Mohon tunggu...
21O9O2O32_Christian Anugrah
21O9O2O32_Christian Anugrah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Saya Hobi di bidang olahraga dan politik jadi konten yang saya sukai adalah konten yang berhubungan dengan kedua tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketidaksetaraan Gender pada Prinsip Dalihan na Tolu dalam Suku Batak Toba

8 Desember 2023   13:25 Diperbarui: 8 Desember 2023   13:58 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Christian Anugrah

210902032

Nicastro Purba

210902104

Taufan Prajna Arrazy

210902118

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji atau menganalisis terdapatnya ketidaksetaraan gender pada prinsip Dalihan

Na Tolu dalam suku Batak Toba. Penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini bagaimana

Suku Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal) melalui prinsip Dalihan Na Tolu.

Analisis ini mempunyai tujuan untuk mengetahui struktur dan memperoleh gambaran yang jelas

mengenai Suku Batak menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal) melalui prinsip

Dalihan Na Tolu. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini ialah metode

deskriptif kualitatif yang berupa penjelasan/penggambaran suatu keadaan yang isinya ditelaah dari

suatu dokumen. Sumber data yang dijadikan sebagai bahan acuan penulis, yakni artikel dan berita-

berita yang mengangkat isu ketidaksetaraan gender pada suku Batak Toba. Teknik pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan teknik baca dan teknik catat. Berdasarkan hasil analisis data

dapat disimpulkan bahwa Sistem kekerabatan dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan

Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula, dongan

tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam prakteknya,

dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-hula dan boru menunjukkan

hierarki antara “yang dihormati” dan “yang melayani”. Hula-hula juga disebut sebagai “tuan” atau

“raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai sumber keturunan, sedangkan boru adalah siloja-loja

atau posisi yang siap untuk bekerja dan melayani hula-hula. Dengan demikian, kesetaraan

kedudukan orang Batak akan terlihat dalam sistem dalihan na tolu, yaitu mengalami ketidakadilan

atau ketidasetaran gender.

Kata Kunci: Gender, Batak, Dalihan Na Tolu

PENDAHULUAN

 Suku Batak merupakan suku yang paling banyak ditemukan di Indonesia, selain Jawa dan

Sunda. Mereka terkenal memiliki banyak ciri khas, yaitu dari logat berbicara yang lantang dan

keras, memiliki banyak marga yang unik, serta memegang teguh pada adat istiadat mereka.

Masyarakat Batak dikenal sebagai orang-orang yang keras, pantang mundur, dan selalu pandai

menyesuaikan diri dimana pun mereka berada sesuai dengan prinsip masyarakat Batak,

yaitu Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon yang artinya kekayaan, kehormatan, dan memiliki

keturunan. Karena memiliki sifat serta prinsip tersebut, mengakibatkan persebaran masyarakat

Batak dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia maupun dunia.

Dari data Badan Pusat Statistik sesuai dengan hasil sensus penduduk tahun 2010 ditemukan

bahwa suku Batak merupakan suku terbesar ketiga di Indonesia jika dilihat dari jumlahnya, yakni

sebanyak 8.466.969 orang (3,58 % dari jumlah penduduk Indonesia), yang merupakan kelompok

kesatuan sosial dari bagian sub-suku masyarakat suku Batak yang berada di daerah Sumatera

Utara, khususnya berasal dari tempat lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah di

Indonesia dan bahkan dunia. Suku Batak terdiri atas lima sub-suku atau puak, yaitu Batak Toba,

Batak Karo, Batak Mandailing atau Angkola, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak. Suku Batak

memiliki banyak marga yang berfungsi sebagai tanda tali persaudaraan, sehingga jika ditotalkan

secara keseluruhan, suku Batak memiliki hampir 500 marga yang tersebar di setiap daerah atau

wilayah.

Suku Batak sendiri menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan

sendirinya keturunan marga juga berasal dari bapak. Paham patrilineal menjadi suatu kebanggan

tersendiri pada masyarakat Batak. Namun, isu ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender pada suku

Batak semakin meluas mengakibatkan banyak masyarakat luar dari suku Batak yang ingin mencari

tahu lebih dalam apa sebenarnya adat istiadat yang dipercayai oleh orang Batak tersebut.

Masyarakat Batak meyakini bahwa dengan menggunakan Tarombo akan dapat diketahui

asal-usul keturunan seseorang yang berawal dari Si Raja Batak. Tarombo adalah sebutan untuk

silsilah garis keturunan atau sistem kekerabatan pada adat suku Batak. Silsilah atau tarombo

merupakan silsilah marga pada suku Batak dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi

orang Batak. Masyarakat yang bersuku Batak khususnya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya

yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu) agar mengetahui letak

kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

METODE PENELITIAN

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini ialah metode deskriptif

kualitatif yang berupa penjelasan/penggambaran suatu keadaan yang isinya ditelaah dari suatu

dokumen dengan sumber data yang dijadikan sebagai bahan acuan penulis, yakni artikel dan

berita-berita yang mengangkat isu ketidaksetaraan gender pada suku Batak Toba. Menurut

Sugiyono (2016: 16), metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk

menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian, tetapi tidak digunakan untuk membuat

kesimpulan yang lebih luas.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik baca dan teknik catat.

Teknik baca merupakan hal yang terpenting, data tidak akan dihasilkan jika tanpa melalui proses

pembacaan. Membaca dalam karya ilmiah dilakukan dengan cara memberikan perhatian yang

benar-benar terfokus pada objek (Ratna, 2010: 245). Teknik catat adalah mencatat beberapa bentuk

yang relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005: 93).

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode informal. Metode penyajian

informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, tidak menyajikan penyajian secara formal

seperti tanda dan lambang (Sudaryanto, 1993: 145). dapat disimpulkan bahwa Sistem kekerabatan

dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga

aturan pokok, seperti hula-hula, dongan tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak

secara bergantian. 

PEMBAHASAN

Pelaksanaan adat dan istiadat pada suku Batak diatur dalam sistem Dalihan Na Tolu. Istilah

Dalihan Na Tolu berfungsi untuk mengatur hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak dalam

kehidupan sehari-hari. Sistem Dalihan Na Tolu tidak mengenal kasta (golongan atas dan bawah)

seperti pada suku Bali. Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula, dongan

tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam prakteknya dari

ketiga posisi ini dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-hula dan boru

menunjukkan hierarki antara “yang dituakan” dan “yang melayani”. Hula-hula dipandang sebagai

“tuan” atau “raja” sedangkan boru adalah “siloja-loja” atau sama dengan posisi yang siap untuk

bekerja dan melayani para hula-hula. Dengan demikian, kesetaraan kedudukan orang Batak akan

terlihat dalam sistem Dalihan Na Tolu, yaitu mengalami ketidakadilan atau ketidaksetaraan

gender.

Pengertian gender menurut Abbas (2011) merupakan konstruksi sosial dan budaya dalam

mencapai keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Abbas juga

mengatakan bahwa gender tidak mempersoalkan aspek biologis manusia dalam artian perbedaan

jenis kelamin dan fungsi-fungsi secara biologis, tetapi merupakan suatu upaya reposisi peran sosial

dan penataan produk budaya yang berkeadilan gender. Pengertian tersebut juga disampaikan oleh

Ann Oskley (dalam Badowi), bahwa gender adalah sifat laki-laki dan perempuan yang

dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga tidak identik dengan seks (jenis kelamin).

Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana kedudukan antara laki-laki dan perempuan

memiliki kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

Tiga kedudukan fungsional Dalihan Na Tolu sebagai suatu konstruksi sosial

1. Somba Marhula-hula

Hula-hula juga disebut sebagai “tuan” atau “raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai

sumber keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Para

Hula-hula dalam adat Batak terdiri dari: Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, dan

Tulang. Ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender sangat terlihat di dalam istilah “Naso

somba marhula-hula, siraraon ma gadong na.” Gadong dalam masyarakat Batak dianggap

salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal saat

akan berangkat kerja. Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar,

seperti memiliki isi yang busuk berair. Pernyataan itu mengandung makna bahwa pihak

boru yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Penghormatan tersebut ditunjukkan dalam sikap, perkataan, dan perbuatan. Orang Batak

harus somba mar hula-hula, yang berarti harus bersikap hormat, tunduk, dan patuh terhadap

hula-hula. Pihak boru tidak diperbolehkan untuk bersikap lancang atau melawan hula-

hulanya, karena diyakini perbuatan itu akan dikutuk oleh hula- hula, sehingga dia tidak

akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan lain

sebagainya. 

2. Manat Mardongan Tubu

Dongan tubu dalam suku Batak artinya adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun

marga yang sama. Suku Batak memiliki rumpun marga yang banyak hingga mencapai

ratusan marga induk. Di antara posisi hula-hula dengan boru, posisi dongan tubu adalah

yang paling netral, artinya tidak condong kepada hula-hula atau ke boru. Dalam Dalihan

Na Tolu, posisi abang, adik, ayah, anak, kakek, cucu (satu marga) adalah setara. Dalam

bagian dongan tubu kedudukan setiap orang akan menjadi sama (setara), tidak memandang

apa kedudukan atau jabatannya, baik dia sebagai pejabat, orang kaya, intelektual, dan lain

sebagainya.

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan, dan pihak marga suami atau keluarga

perempuan dari marga yang sama. Posisi boru dikatakan lebih rendah dari pada hula-

hula dan disebut sebagai siloja-loja. Posisi rendah pada boru dalam adat batak tidak

memandang status, jabatan, atau kekayaan, oleh sebab itu seorang perempuan yang

memiliki jabatan tetap akan sibuk melayani dalam suatu pesta adat Batak karena posisinya

yang tidak dapat dielakkan, yaitu menjadi boru. Namun, Pada dasarnya setiap laki-laki

dalam adat batak mempunyai tiga status yang berbeda pada tempat atau adat yang

diselenggarakan, misalnya: ketika anak dari saudara perempuannya menikah, maka

posisinya adalah sebagai hula-hula, dan sebaliknya, jika marga dari istrinya mengadakan

pesta adat, maka posisinya laki-laki itu sebagai boru, dan akan menjadi dongan tubu ketika

teman semarganya yang melakukan pesta.

Kedudukan laki-laki dalam Dalihan Na Tolu adalah sebagai kelas utama, sedangkan

perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini terjadi akibat ideologi patriarki yang

melekat dalam sistem Dalihan Na Tolu, yaitu hanya berpusat kepada laki-laki. Perempuan Batak

hanya menjadi objek, sedangkan laki-laki menjadi subjek penentu kedudukan seorang perempuan.

Laki-laki akan disebut sebagai raja sedangkan perempuan hanya putri raja (boru ni raja) dan bukan

lah menjadi ratu (setara).

Sistem kekerabatan ini menyebabkan dampak yang kurang baik bagi posisi perempuan

seperti ketidakadilan dalam pembagian warisan di masa yang akan datang atau sedikitnya

kesempatan memperoleh pendidikan. Perempuan Batak (boru) harus menerima apa yang

diputuskan oleh para laki-laki (hula-hula) dan tidak adanya kesempatan untuk mengungkapkan

pendapat atau membantah dalam suatu perkumpulan. Oleh sebab itu, dalam sistem Dalihan Na

Tolu terjadi ketidaksetaraan gender, karena berpusat hanya pada hula-hula saja.

Budaya Dalihan Na Tolu dalam suku Batak sulit jika menerapkan kesetaraan gender.

Sistem kekerabatan patrilineal ini sudah menjadi suatu hal yang melekat dalam masyarakat Batak,

laki-laki berperan sangat penting dan berdampak besar dalam membentuk kelompok kekerabatan

sehingga dianggap “lebih berharga” dibandingkan dengan keberadaan perempuan. Dibuktikan

oleh kejadian-kejadian nyata yang dialami oleh para perempuan jika tidak memiliki anak laki-laki,

maka itu seperti membawa aib keluarga, dan para mertua bahkan tega menikahkan kembali

anaknya dengan perempuan lain sampai akhirnya ia mendapatkan cucu laki-laki (bukan hanya

memiliki cucu perempuan). Sistem patrilineal menciptakan budaya patriarki sebagai sebuah sistem

struktur dan praktik sosisal, di mana laki-laki mendominasi dan di sisi lain mengeksploitasi perempuan. Keberadaan perempuan dalam suku Batak dikatakan tidak berdiri secara utuh, tetapi

justru melekat pada laki-laki. 

Suku penganut budaya patriarki seperti suku Batak menunjukkan sikap yang cenderung

tidak adil terhadap kaum perempuan atau wanita. Padahal, perempuan atau wanita (boru) adalah

penglahir peradaban. Gerakan perjuangan keadilan gender disampaikan bukan berarti menuntut

kesamaan hak dan status antara laki-laki dengan perempuan melainkan hanya mengharapkan

adanya perubahan penganggapan yang merendahkan kaum perempuan agar tercipta suatu

kebudayaan yang adil terhadap laki-laki dan perempuan, terlepas dari apa pun sukunya tanpa

menentang budaya yang dimaksud.

Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah suku Batak menganut paham garis

keturunan bapak (patrilineal), maka dengan sendirinya marga tersebut juga berasal dari bapak.

Paham patrilineal menjadi suatu kebanggan tersendiri pada masyarakat Batak. Sistem kekerabatan

dalam suku Batak disebut dengan sistem Dalihan Na Tolu. Praktik tersebut tidak mengenal kasta

(golongan atas dan bawah). Istilah Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan pokok, seperti hula-hula,

dongan tubu, dan boru akan dimiliki setiap masyarakat Batak secara bergantian. Dalam

prakteknya, dongan tubu merupakan posisi yang paling netral, sedangkan hula-

hula dan boru menunjukkan hierarki antara “yang dihormati” dan “yang melayani”. Hula-hula

juga disebut sebagai “tuan” atau “raja”, sebagai sumber berkat, dan sebagai sumber keturunan,

sedangkan boru adalah siloja-loja atau posisi yang siap untuk bekerja dan melayani hula-hula.

Dengan demikian, kesetaraan kedudukan orang Batak akan terlihat dalam sistem dalihan na tolu,

yaitu mengalami ketidakadilan atau ketidasetaran gender. Tanpa menentang budaya yang

dimaksud, diharapkan adanya perubahan penganggapan yang merendahkan kaum perempuan agar

tercipta suatu kebudayaan yang adil terhadap laki-laki dan perempuan, terlepas dari apa pun suku

yang dimiliki.

Saran dari penulis adalah semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga

pembaca memahami pentingnya untuk menjunjung tinggi keadilan gender di setiap aspek, seperti

ekonomi, sosial, politik, dan bahkan budaya. Juga sangat diperlukan adanya pemberian edukasi

tentang gender dan kesetaraan gender sejak dini kepada masyarakat, baik di lingkungan keluarga,

lingkungan pendidikan, serta di lingkungan adat istiadat seperti saling memahami perbedaan dan

kebutuhan yang dimiliki, serta mampu memberikan kesempatan yang sama tanpa membeda-

bedakan peran gender antarmasyakat, sehingga pembaca memahami dan dapat menakar apa saja

yang perlu dipetik dari kebiasaan adat istiadat, setidaknya perlu kesepakatan terlebih dahulu di

antara kedua belah pihak, tidak menelan mentah-mentah semua kebiasaan yang ada, agar tidak

adanya tercipta kecondongan terhadap pihak-pihak tertentu, serta menyadari pentingnya keadaan

atau posisi yang bebas dan setara antara laki-laki dengan perempuan dalam memenuhi hak serta

kewajiban di segala aspek kehidupan tanpa perlu menghiraukan atau merendahkan adat istiadat

pada suatu suku tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas. 2011. Gender Dalam Satra. Makasar : Universitas Hasanudin.

Badawi, A. Gerakan Feminisme Dalam Islam. Jurnal Penelitian Agama. Yogyakarta:

Pusat Penelitian UIN Yogyakarta. Vol. X, No. 2.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Parsada.

Ningsih, W. L. 2021. Suku Batak: Bahasa, agama, marga, dan kebudayaan.

URL: https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/20/080000879/suku-batak--bahasa-

agama-marga- dan-kebudayaan Diakses tanggal 10 Oktober 2022.

Panggabean, H. P. 2007. Pembinaan Nilai-Nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu. Jakarta :

Dian Utama.

Purba, D. 2022. Menganut budaya patriarki, Batak Sulit Budaya Kesetaraan Gender.

URL: https://www.hariansib.com/detail/Marsipature-Hutanabe/Menganut-Budaya-

Patriarki-- Batak-Sulit-Terapkan-Kesetaraan-Gender Diakses tanggal 01 November 2022.

Ratna, 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: University Press.

Duta.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun