Mohon tunggu...
Zeta Raihan
Zeta Raihan Mohon Tunggu... Penulis - your skinny friend

not the best, but still good

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Januari

23 Februari 2021   00:06 Diperbarui: 24 Februari 2021   10:17 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan pagi terasa begitu menyejukan kali ini, gemercik air yang menghempas ke tanah menimbulkan petrikor yang menyenangkan indera. Terpaksa aku berteduh di depan ruko abang-abang nasi goreng langgananku yang tutup. Aku mengeluh tipis, “Kenapa sih harus tiba-tiba hujan, bunganya jadi kebahasan.” “Mana dompet gue ketinggalan kalo mau beli lagi.”

Aku kemudian mengecek hp, melihat beranda Instagram menatapi kehidupan orang-orang melalui layar hpku. “Kapan yah gue bisa kaya orang-orang, kayaknya asik juga bisa kesana kesini, beli itu beli ini,” keluhku yang lain. “Tapi yaudahlah ya, namanya juga hidup ya kan. Rejeki orang beda-beda.” Saking asiknya berselancar di dunia maya, tidak terasa hujan pun sudah reda. Aku melanjutkan perjalananku menuju ke rumah sakit. Sambil sesekali mengabari temanku.

***

Aku, Reksa, adalah seorang laki-laki. Aku mempunyai sahabat perempuan, Naura, nama yang cukup fenimin untuk sifatnya yang seperti batu karang. Tidak sulit bagiku dan Naura jadi sepasang sahabat yang saling melengkapi, yang bisa membuat sepatu pun iri. Kami kiri dan kanan. Kami pagi dan malam. Kami adalah es kopi kekinian dan bola tapioka hitam yang ada di dasar gelasnya.

Kami kenal sejak sedari SMA, dan kini kami malah terjebak di kampus yang sama. Menghadapi masa-masa akhir perkuliah penuh teror.

“Kuliah lo gimana Ra, aman?” tanyaku, karna kita beda jurusan.

“Ya gitu deh, dosen gue akhir-akhir ini agak ribet, kerjaannya marah-marah gajelas mulu,” jelas Naura dengan muka kusut. “Kalo lo gimana?” sambungnya.

“Ga aman nih, tugas gue numpuk banget. Nanti bantuin gue dong Ra.”

“Dih apaan sih, tugas tugas lo, kok gue yang ikutan repot.”

“Ayo dong, nanti gue traktir makan deh,” dengan muka memelas aku memohon.

“Emm, tapi nanti gue yang milih ya.”

“Nah begitu dong.” Kalau soal makan, Naura sudah pasti tidak akan menolak.

Dari SMA, aku ada di setiap jatuh cinta yang Naura alami, dia juga ada di setiap patah hati yang aku pikul. Naura adalah orang pertama kali yang aku telepon untuk dimintai bantuannya mengerjakan tugas-tugasku. Aku adalah orang yang dia telepon ketika dia cerita tentang kegabutan tiap malam. Sampai-sampai aku sering kali di teleponnya saat tengah malam suntuk hanya untuk mendengarkan cerita fantasinya. Meresahkan memang.

***

Hari ini terasa terlalu ramai untuk hari Sabtu. Di sepanjang jalan, Naura tidak ada hentinya berbicara. Namun, aku pernah mengeluhkan itu sama sekali. Aku hanya mendengarkannya mengoceh sambil sesekali beradu kata.

“Makasih udah mau nemenin gue,” kata Naura tiba-tiba. “Sorry ngerepotin.”

“Kapan sih lo gak ngerepotin gue,” kataku, bercanda.

“Jangan gitu dong, lo juga suka ngerepotin gue kan.” “Ya, gue cuma mau bilang makasih saja ke lo,” sambungnya.

“Iya iya yaudah, sama-sama deh.” “Btw, hari ini ada siapa saja?” tanyaku mengalihkan.

“Biasa anak-anak,” “Andhra, Diki, Andin, sama Nadia” jelasnya.

“Oh anak-anak, gue kira siapa,” aku kenal mereka karena kita satu organisasi di kampus. Mereka juga teman-teman dekatku dan juga Naura.

Sesampainya di sebuah cafe, kami mulai berbincang-bincang ringan. Ditemani alunan hiruk pikuk metropolitan dan lagu Jazz klasik yang membuatku mengantuk. Sambil sesekali membahas rencana kegiatan kami nanti. Karena berhubung kami juga sudah menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Kami memutuskan untuk berkemah pada akhirnya.

Hari dimana kami pergi berkemah itu pun tiba. Akhirnya yang ikut berkemah itu ada aku, Naura, Andin, Andhra, dan Diki. Nadia tidak bisa ikut karena masalah perijinan dengan orang tuanya. Kami sedikit kecewa, tapi tidak apa-apa. Karena aku yakin setiap orang tua itu khawatir pada anaknya. Begitu juga dengan orang tua Nadia.

Jujur, tak seorang pun dari kami berlima ini yang pernah berkemah di bukit sebelumnya. Maka tepat di hari itu kami membawa barang-barang yang cukup banyak. Itu terlihat dari tas yang kami bawa masing-masing. Terlihat seperti ingin berkemah satu minggu lamanya. Padahal kami hanya berencana untuk satu hari menginap saja. Kami terlalu takut nantinya di tengah malam, salah satu dari kami ada yang merasa lapar dan sulit untuk mencari makan. Karena nanti disana ga akan ada ojol juga kali ya.

Mengandalkan Google Maps kami mencoba untuk melewati jalanan untuk sampai di tempat tujuan. Kami berlima berangkat bersama-sama menggunakan mobil yang Andhra bawa. Kemudian akhirnya kami pun tiba di tujuan kami. Dan tampak terkejutnya kami berlima ketika ternyata disana banyak warung yang berjualan. Andhra sontak langsung berkata, “Anjir, banyak warung dong.” “Terus ngapain kita bawa bekel sebanyak ini coba.” Akhirnya kita semua tertawa bersama di dalam mobil.

Tak lama setelah Andhra mencari tempat parkir, kami bersiap untuk mencari tempat yang nantinya akan kami pergunakan untuk kami menginap. Tenda yang kami bawa segera kami dirikan karena khawatir langit akan gelap nantinya. Karena disini ada tiga orang cowo dan dua orang cewe, maka kami memutuskan untuk membagi tugas. Aku, Diki, dan Andhra mencoba untuk mendirikan tenda. Sedangkan Naura dan Nadia menyiapkan peralatan masak dan bahan bakunya guna membuat makanan yang akan kami santap nantinya.

Ternyata aku dan dua temanku lebih menyelesaikan tugas untuk mendirikan tenda. Sedangkan Naura dan Nadia masih belum selesai memasak. Akhirnya aku, Diki, dan Andhra memutuskan untuk membantu mereka. “Yaelah Ra, kayaknya lo belum siap untuk married deh,” Diki berbicara dengan nada bercanda.

“Lah emangnya kenapa?” tanya Naura

“Nyiapin makanan aja lama bener,” jawab Diki, bercanda.

“Ya wajar lah, gue nyiapin makanan untuk lima orang, jadi lama.” “Kalo nanti, kan cuma buat suami gue doang, ya pasti cepetlah.”

“Pertanyaannya, emang lo bakal married sama siapa Ra?” tanya Andhra sambil mencairkan suasana dan akhirnya semua tertawa.

Selagi kami mempersiapkan makanan, kami juga bergantian untuk menjaga tenda. Setelah selesai menyantap makanan. Sekitar pukul 10 malam, kami membuat api unggun. Kami bercerita soal kehidupan, keluarga, pasangan, bahkan hal-hal konspirasi pun kami jamahi. “Wah pukul tiga pagi,” kata Nadia di tengah-tengah cerita. Saking asiknya kami bercerita, tak terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul tiga. Sehingga kami memutuskan untuk kembali ke tenda masing-masing dan tidur.

***

“Seru banget ya dulu.” “Waktu kita masih bisa main bareng sama anak-anak. Waktu lo masih punya banyak tenaga buat kesana kemari,” lanjutku setelah bercerita.

“Ya mau gimana lagi, emang udah takdirnya gue kayak gini,” kata Naura dengan nada bercanda.

“Makanya ayo sembuh dong, biar kita bisa main bareng lagi.”

“Kalo lo mau gue sembuh, bawain makanan yang banyak kek. Bukan malah bawa bunga mulu,” katanya, bercanda.

Kami terdiam beberapa saat. Keheningan mulai  memenuhi seisi ruangan. Hanya terdengar jarum jam yang berdetak mengiringi keheningan. “Oh iya Ra-“ sebelum sempat aku berbicara, pintu kamar terbuka. Ternyata Andhra dan Nadia sudah sampai di rumah sakit. Diki tidak bisa datang karena katanya dia sedang di luar kota. “Rara, lo kenapa?” tanya Nadia sambil berlari ke arah Naura. “Ya begitu deh,” jawab Naura, bercanda.

“Halo Dhra, udah lama ya kita ga ketemu. Lo baik-baik aja kan?” tanyaku. Karena kami sudah tidak bertemu sejak kelulusan lima bulan yang lalu.

“Gue baik-baik aja. Kalo lo sendiri gimana?”

“As well as you see,” kataku sok keren.

“Baguslah.” “Btw, Naura kenapa Sa,” tanya Andhra penasaran.

“Mending kita denger langsung dari orangnya,” jawabku sambil menoleh ke Naura yang sedang duduk di ranjang.

“Gue sebenernya punya penyakit pankreas,” jelas Naura, singkat. Membuat Andhra dan Nadia terdiam dan kaget tentunya.

“Tapi dari kapan Ra?” tanya Nadia

“Semenjak tahun kedua gue di kuliahan.” “Sejak itu gue udah sering keluar masuk rumah sakit. Lebih sering masuk daripada keluar,” sambung Naura.

Andhra menoleh kepadaku, “Lo udah tau ini Sa?” tanyanya dengan tatapan serius. Aku hanya terdiam. “Tapi kenapa lo ga bilang sama kita?” sambung Andhra.

“Gue yang nyuruh Andhra buat ga ngasih tau kalian,” potong Naura. Kami terdiam, dan kemudian Naura lanjut menjelaskan kepada kami mengenai kondisinya. Namun, aku harus pulang lebih dulu karena ada urusan lain yang mesti aku selesaikan. Aku pun pamit pergi kepada mereka.

Sudah lima hari berlalu. Dalam waktu dekat tapi entah kapan, Naura akan melakukan operasi, begitu katanya. Seperti biasa hari ini aku datang menjenguknya. Namun, ketika aku datang dia tidak ada dimana-mana. Bagian resepsionis pun sedang tidak orang, jadi aku bingung harus mencarinya kemana. “Reksa ya,” tiba-tiba terdengar suara dari belakang yang mengagetkanku. “Eh Om Bayu, Tante Ani. Lama ga ketemu om, tante,” sapaku. Mereka adalah orang tua Naura. Aku cukup kenal dengan mereka.

“Kamu lagi ngejenguk Naura ya?” tanya ayahmu.

“Iya om, tapi Naura nya gak ketemu om. Udah cari kemana-mana.” “Meja resepsionis juga lagi gaada orang om, jadi gak bisa nanyain,” jelasku.

“Oh, kalo gitu kayaknya Naura lagi ada di ruang rehabilitas.” “Iya kayaknya, cobain aja yuk kesana,” sambung ibumu.

Di ruang rehabilitasi, Naura terlihat sedang berusaha berjalan, didampingi oleh dokternya. Karena beberapa minggu terakhir, kondisinya memburuk. Dia mulai kesulitan untuk berjalan. “Katanya, dia gamau stamina sama kekuatannya terus menurun. Dia masih ingin bisa pergi jalan-jalan, makan makanan kesukaannya.” “Ini semua karena kamu Reksa,” kata ibumu tiba-tiba.

“Naura yang udah menyerah dan menjadi malas, kini mulai berjalan lagi.” “Jadi, makasih ya, Reksa,” sambungnya. Aku hanya bisa terdiam mendengarnya. Sambil melihat Naura yang sedang berjuang di balik ruangan.

***

Setelah seminggu dirawat, kondisinya mulai membaik dan akhirnya Naura diperbolehkan untuk pulang oleh pihak rumah rumah sakit.  Ya, walaupun kondisinya lebih terlihat seperti mayat hidup, tapi tidak seburuk itu juga sih. Ia hanya kelihatan lemas dan lesu saja.

“Kata dokter gue cuma harus sering-sering konsumsi vitamin,” kata Naura.

“Gila apa?! Lu pankreas lu bermasalah tapi lu cuman harus sering-sering konsumsi vitamin doang?” Tanyaku heran.

“Ya ga gitu juga sih, vitamin sebagai penunjang imun gue aja. Kalo buat penyakit gue mah obatnya beda lagi,” jelasnya.

“Oh kirain kan. Yaudah deh, kalo gitu gue balik dulu ya, nyokap udah neleponin dari tadi.”

“Oke deh, makasih ya makanannya. Salam buat om sama tante, udah lama gue ga ketemu,” ucap Naura. Lalu aku pun pamit pada om Bayu dan tante Ani, kemudian bergegas pulang ke rumah.

Hari ini sudah memasuki minggu kedua di bulan Januari. Hari dimana aku mendapat pengumuman mengenai beasiswa yang sebelumnya aku ikuti. Aku terpilih sebagai orang yang mendapatkan beasiswa untuk pergi internship ke Jepang. Tentu saja hal tersebut sangat membuatku senang, rasanya seperti mendapatkan barang langka di permainan video. Kabar baiknya lagi, kedua orang tuaku sangat mendukung mengenai hal tersebut. Sehingga akhir-akhir ini aku semakin sibuk untuk mempersiapkan segala keperluannya. Terutama masalah finansial, karna walaupun aku mendapatkan beasiswa, tetap saja aku perlu mempersiapkannya untuk hal-hal tak terduga.

Ponselku berdering, Naura menelepon, “Halo,” sapaku.

“Lu dihubungi susah banget sih,” kata Naura, kesal.

“Ya gue lagi sibuk Ra. Ada perlu apa emang? Tanyaku.

“Temenin gue main dong,” katanya.

“Emang udah sembuh apa? Nanti kalo lo sakit lagi gimana coba? Kan gue yang repot nantinya.”

“Lagian gue bosen di rumah mulu, kali-kali gitu gue pengen main keluar,” jelasnya, mengeluh.

“Hmm, yaudah deh iya. Mau pergi kapan kita, apa sekalian gue ajak anak-anak yang lain saja?” Kataku.

“Boleh-boleh, nanti gue kasih tahu lagi ya kapannya. Makasih Reksa. Dadah,” dia begitu saja mematikan teleponnya. Memang sifatnya ga pernah berubah dari dulu. Aku belum memberitahu Naura soal intershipku ke Jepang, begitu juga dengan teman-temanku yang lain. Baru keluargaku saja yang tahu mengenai ini.

***

Dua hari setelahnya Naura mengabariku lagi bahwa lusa kita akan pergi. “Duh mana lusa gue ada kerjaan lagi,” kataku dalam hati.

“Ra, gue lusa ada kerjaan. Ga bisa diganti jadi hari lain apa?” tanyaku via chat.

“Ga bisa, gue maunya lusa. Lu bisa kali minta izin dulu, kali-kali kan, gimana kalo gue keburu masuk rumah sakit lagi?”

“Buset dah ini anak ribet amat. Yaudah, tapi gue bakal telat datengnya. Nanti kita ketemu di tempat biasa saja,”

“Oke deh, hehe. Oh iya Andhra, Nadia, sama Dika gimana? Mereka jadi ikut?” tanya Naura.

“Nadia gabisa, katanya dia lagi rawat neneknya yang sakit. Diki masih di luar kota. Kalo Andhra belum bisa dihubungi lagi,” jelasku. Padahal sebelumnya aku dan Andhra sempat ngobrol di chanel discord. Bertiga dengan Diki. Habis main PUBG bareng.

Kami sudah sering bermain PUBG bareng. Walaupun, kata Diki, Andhra jadi beban. Tapi lumayan lah kita sudah lima kali chicken dinner.

“Hmm, kayaknya bakal kita berdua saja deh yang jadi. Tapi ngga apa-apa lah,” katanya, sedikit kecewa.

“Udah ya, gue masih sibuk dan kayaknya bakal susah dihubungi. Sampe ketemu lusa ya,” kataku mengakhiri obrolan.

***

Akhir-akhir ini aku memang sedang sibuk mencari uang tambahan untuk intership nanti, aku tidak mau terlalu membebani kedua orang tuaku. Aku tahu tanggungan mereka bukan hanya aku, tapi juga adik-adikku. Sebagai anak sulung aku harus bisa bergantung pada diriku sendiri.

Sempat aku berdiskusi dengan orang tuaku, berbincang mengenai investasi. Mereka bertanya mengapa aku ingin cepat-cepat investasi? Dengan simplenya aku menjawab “Biar punya uang banyak di masa yang akan datang,” alasannya sebenernya cuma itu doang.

Hari mulai sore, cahaya keorenan masuk melalui kaca samping. Sambil membawa mobil, aku menyusuri jalanan metropolitan menuju tempat ketemuan kita, menggunakan Toyota Corolla tahun 2008 yang aku dengan bangga beli dengan tabunganku sendiri. “Biar bekas, yang penting tidak ngutang,” kataku setelah berjabat tangan dengan pemilik sebelumnya.

Dan seperti biasa, tempatnya sudah dipenuhi oleh anak muda yang nongkrong, lalu memamerkannya untuk keperluan Instastory mereka. Ternyata aku sampai lebih dulu, Naura belum bisa dihubungi, “Mungkin hpnya mati,” pikirku. Sambil menunggu dia datang, aku memesan secangkir espresso panas. Tidak lupa diiringi lagu jazz klasik, bedanya sekarang aku sudah tidak mengantuk lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi Naura belum juga datang. Aku kembali menghubunginya lagi, namun hanya balasan costumer service yang kuterima. Lantas aku pun berinisiatif untuk pulang, sembari mampir ke rumahnya untuk mengecek keadaannya.

 Sesampainya disana, rumahnya terlihat seperti tidak ada orang, sepi. “Ini anak kemana coba,” kataku dalam hati. Aku tidak berani untuk masuk begitu saja karena takut disangka maling oleh orang. Jadi, aku memutuskan untuk kembali lagi esok hari.

***

“Permisi mas, kalo yang punya rumah lagi kemana ya mas? Dari kemarin saya liat kayaknya lagi gaada di rumah,” tanyaku pada salah satu tetangganya yang lewat.

“Kemarin saya sempet ngorbol katanya beliau mau ke rumah sakit mas, anaknya lagi dirawat,” jelasnya.

“Oh, rumah sakit mana ya mas kira-kira?”

“Waduh, kalo itu saya kurang tahu mas. Masnya mau nagih utang ya? Duh jangan dulu deh mas, kasian keluarganya lagi kena musibah.”

“Ga begitu mas, saya kenalannya pak Bayu, saya kebetulan lagi ada perlu sama beliau. Masnya suka suudzon duluan deh.”

“Oh, ya maaf mas. Saya kira kan mas, soalnya masnya kaya lagi kesel gitu, mirip retenir yang ada di sinetron Azab mas,” dia langsung pergi begitu saja.

“Buset dah, ini orang kaga ada sopan santunnya,” kataku dalam hati, kesal.

Lantas aku pun mencoba menghubungi ayahmu, tetapi sama saja, hanya balasan dari costumer service yang kuterima, begitu juga ketika aku menghubungi ibumu. Semakin khawatirlah aku. Tidak ada satupun keluargamu yang bisa aku hubungi. Dan aku pun tidak tahu rumah sakit mana tempatmu dirawat. Aku kebingungan. Seperti, anak ayam yang masuk ke got, terpisah dari induknya.

Sudah seminggu berlalu, tapi aku belum bisa mendapatkan kabar apa-apa. Dan aku pun belum sempat datang ke rumahnya lagi, karena pekerjaanku semakin bertambah akhir-akhir ini. Naura seakan hilang begitu saja, layaknya seorang pesulap handal, punya trik hebat untuk menghilangkan orang, yang tidak bisa dibongkar oleh netizen jahil di kolom komentar Youtube sekalipun.

Tiba-tiba saja hpku berdering, memecahkan keheningan, membangunkan lamunanku. Telepon dari ayahmu rupanya. Dia bilang ingin bertemu denganku, ingin membicarakan sesuatu. Aku yang akhirnya mendapatkan kabar, segera siap-siap untuk menuju ke rumah Naura. Hari ini cuaca cerah, cukup terik dan sedikit berawan.

Sesampainya disana, ayahmu sudah menunggu di teras depan, ditemani ibumu. Aku merasa segan. “Ayo masuk nak,” kata ayahmu. Aku hanya mengangguk, mengikutinya masuk ke dalam rumah.  Ruang tamu rumahmu masih seperti yang aku ingat. Foto keluargamu dalam figura kayu dengan noda kopi di sudut kanan atas. Masih ada piano sumbang yang keluargamu selalu tunda untuk benarkan.

Ibumu datang membawakan satu gelas teh hangat. Bunyi jam mengiringi kesunyian yang kami bagi. Kami saling menunggu siapa yang akan memcahkan keheningan ini terlebih dahulu. Pada akhirnya, ayahmu yang memulainya, “Kamu baik-baik aja?”

“Baik, semua baik om,” kataku.

“Masa?” tanya ayahmu.

“Iya,” kataku.

“Kamu kenal sama Naura udah berapa lama?” tanya ayahmu.

“Udah dari SMA, kurang lebih tujuh tahun om,” jawabku.

“Lumayan lama ya.”

“Iya om.”

“Om masih inget dulu waktu kalian SMA, kamu sering main kesini, sering bantuin Naura ngerjain tugas sekolahnya. Naura juga sering cerita soal kamu, dia seneng banget punya sahabat cowo kaya kamu.”

“Ah, iya Om,” aku hanya bisa membalasnya singkat. Entah kenapa suasananya mendadak canggung.

“Katanya kamu sering bantuin Naura, sering nemenin dia pergi, sering nganterin dia kesana kesini. Maaf ya kalo Naura sering banget ngerepotin kamu,” sambungnya.

“Ga apa-apa kok om, justru Reksa yang banyak dibantu sama Naura. Ketika ada tugas yang ga bisa diberesin, Naura yang bantuin. Ketika lagi sedih, Naura selalu ngasih semangat, kata-katanya selalu pas dengan kondisi. Ketika lagi Naura selalu hadir, selalu ada. Naura udah berasa kaya saudara sendiri om,” jelasku.

Ayahmu tersenyum.

Hening.

Suara  jam kembali mengisi kesunyian.

“Kami tahu kami salah, tapi kami harus ngasih tahu ini sama kamu,” kata ayahmu.

“Kasih tahu soal apa om?” tanyaku.

Ayahmu menghela napas, cukup berat. Kemudian saling menatap dengan ibumu, seolah memberi isyarat akan sesuatu. “Naura udah ga disini lagi,” kata ayahmu.

“Maksudnya, Naura pindah om?” tanyaku bingung.

“Naura udah gaada.”

Aku terdiam, bingung, mencoba mencerna yang sedang terjadi.

Ibumu berusaha setengah mati untuk tidak menangis. Lalu ayahmu melanjutkan, “Seminggu yang lalu, Naura tiba-tiba pingsan di rumah, kami yang panik segera membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang, peradangan pada pankreasnya menjadi parah, dan harus segera melakukan tindakan operasi. Kami yang tidak setuju pada saat itu menolaknya, karena sebelumnya Naura baik-baik saja. Namun, dokter menjelaskan kalau tidak segera dioperasi akan semakin memburuk. Sehinga kami pun, menyetujui untuk segera mengambil tindakan operasi. Tapi, sepertinya Tuhan lebih sayang Naura. Pada pagi harinya, Naura dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit.”

“Maaf ya, kami menyembunyikan ini dari kamu,” kata ibumu.

“Maaf ya, Reksa,” sambung ayahmu.

Air mataku mulai terkumpul.

Ayahku pernah bilang, laki-laki ga boleh nangis, kecuali saat dia kecewa kepada dirinya sendiri.

Sejenak, aku merasakan gejolak emosi yang sangat deras di dadaku, seolah ada simpul kusut yang  ditarik-tarik ke segala arah.

Di hari yang terik itu pun, hujan turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun