"Boleh aku duduk di sini?" tanya Ken, tersenyum lembut.
Aku mengangguk, tersenyum balik. "Tentu saja. Bukankah ini meja kita?"
Ken duduk, meletakkan secangkir kopi di depanku. "Bagaimana novelmu?"
"Hampir selesai," jawabku. "Tapi aku masih bingung dengan endingnya."
Ken terdiam sejenak, matanya menerawang ke luar jendela. "Kau tahu," katanya pelan, "kadang-kadang ending terbaik adalah awal yang baru."
Kata-katanya mengingatkanku pada perjalanan kami. Bagaimana setiap akhir selalu membawa kami ke awal yang baru, ke petualangan baru.
"Ken," aku berkata, menutup laptopku. "Ayo kita jalan-jalan."
Kami berjalan menyusuri jalan-jalan kota, tangan bergandengan. Kota ini telah berubah, gedung-gedung baru menjulang di antara bangunan lama yang familiar. Tapi di setiap sudut, ada kenangan kami.
Kami berhenti di taman kota, tempat kami sering menghabiskan waktu dulu. Bangku tua kami masih ada di sana, sedikit aus dimakan waktu tapi tetap kokoh.
"Aku punya ide," kata Ken tiba-tiba. Dia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mulai mengukir sesuatu di bangku itu.
"K + A," bacaku saat dia selesai. Sama seperti ukiran di meja kafe dulu.