Sesampainya disana, ayahmu sudah menunggu di teras depan, ditemani ibumu. Aku merasa segan. “Ayo masuk nak,” kata ayahmu. Aku hanya mengangguk, mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ruang tamu rumahmu masih seperti yang aku ingat. Foto keluargamu dalam figura kayu dengan noda kopi di sudut kanan atas. Masih ada piano sumbang yang keluargamu selalu tunda untuk benarkan.
Ibumu datang membawakan satu gelas teh hangat. Bunyi jam mengiringi kesunyian yang kami bagi. Kami saling menunggu siapa yang akan memcahkan keheningan ini terlebih dahulu. Pada akhirnya, ayahmu yang memulainya, “Kamu baik-baik aja?”
“Baik, semua baik om,” kataku.
“Masa?” tanya ayahmu.
“Iya,” kataku.
“Kamu kenal sama Naura udah berapa lama?” tanya ayahmu.
“Udah dari SMA, kurang lebih tujuh tahun om,” jawabku.
“Lumayan lama ya.”
“Iya om.”
“Om masih inget dulu waktu kalian SMA, kamu sering main kesini, sering bantuin Naura ngerjain tugas sekolahnya. Naura juga sering cerita soal kamu, dia seneng banget punya sahabat cowo kaya kamu.”
“Ah, iya Om,” aku hanya bisa membalasnya singkat. Entah kenapa suasananya mendadak canggung.