Mohon tunggu...
Agus Tjakra Diredja
Agus Tjakra Diredja Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hapus batas dunia, jelajahi isinya. Jika jenuh, temukan kedamaian dalam secangkir kopi dan keheningan, karena menulis adalah pelarian dan cara berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Roman

Jejak-Jejak Cinta dalam Pusaran Waktu

25 Oktober 2024   21:38 Diperbarui: 25 Oktober 2024   21:52 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber freepik)

Dia berbalik, matanya melebar kaget, lalu berkaca-kaca. "Andi? Benarkah ini kau?"

Kami berpelukan, lima belas tahun kerinduan luruh dalam dekapan erat. Ada begitu banyak yang ingin kuceritakan, begitu banyak yang ingin kutanyakan. Tapi untuk saat ini, kehadirannya sudah lebih dari cukup.

"Aku selalu berharap kau akan menemukanku," bisik Ken.

"Dan aku tak pernah berhenti mencarimu," jawabku.

Di luar galeri, kota bergerak dalam ritme modernnya yang cepat. Tapi di sini, waktu seolah berhenti. Kami kembali ke masa di mana cinta kami bermula, siap untuk menulis bab baru dalam kisah kami.

Dua cangkir kopi mengepul di atas meja,

Dua pasang mata saling menatap dalam hening,

Lima belas tahun terurai dalam senyuman.

Kota boleh berubah, waktu boleh berlalu,

Tapi cinta sejati selalu menemukan jalannya pulang.

Dalam lukisan-lukisan Ken,

Dalam pencarianku yang tak kenal lelah,

Kisah kami terus hidup, menanti untuk dilanjutkan.


Hari-hari berikutnya berlalu seperti mimpi. Ken dan aku menghabiskan waktu berjam-jam di galerinya, berbagi cerita tentang tahun-tahun yang telah kami lewati terpisah. Aku menceritakan tentang karirku di luar negeri, tentang kota-kota yang kutemui, dan bagaimana tak ada yang bisa menggantikan kenangan akan kota kami. Ken bercerita tentang perjalanannya sebagai seniman, bagaimana dia mengabadikan memori kami dalam lukisan-lukisannya.

"Setiap kali aku melukis kota kita, aku berharap suatu hari nanti kau akan melihatnya dan menemukanku," kata Ken suatu hari, tangannya sibuk memoles kanvas dengan warna-warna hangat senja.

Aku mengamati lukisannya yang menggambarkan taman kota kami, tempat kami sering menghabiskan waktu dulu. "Dan di sinilah aku sekarang," jawabku, menggenggam tangannya.

Minggu-minggu berlalu, dan kami mulai membicarakan masa depan. Haruskah aku pindah ke kota ini? Atau Ken yang akan kembali ke kota kami? Bagaimana kami bisa membangun kembali hubungan ini setelah sekian lama?

"Mungkin kita bisa memulai dari awal," usul Ken suatu malam, saat kami duduk di beranda apartemennya, memandangi langit berbintang. "Kembali ke kota kita, memulai hidup baru bersama."

Ide itu terdengar menggoda. Kembali ke akar, ke tempat di mana semua bermula, tapi kali ini dengan perspektif baru dan cinta yang telah teruji waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun