Misteri Rumah di Ujung Jalan
Malam itu, langit tampak gelap gulita. Awan hitam pekat menutupi cahaya bulan, membuat jalan kecil di desa Kembang Manis terasa mencekam. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam, seperti bau besi yang samar namun menusuk.
Dina melangkah cepat di tengah jalan berbatu, tas sekolahnya tergantung di bahu. Sudah hampir pukul sembilan malam, dan ia harus segera pulang sebelum ayahnya marah. Tapi yang membuatnya cemas bukanlah amarah ayahnya. Melainkan rumah tua di ujung jalan ini.
Semua orang di desa tahu tentang rumah itu. Bangunannya besar dengan jendela-jendela lebar yang seperti mata kosong, mengawasi setiap orang yang lewat. Dulu, rumah itu milik keluarga Wijaya, namun mereka semua meninggal secara misterius satu malam lebih dari dua puluh tahun lalu. Sejak saat itu, rumah itu dibiarkan kosong, perlahan dilahap waktu dan menjadi reruntuhan yang menyeramkan.
Dina mempercepat langkahnya saat melewati pagar rumah tersebut. Rumput liar tumbuh tinggi, hampir menutupi gerbang yang sudah berkarat. Ia menundukkan kepala, berharap menghindari pandangan ke jendela-jendela gelap rumah itu. Tapi sesuatu menarik perhatiannya.
Di salah satu jendela lantai atas, ia melihat bayangan seseorang berdiri diam.
Bayangan itu tak bergerak, hanya berdiri di sana, mengawasi. Dina merasa tubuhnya membeku. Pikirannya berteriak untuk lari, tapi kakinya tetap terpaku di tempat. Ia menatap jendela itu lebih lekat, mencoba memastikan apakah bayangan itu nyata atau hanya imajinasinya. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, bayangan itu menghilang begitu saja.
Dengan napas tercekat, Dina berlari secepat mungkin menuju rumahnya.
Setibanya di rumah, Dina mendapati ibunya sedang duduk di ruang tamu, menyulam sesuatu di bawah cahaya lampu kuning yang temaram.
“Kamu terlambat lagi,” kata ibunya tanpa menoleh.
“Maaf, Bu,” jawab Dina sambil menaruh tasnya di kursi. “Tadi… ada sesuatu di jalan.”
“Bayangan, Bu,” Dina menjawab dengan suara pelan. “Di jendela rumah tua itu. Aku melihat seseorang berdiri di sana.”
Ibu Dina menghentikan aktivitas menyulamnya. Wajahnya berubah sedikit pucat, tapi ia mencoba tersenyum. “Mungkin kamu hanya lelah, Dina. Rumah itu sudah kosong bertahun-tahun. Tak mungkin ada orang di sana.”
“Tapi aku benar-benar melihatnya, Bu. Bayangan itu menghilang begitu saja.”
Ibunya menghela napas panjang. “Sudah, jangan dipikirkan. Cepat mandi dan makan malam. Nanti kamu bisa cerita lebih banyak kalau mau.”
Dina menurut, tapi pikiran tentang bayangan itu terus menghantuinya. Sepanjang malam, ia sulit tidur. Dalam kegelapan kamar, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya, meskipun semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat.
Keesokan harinya di sekolah, Dina menceritakan pengalamannya kepada teman-teman dekatnya, Rina dan Yoga.
“Aku yakin itu cuma imajinasimu,” kata Rina sambil mengunyah permen karet. “Rumah itu memang seram, tapi siapa sih yang mau tinggal di sana? Bahkan preman sekalipun nggak akan betah.”
“Tapi aku juga pernah dengar cerita aneh tentang rumah itu,” sahut Yoga dengan nada lebih serius. “Katanya, dulu keluarga Wijaya meninggal karena pembunuhan. Mayat mereka ditemukan terkunci di salah satu kamar, tapi pintunya nggak bisa dibuka dari luar. Seperti… ada yang sengaja mengurung mereka di dalam.”
Dina menggigit bibirnya. “Jadi menurutmu, itu hantu keluarga mereka?”
Yoga mengangkat bahu. “Siapa tahu. Banyak yang bilang mereka masih gentayangan di sana, mencari jawaban kenapa mereka mati.”
Rina tertawa, tapi ada sedikit nada gugup dalam suaranya. “Ah, sudah lah. Jangan mikir yang aneh-aneh. Kalau kamu penasaran, kenapa nggak kita cek aja rumah itu malam ini?”
Dina langsung menolak. “Aku nggak mau ke sana lagi! Apalagi malam-malam.”
“Kenapa takut?” ejek Rina. “Aku cuma bercanda kok.”
Namun, rencana itu tidak berakhir sebagai lelucon. Malamnya, Rina dan Yoga datang ke rumah Dina membawa senter dan keberanian yang lebih besar daripada akal sehat mereka.
“Dina, ayo ikut kami,” pinta Yoga dengan senyum lebar. “Kita cuma lihat dari luar. Kalau nggak ada apa-apa, ya sudah, selesai.”
“Aku bilang nggak mau,” jawab Dina tegas.
“Tapi kalau nggak ada kamu, gimana kami tahu bayangan mana yang kamu lihat?” kata Rina, mencoba memprovokasi.
Setelah beberapa menit didesak, Dina akhirnya menyerah. Dengan berat hati, ia menyetujui untuk pergi ke rumah tua itu bersama mereka.
Ketiganya sampai di depan rumah tua itu tepat pukul sepuluh malam. Suasana di sekitar terasa lebih mencekam daripada biasanya. Angin dingin bertiup, membawa suara dedaunan kering yang bergesekan.
“Kalau cuma sampai pagar, aku mau,” kata Dina, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Tentu,” balas Yoga, meskipun ia jelas-jelas membawa obeng di saku, seolah siap membuka pintu rumah itu.
Mereka mendekati pagar berkarat, dan Yoga mengarahkan senternya ke jendela lantai atas. Tidak ada apa-apa di sana.
“Lihat? Nggak ada apa-apa,” kata Yoga.
Tapi tiba-tiba, Rina menunjuk ke arah pintu rumah. “Eh, itu apa?”
Pintu depan rumah yang semula tertutup rapat kini terbuka perlahan, mengeluarkan suara berdecit yang nyaring. Dina merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Kita… kita pergi saja,” katanya gemetar.
Namun, Rina dan Yoga malah melangkah mendekati pintu. “Cuma angin, Dina. Nggak usah takut,” kata Rina sambil tersenyum tipis.
Begitu mereka melewati ambang pintu, aroma pengap langsung menyerang hidung mereka. Interior rumah dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Lantainya berderit di setiap langkah.
“Rasanya dingin di sini,” bisik Dina, memeluk tubuhnya sendiri.
“Cuma karena rumah ini udah tua,” jawab Yoga. Ia mengarahkan senter ke sekeliling ruangan, mencoba mencari sesuatu yang menarik perhatian.
Mereka berjalan ke ruang tamu. Sofa lama yang sobek, meja kayu yang hampir lapuk, dan cermin besar yang retak di sudut ruangan membuat suasana semakin menyeramkan. Dina berusaha tidak menatap cermin itu, tetapi sulit mengalihkan pandangannya.
“Cermin ini kelihatan aneh,” gumamnya.
Yoga mengarahkan senternya ke cermin. Retakan-retakan di permukaan cermin membentuk pola yang aneh, seperti wajah seseorang yang sedang menjerit.
Rina mendekati cermin itu dan menyentuh permukaannya. “Kayaknya ini cuma bayangan retakannya, nggak ada yang—”
Tiba-tiba, bayangan mereka di cermin bergerak.
Tapi tidak sesuai dengan gerakan mereka.
Ketiganya langsung mundur dengan napas tercekat. Bayangan dalam cermin tidak mengikuti gerakan mereka, malah tampak berdiri diam sambil menatap mereka dengan mata kosong. Bayangan itu terlihat seperti… mereka, tapi lebih menyeramkan. Wajah-wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa bola mata, dan bibir mereka melengkung membentuk senyum tipis yang dingin.
Dina menjerit kecil, memegang lengan Yoga. “Kita harus pergi sekarang!”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, bayangan di cermin itu mulai bergerak mendekat. Perlahan, mereka melangkah keluar dari permukaan cermin, seperti mencoba menerobos ke dunia nyata. Retakan-retakan pada cermin tampak bergerak, seperti air yang beriak.
“Ayo lari!” teriak Yoga, menarik Dina dan Rina menjauh dari cermin.
Mereka berlari ke arah pintu depan, tapi pintu itu kini tertutup rapat. Meski Yoga mencoba menariknya dengan sekuat tenaga, pintu itu tidak bergeming.
“Ini nggak mungkin! Pintu ini tadi kebuka sendiri!” serunya panik.
Rina berbalik, melihat ke arah ruang tamu. Cermin besar itu kini kosong, tidak lagi memantulkan bayangan apa pun. Tapi sesuatu yang lain membuat darahnya membeku. Di sudut ruangan, muncul sosok gelap dengan tubuh melayang. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya dua lubang besar di tempat matanya seharusnya berada. Sosok itu bergerak mendekat, perlahan namun pasti.
“Dina… Yoga…” suara Rina bergetar. “Lihat itu…”
Yoga dan Dina menoleh, dan mereka langsung merasa lutut mereka lemas. Sosok itu makin dekat, mengeluarkan suara mengerikan seperti desahan panjang yang tertahan.
“Kita harus cari jalan keluar lain!” teriak Dina.
Mereka berlari menuju lorong yang menuju dapur. Rumah itu seperti labirin; lorongnya sempit dan dindingnya ditutupi oleh kertas dinding yang sudah terkelupas. Langkah mereka terhenti ketika mereka mendengar suara lain—suara anak kecil yang tertawa, melengking dan mengerikan, menggema di seluruh rumah.
“Siapa itu?” bisik Rina dengan wajah pucat.
Suara tawa itu berubah menjadi tangisan, tangisan seorang anak yang terdengar seperti berasal dari segala arah sekaligus. Dina merasa air matanya mulai menggenang. “Aku nggak mau di sini! Aku nggak mau di sini!”
Yoga menemukan sebuah pintu di ujung lorong. Ia mendorong pintu itu terbuka, dan mereka bertiga masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang tampak seperti gudang. Penuh dengan barang-barang tua yang berdebu—boneka dengan mata yang hilang, kotak-kotak kayu, dan bingkai foto berisi potret keluarga Wijaya.
Namun, di tengah ruangan, terdapat sesuatu yang membuat mereka semua berhenti bergerak: sebuah kursi kayu tua dengan tali yang melilit sandarannya, seperti tempat seseorang pernah diikat.
“Apa ini?” bisik Rina.
Tiba-tiba, kursi itu bergoyang sendiri. Tali-tali yang melilit sandarannya bergerak seolah ditarik oleh tangan tak kasatmata. Suara berderitnya memenuhi ruangan, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Keluar dari sini,” terdengar bisikan serak, entah dari mana asalnya. Suaranya seperti berasal dari dalam ruangan, tetapi juga dari kepala mereka sendiri.
Dina mundur dengan tubuh gemetar. “Kita harus keluar. Kita harus keluar sekarang!”
Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu gudang yang baru saja mereka masuki tertutup keras, menimbulkan suara gedebuk yang menggelegar. Yoga mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci rapat.
“Ini nggak mungkin!” serunya sambil menarik-narik gagang pintu.
Kemudian, tangisan itu kembali terdengar—tangisan anak kecil yang semakin dekat. Dina melirik ke arah boneka-boneka tua di sudut ruangan, dan salah satu boneka itu perlahan menggerakkan kepalanya, menatap ke arah mereka dengan mata hitam legam.
Boneka itu tersenyum.
“Dina, kenapa kamu membawa mereka ke sini?” suara anak kecil itu kini terdengar jelas, dan Dina merasa darahnya membeku.
“Aku nggak… aku nggak tahu apa maksudmu!” balas Dina dengan panik.
“Semua orang harus tahu kebenarannya…” bisik suara itu, dan tiba-tiba ruangan menjadi gelap gulita.
Ketika mereka membuka mata, mereka sudah berada di ruang tamu rumah itu lagi. Cermin besar yang tadi retak kini kembali utuh, dan di dalamnya, mereka melihat sesuatu yang lebih menyeramkan.
Bayangan mereka di cermin bukan lagi refleksi diri mereka. Kini, bayangan itu berubah menjadi sosok-sosok menyeramkan—kulit wajah mereka mengelupas, mata mereka hitam legam, dan senyum mengerikan menghiasi wajah-wajah itu.
“Kamu adalah kami,” suara dari bayangan itu berkata dengan nada menggelegar.
Rina menjerit dan melempar sebuah vas ke arah cermin. Namun, bukannya pecah, cermin itu menyerap vas tersebut, dan bayangan-bayangan di dalamnya tampak bergerak lebih cepat, seperti mencoba keluar.
“Apa yang kalian mau dari kami?!” teriak Yoga dengan putus asa.
“Menemani kami…” suara itu berbisik, penuh rasa haus yang mengerikan.
Kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi. Cermin itu pecah dengan suara keras, serpihannya melayang di udara, menari seperti pisau tajam. Dina merunduk, menarik Yoga dan Rina ke lantai untuk menghindari pecahan-pecahan itu.
Saat mereka mencoba melindungi diri, sebuah cahaya terang muncul dari sudut ruangan. Sosok seorang wanita muncul dari cahaya itu—wajahnya lembut, namun matanya dipenuhi kesedihan. Wanita itu melayang perlahan mendekati cermin yang kini retak total.
“Cukup,” kata wanita itu dengan suara tegas namun penuh kelembutan.
Serpihan-serpihan cermin berhenti bergerak dan jatuh ke lantai. Suasana menjadi hening sejenak.
Wanita itu berbalik menghadap Dina, Yoga, dan Rina. “Kalian seharusnya tidak berada di sini. Rumah ini dipenuhi kemarahan dan rasa sakit.”
“Siapa Anda?” tanya Dina dengan suara bergetar.
“Aku adalah bagian dari keluarga yang dulu tinggal di sini,” jawab wanita itu. “Kejahatan yang dilakukan kepada kami meninggalkan luka yang mendalam dan rumah ini menyimpan semua kebencian itu,”
lanjut wanita tersebut dengan suara lembut. “Namun, kalian harus pergi sebelum semuanya menelan kalian juga.”
Dina, Yoga, dan Rina hanya bisa menatapnya dengan bingung dan takut.
“Apa yang terjadi pada keluargamu?” tanya Dina akhirnya, meskipun ia tak yakin ingin mendengar jawabannya.
Wanita itu menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Kami dibunuh oleh seseorang yang ingin mengambil rumah ini. Namun jiwa kami terperangkap di sini karena rasa sakit dan ketidakadilan. Kemarahan kami menciptakan bayangan-bayangan itu, dan kini rumah ini menjadi tempat kegelapan berkuasa. Jika kalian tinggal lebih lama, kalian akan menjadi bagian dari rumah ini… seperti kami.”
“Bagaimana caranya kami keluar?” tanya Yoga dengan nada mendesak.
“Keluar melalui pintu yang sama seperti kalian masuk,” jawab wanita itu. “Namun jangan menoleh ke belakang, apapun yang terjadi. Jika kalian menoleh… kalian akan terjebak di sini selamanya.”
Wanita itu melayang ke arah cermin, yang mulai bersinar terang. “Aku akan menahan mereka cukup lama. Pergilah sekarang, sebelum semuanya terlambat.”
Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga langsung berlari ke arah pintu depan. Kali ini, pintu itu terbuka lebar, memperlihatkan malam yang gelap di luar. Namun, suara langkah kaki dan bisikan-bisikan mengerikan mulai terdengar dari belakang mereka, semakin mendekat.
“Jangan menoleh!” seru Dina, mengingat peringatan wanita tadi.
Mereka terus berlari melewati ruang tamu, lorong, hingga akhirnya keluar dari rumah itu. Begitu mereka melewati pagar berkarat, suara langkah kaki dan bisikan itu tiba-tiba menghilang.
Mereka terengah-engah, berdiri di tengah jalan berbatu, menatap rumah tua itu. Rumah itu kini tampak lebih gelap dari sebelumnya, seperti bayangan besar yang menelan seluruh cahaya di sekitarnya.
“Ayo pergi dari sini,” kata Rina dengan suara gemetar.
Tanpa sepatah kata lagi, mereka bertiga berjalan pulang, meninggalkan rumah itu di belakang mereka. Namun, jauh di dalam hati mereka, mereka tahu rumah itu belum selesai. Kegelapan di dalamnya masih ada, menunggu.
Dan meskipun mereka telah keluar dengan selamat, satu pertanyaan terus mengganggu Dina: siapa wanita itu sebenarnya? Dan kenapa ia terlihat sangat mirip dengan bayangannya sendiri di cermin?
Rumah di ujung jalan itu tetap berdiri, seperti menunggu tamu berikutnya yang cukup nekat untuk masuk. Karena, bagi rumah itu, setiap jiwa yang masuk hanyalah bagian dari siklus tak berujung… sebuah undangan menuju kegelapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H