caf tempat kami bertengkar terakhir kali sebelum berpisah?
Saat matahari terbenam, aku masih duduk di sana, mencoba memecahkan teka-teki ini. Apa yang ingin Ken katakan? Mengapa dia melakukan semua ini?
Dengan sejuta pertanyaan yang belum terjawab, aku bangkit. Ke manapun Ken pergi, aku akan menemukannya. Karena bagaimanapun, dia adalah rumahku, dan aku akan selalu kembali padanya.
Aku melangkah keluar dari taman, tidak yakin ke mana aku harus pergi selanjutnya, tapi yakin bahwa ini adalah awal dari petualangan baru kami. Dan ditiitk ini, aku kembali mencari Ken, Ken Sari gadis cantik dengan senyum sempurna......
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H