***
Sebulan kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja. Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah lebar.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian. Tak terasa sudah tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga bulan persis setelah pemecatan dirinya.
Pada suatu hari Inov meneleponku.
"Dik, aku merasa ada yang aneh."
"Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?"
"Justru itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar. Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa kupenuhi semua. Bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah."
Aku terdiam. Bukan iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.
"Ya, sudah.... Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi." Aku berpesan setengah bercanda.
Pembicaraan itupun berakhir. Aku merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
***