"Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?"
"Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya."
Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.
"Setelah beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah, bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja."
"Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya."
"Ya, itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat. Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar."
Tak terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah melayang ke wajah tanpa dosa itu.
"Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?"
"Bapak???"
"Iya, kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak. Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di sana."
Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Ku tengadahkan wajahku ke langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.