Mohon tunggu...
Agus Tjakra Diredja
Agus Tjakra Diredja Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hapus batas dunia, jelajahi isinya. Jika jenuh, temukan kedamaian dalam secangkir kopi dan keheningan, karena menulis adalah pelarian dan cara berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Roman

Jejak-Jejak Cinta dalam Pusaran Waktu

25 Oktober 2024   21:38 Diperbarui: 25 Oktober 2024   21:52 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber freepik)

Saat matahari mulai condong ke barat, aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu kafe. Aku memesan secangkir kopi, aroma yang mengingatkanku pada kencan pertama kami di sebuah kedai kopi sederhana. Sambil menyesap kopi, aku mengeluarkan selembar foto usang dari dompet. Foto itu menampilkan aku dan Ken, tersenyum bahagia di depan air mancur taman kota.

Tiba-tiba, seorang pelayan mendekati mejaku. "Maaf, Pak. Boleh saya lihat foto itu?" tanyanya sopan. Aku mengangkat alis, terkejut, namun mengizinkan. Pelayan itu mengamati foto tersebut, lalu tersenyum. "Saya kenal wanita ini. Dia sering datang ke kafe ini beberapa tahun lalu."

Jantungku berdegup kencang. "Benarkah? Apa kau tahu di mana dia sekarang?"

Pelayan itu menggeleng pelan. "Maaf, saya tidak tahu pasti. Tapi dia selalu duduk di meja pojok sana," katanya sambil menunjuk ke arah sebuah meja dekat jendela.

Aku mengucapkan terima kasih dan berpindah ke meja yang ditunjuk. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan jalan raya yang sibuk. Apakah Ken juga duduk di sini, memandangi orang-orang yang berlalu lalang, mungkin juga mencari sosokku di antara kerumunan?

Saat aku tenggelam dalam lamunan, mataku menangkap sesuatu yang terukir di sudut meja. Dengan jantung berdebar, aku menyibakkan taplak meja dan melihat ukiran samar: "K + A". Mungkinkah ini Ken dan Aku? Atau hanya kebetulan yang mempermainkan harapanku?

Aku memutuskan untuk kembali ke sini setiap hari, berharap suatu saat akan berpapasan dengan Ken. Hari demi hari berlalu, dan meski Ken tak kunjung muncul, aku mulai mengenal para pelanggan tetap dan staf kafe. Mereka menceritakan tentang seorang wanita yang sering datang sendirian, membawa buku sketsa dan menghabiskan waktu berjam-jam menggambar.

Suatu sore, seorang pelanggan tua menghampiriku. "Kau pasti Andi," katanya. Aku terkejut, bertanya bagaimana dia bisa tahu. "Ken sering bercerita tentangmu," jawabnya dengan senyum hangat. "Dia pindah ke kota Sidoarjo setahun lalu, tapi masih sering meneleponku."

Dengan tangan gemetar, aku menerima secarik kertas berisi alamat Ken dari orang tua itu. Keesokan harinya, aku berangkat ke kota Sidoarjo, membawa harapan dan keraguan yang bercampur aduk.

Aku tiba di sebuah galeri seni kecil. Di etalase, terpajang lukisan pemandangan kota yang sangat kukenal - kota kami. Dan di sana, di depan sebuah kanvas besar, berdiri sosok yang selama ini kucari.

"Ken," panggilku lembut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun