Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa alasannya, dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap diam tak berusaha bertanya kepadanya.
Di luar dugaanku, Inov berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami. Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih besar, hampir dua kali lipat malah.
Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penaranku muncul.
"Terus gimana, Nov? Kamu mau?"
"Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah."
"Ya... itu sih terserah kamu."
Pembicaraan terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih indah daripada senyumku.
Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.
***
Pada suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift kami.
Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi, malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang berada di bagian kasir.