“Emm, tapi nanti gue yang milih ya.”
“Nah begitu dong.” Kalau soal makan, Naura sudah pasti tidak akan menolak.
Dari SMA, aku ada di setiap jatuh cinta yang Naura alami, dia juga ada di setiap patah hati yang aku pikul. Naura adalah orang pertama kali yang aku telepon untuk dimintai bantuannya mengerjakan tugas-tugasku. Aku adalah orang yang dia telepon ketika dia cerita tentang kegabutan tiap malam. Sampai-sampai aku sering kali di teleponnya saat tengah malam suntuk hanya untuk mendengarkan cerita fantasinya. Meresahkan memang.
***
Hari ini terasa terlalu ramai untuk hari Sabtu. Di sepanjang jalan, Naura tidak ada hentinya berbicara. Namun, aku pernah mengeluhkan itu sama sekali. Aku hanya mendengarkannya mengoceh sambil sesekali beradu kata.
“Makasih udah mau nemenin gue,” kata Naura tiba-tiba. “Sorry ngerepotin.”
“Kapan sih lo gak ngerepotin gue,” kataku, bercanda.
“Jangan gitu dong, lo juga suka ngerepotin gue kan.” “Ya, gue cuma mau bilang makasih saja ke lo,” sambungnya.
“Iya iya yaudah, sama-sama deh.” “Btw, hari ini ada siapa saja?” tanyaku mengalihkan.
“Biasa anak-anak,” “Andhra, Diki, Andin, sama Nadia” jelasnya.
“Oh anak-anak, gue kira siapa,” aku kenal mereka karena kita satu organisasi di kampus. Mereka juga teman-teman dekatku dan juga Naura.