Christian Anugrah
210902032
Nicastro Purba
210902104
Taufan Prajna Arrazy
210902118
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji atau menganalisis terdapatnya ketidaksetaraan gender pada prinsip Dalihan
Na Tolu dalam suku Batak Toba. Penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini bagaimana
Suku Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal) melalui prinsip Dalihan Na Tolu.
Analisis ini mempunyai tujuan untuk mengetahui struktur dan memperoleh gambaran yang jelas
mengenai Suku Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal) melalui prinsip
Dalihan Na Tolu. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini ialah metode
deskriptif kualitatif yang berupa penjelasan/penggambaran suatu keadaan yang isinya ditelaah dari
suatu dokumen. Sumber data yang dijadikan sebagai bahan acuan penulis, yakni artikel dan berita-
berita yang mengangkat isu ketidaksetaraan gender pada suku Batak Toba. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan teknik baca dan teknik catat. Berdasarkan hasil analisis data
dapat disimpulkan bahwa Sistem kekerabatan dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan
Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula, dongan
tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam prakteknya,
dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-hula dan boru menunjukkan
hierarki antara “yang dihormati” dan “yang melayani”. Hula-hula juga disebut sebagai “tuan” atau
“raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai sumber keturunan, sedangkan boru adalah siloja-loja
atau posisi yang siap untuk bekerja dan melayani hula-hula. Dengan demikian, kesetaraan
kedudukan orang Batak akan terlihat dalam sistem dalihan na tolu, yaitu mengalami ketidakadilan
atau ketidasetaran gender.
Kata Kunci: Gender, Batak, Dalihan Na Tolu
PENDAHULUAN
Suku Batak merupakan suku yang paling banyak ditemukan di Indonesia, selain Jawa dan
Sunda. Mereka terkenal memiliki banyak ciri khas, yaitu dari logat berbicara yang lantang dan
keras, memiliki banyak marga yang unik, serta memegang teguh pada adat istiadat mereka.
Masyarakat Batak dikenal sebagai orang-orang yang keras, pantang mundur, dan selalu pandai
menyesuaikan diri dimana pun mereka berada sesuai dengan prinsip masyarakat Batak,
yaitu Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon yang artinya kekayaan, kehormatan, dan memiliki
keturunan. Karena memiliki sifat serta prinsip tersebut, mengakibatkan persebaran masyarakat
Batak dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia maupun dunia.
Dari data Badan Pusat Statistik sesuai dengan hasil sensus penduduk tahun 2010 ditemukan
bahwa suku Batak merupakan suku terbesar ketiga di Indonesia jika dilihat dari jumlahnya, yakni
sebanyak 8.466.969 orang (3,58 % dari jumlah penduduk Indonesia), yang merupakan kelompok
kesatuan sosial dari bagian sub-suku masyarakat suku Batak yang berada di daerah Sumatera
Utara, khususnya berasal dari tempat lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah di
Indonesia dan bahkan dunia. Suku Batak terdiri atas lima sub-suku atau puak, yaitu Batak Toba,
Batak Karo, Batak Mandailing atau Angkola, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak. Suku Batak
memiliki banyak marga yang berfungsi sebagai tanda tali persaudaraan, sehingga jika ditotalkan
secara keseluruhan, suku Batak memiliki hampir 500 marga yang tersebar di setiap daerah atau
wilayah.
Suku Batak sendiri menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan
sendirinya keturunan marga juga berasal dari bapak. Paham patrilineal menjadi suatu kebanggan
tersendiri pada masyarakat Batak. Namun, isu ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender pada suku
Batak semakin meluas mengakibatkan banyak masyarakat luar dari suku Batak yang ingin mencari
tahu lebih dalam apa sebenarnya adat istiadat yang dipercayai oleh orang Batak tersebut.
Masyarakat Batak meyakini bahwa dengan menggunakan Tarombo akan dapat diketahui
asal-usul keturunan seseorang yang berawal dari Si Raja Batak. Tarombo adalah sebutan untuk
silsilah garis keturunan atau sistem kekerabatan pada adat suku Batak. Silsilah atau tarombo
merupakan silsilah marga pada suku Batak dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
orang Batak. Masyarakat yang bersuku Batak khususnya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya
yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu) agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
METODE PENELITIAN
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini ialah metode deskriptif
kualitatif yang berupa penjelasan/penggambaran suatu keadaan yang isinya ditelaah dari suatu
dokumen dengan sumber data yang dijadikan sebagai bahan acuan penulis, yakni artikel dan
berita-berita yang mengangkat isu ketidaksetaraan gender pada suku Batak Toba. Menurut
Sugiyono (2016: 16), metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian, tetapi tidak digunakan untuk membuat
kesimpulan yang lebih luas.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik baca dan teknik catat.
Teknik baca merupakan hal yang terpenting, data tidak akan dihasilkan jika tanpa melalui proses
pembacaan. Membaca dalam karya ilmiah dilakukan dengan cara memberikan perhatian yang
benar-benar terfokus pada objek (Ratna, 2010: 245). Teknik catat adalah mencatat beberapa bentuk
yang relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005: 93).
Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode informal. Metode penyajian
informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, tidak menyajikan penyajian secara formal
seperti tanda dan lambang (Sudaryanto, 1993: 145). dapat disimpulkan bahwa Sistem kekerabatan
dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga
aturan pokok, seperti hula-hula, dongan tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak
secara bergantian.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan adat dan istiadat pada suku Batak diatur dalam sistem Dalihan Na Tolu. Istilah
Dalihan Na Tolu berfungsi untuk mengatur hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak dalam
kehidupan sehari-hari. Sistem Dalihan Na Tolu tidak mengenal kasta (golongan atas dan bawah)
seperti pada suku Bali. Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula, dongan
tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam prakteknya dari
ketiga posisi ini dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-hula dan boru
menunjukkan hierarki antara “yang dituakan” dan “yang melayani”. Hula-hula dipandang sebagai
“tuan” atau “raja” sedangkan boru adalah “siloja-loja” atau sama dengan posisi yang siap untuk
bekerja dan melayani para hula-hula. Dengan demikian, kesetaraan kedudukan orang Batak akan
terlihat dalam sistem Dalihan Na Tolu, yaitu mengalami ketidakadilan atau ketidaksetaraan
gender.
Pengertian gender menurut Abbas (2011) merupakan konstruksi sosial dan budaya dalam
mencapai keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Abbas juga
mengatakan bahwa gender tidak mempersoalkan aspek biologis manusia dalam artian perbedaan
jenis kelamin dan fungsi-fungsi secara biologis, tetapi merupakan suatu upaya reposisi peran sosial
dan penataan produk budaya yang berkeadilan gender. Pengertian tersebut juga disampaikan oleh
Ann Oskley (dalam Badowi), bahwa gender adalah sifat laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga tidak identik dengan seks (jenis kelamin).
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana kedudukan antara laki-laki dan perempuan
memiliki kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.
Tiga kedudukan fungsional Dalihan Na Tolu sebagai suatu konstruksi sosial
1. Somba Marhula-hula
Hula-hula juga disebut sebagai “tuan” atau “raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai
sumber keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Para
Hula-hula dalam adat Batak terdiri dari: Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, dan
Tulang. Ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender sangat terlihat di dalam istilah “Naso
somba marhula-hula, siraraon ma gadong na.” Gadong dalam masyarakat Batak dianggap
salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal saat
akan berangkat kerja. Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar,
seperti memiliki isi yang busuk berair. Pernyataan itu mengandung makna bahwa pihak
boru yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.
Penghormatan tersebut ditunjukkan dalam sikap, perkataan, dan perbuatan. Orang Batak
harus somba mar hula-hula, yang berarti harus bersikap hormat, tunduk, dan patuh terhadap
hula-hula. Pihak boru tidak diperbolehkan untuk bersikap lancang atau melawan hula-
hulanya, karena diyakini perbuatan itu akan dikutuk oleh hula- hula, sehingga dia tidak
akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan lain
sebagainya.
2. Manat Mardongan Tubu
Dongan tubu dalam suku Batak artinya adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun
marga yang sama. Suku Batak memiliki rumpun marga yang banyak hingga mencapai
ratusan marga induk. Di antara posisi hula-hula dengan boru, posisi dongan tubu adalah
yang paling netral, artinya tidak condong kepada hula-hula atau ke boru. Dalam Dalihan
Na Tolu, posisi abang, adik, ayah, anak, kakek, cucu (satu marga) adalah setara. Dalam
bagian dongan tubu kedudukan setiap orang akan menjadi sama (setara), tidak memandang
apa kedudukan atau jabatannya, baik dia sebagai pejabat, orang kaya, intelektual, dan lain
sebagainya.
3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan, dan pihak marga suami atau keluarga
perempuan dari marga yang sama. Posisi boru dikatakan lebih rendah dari pada hula-
hula dan disebut sebagai siloja-loja. Posisi rendah pada boru dalam adat batak tidak
memandang status, jabatan, atau kekayaan, oleh sebab itu seorang perempuan yang
memiliki jabatan tetap akan sibuk melayani dalam suatu pesta adat Batak karena posisinya
yang tidak dapat dielakkan, yaitu menjadi boru. Namun, Pada dasarnya setiap laki-laki
dalam adat batak mempunyai tiga status yang berbeda pada tempat atau adat yang
diselenggarakan, misalnya: ketika anak dari saudara perempuannya menikah, maka
posisinya adalah sebagai hula-hula, dan sebaliknya, jika marga dari istrinya mengadakan
pesta adat, maka posisinya laki-laki itu sebagai boru, dan akan menjadi dongan tubu ketika
teman semarganya yang melakukan pesta.
Kedudukan laki-laki dalam Dalihan Na Tolu adalah sebagai kelas utama, sedangkan
perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini terjadi akibat ideologi patriarki yang
melekat dalam sistem Dalihan Na Tolu, yaitu hanya berpusat kepada laki-laki. Perempuan Batak
hanya menjadi objek, sedangkan laki-laki menjadi subjek penentu kedudukan seorang perempuan.
Laki-laki akan disebut sebagai raja sedangkan perempuan hanya putri raja (boru ni raja) dan bukan
lah menjadi ratu (setara).
Sistem kekerabatan ini menyebabkan dampak yang kurang baik bagi posisi perempuan
seperti ketidakadilan dalam pembagian warisan di masa yang akan datang atau sedikitnya
kesempatan memperoleh pendidikan. Perempuan Batak (boru) harus menerima apa yang
diputuskan oleh para laki-laki (hula-hula) dan tidak adanya kesempatan untuk mengungkapkan
pendapat atau membantah dalam suatu perkumpulan. Oleh sebab itu, dalam sistem Dalihan Na
Tolu terjadi ketidaksetaraan gender, karena berpusat hanya pada hula-hula saja.
Budaya Dalihan Na Tolu dalam suku Batak sulit jika menerapkan kesetaraan gender.
Sistem kekerabatan patrilineal ini sudah menjadi suatu hal yang melekat dalam masyarakat Batak,
laki-laki berperan sangat penting dan berdampak besar dalam membentuk kelompok kekerabatan
sehingga dianggap “lebih berharga” dibandingkan dengan keberadaan perempuan. Dibuktikan
oleh kejadian-kejadian nyata yang dialami oleh para perempuan jika tidak memiliki anak laki-laki,
maka itu seperti membawa aib keluarga, dan para mertua bahkan tega menikahkan kembali
anaknya dengan perempuan lain sampai akhirnya ia mendapatkan cucu laki-laki (bukan hanya
memiliki cucu perempuan). Sistem patrilineal menciptakan budaya patriarki sebagai sebuah sistem
struktur dan praktik sosisal, di mana laki-laki mendominasi dan di sisi lain mengeksploitasi perempuan. Keberadaan perempuan dalam suku Batak dikatakan tidak berdiri secara utuh, tetapi
justru melekat pada laki-laki.
Suku penganut budaya patriarki seperti suku Batak menunjukkan sikap yang cenderung
tidak adil terhadap kaum perempuan atau wanita. Padahal, perempuan atau wanita (boru) adalah
penglahir peradaban. Gerakan perjuangan keadilan gender disampaikan bukan berarti menuntut
kesamaan hak dan status antara laki-laki dengan perempuan melainkan hanya mengharapkan
adanya perubahan penganggapan yang merendahkan kaum perempuan agar tercipta suatu
kebudayaan yang adil terhadap laki-laki dan perempuan, terlepas dari apa pun sukunya tanpa
menentang budaya yang dimaksud.
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah suku Batak menganut paham garis
keturunan bapak (patrilineal), maka dengan sendirinya marga tersebut juga berasal dari bapak.
Paham patrilineal menjadi suatu kebanggan tersendiri pada masyarakat Batak. Sistem kekerabatan
dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan Na Tolu. Praktik tersebut tidak mengenal kasta
(golongan atas dan bawah). Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula,
dongan tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam
prakteknya, dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-
hula dan boru menunjukkan hierarki antara “yang dihormati” dan “yang melayani”. Hula-hula
juga disebut sebagai “tuan” atau “raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai sumber keturunan,
sedangkan boru adalah siloja-loja atau posisi yang siap untuk bekerja dan melayani hula-hula.
Dengan demikian, kesetaraan kedudukan orang Batak akan terlihat dalam sistem dalihan na tolu,
yaitu mengalami ketidakadilan atau ketidasetaran gender. Tanpa menentang budaya yang
dimaksud, diharapkan adanya perubahan penganggapan yang merendahkan kaum perempuan agar
tercipta suatu kebudayaan yang adil terhadap laki-laki dan perempuan, terlepas dari apa pun suku
yang dimiliki.
Saran dari penulis adalah semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga
pembaca memahami pentingnya untuk menjunjung tinggi keadilan gender di setiap aspek, seperti
ekonomi, sosial, politik, dan bahkan budaya. Juga sangat diperlukan adanya pemberian edukasi
tentang gender dan kesetaraan gender sejak dini kepada masyarakat, baik di lingkungan keluarga,
lingkungan pendidikan, serta di lingkungan adat istiadat seperti saling memahami perbedaan dan
kebutuhan yang dimiliki, serta mampu memberikan kesempatan yang sama tanpa membeda-
bedakan peran gender antarmasyakat, sehingga pembaca memahami dan dapat menakar apa saja
yang perlu dipetik dari kebiasaan adat istiadat, setidaknya perlu kesepakatan terlebih dahulu di
antara kedua belah pihak, tidak menelan mentah-mentah semua kebiasaan yang ada, agar tidak
adanya tercipta kecondongan terhadap pihak-pihak tertentu, serta menyadari pentingnya keadaan
atau posisi yang bebas dan setara antara laki-laki dengan perempuan dalam memenuhi hak serta
kewajiban di segala aspek kehidupan tanpa perlu menghiraukan atau merendahkan adat istiadat
pada suatu suku tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas. 2011. Gender Dalam Satra. Makasar : Universitas Hasanudin.
Badawi, A. Gerakan Feminisme Dalam Islam. Jurnal Penelitian Agama. Yogyakarta:
Pusat Penelitian UIN Yogyakarta. Vol. X, No. 2.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Parsada.
Ningsih, W. L. 2021. Suku Batak: Bahasa, agama, marga, dan kebudayaan.
URL: https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/20/080000879/suku-batak--bahasa-
agama-marga- dan-kebudayaan Diakses tanggal 10 Oktober 2022.
Panggabean, H. P. 2007. Pembinaan Nilai-Nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu. Jakarta :
Dian Utama.
Purba, D. 2022. Menganut budaya patriarki, Batak Sulit Budaya Kesetaraan Gender.
URL: https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/Menganut-Budaya-
Patriarki-- Batak-Sulit-Terapkan-Kesetaraan-Gender Diakses tanggal 01 November 2022.
Ratna, 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: University Press.
Duta.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H