Rina mendekati cermin itu dan menyentuh permukaannya. “Kayaknya ini cuma bayangan retakannya, nggak ada yang—”
Tiba-tiba, bayangan mereka di cermin bergerak.
Tapi tidak sesuai dengan gerakan mereka.
Ketiganya langsung mundur dengan napas tercekat. Bayangan dalam cermin tidak mengikuti gerakan mereka, malah tampak berdiri diam sambil menatap mereka dengan mata kosong. Bayangan itu terlihat seperti… mereka, tapi lebih menyeramkan. Wajah-wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa bola mata, dan bibir mereka melengkung membentuk senyum tipis yang dingin.
Dina menjerit kecil, memegang lengan Yoga. “Kita harus pergi sekarang!”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, bayangan di cermin itu mulai bergerak mendekat. Perlahan, mereka melangkah keluar dari permukaan cermin, seperti mencoba menerobos ke dunia nyata. Retakan-retakan pada cermin tampak bergerak, seperti air yang beriak.
“Ayo lari!” teriak Yoga, menarik Dina dan Rina menjauh dari cermin.
Mereka berlari ke arah pintu depan, tapi pintu itu kini tertutup rapat. Meski Yoga mencoba menariknya dengan sekuat tenaga, pintu itu tidak bergeming.
“Ini nggak mungkin! Pintu ini tadi kebuka sendiri!” serunya panik.
Rina berbalik, melihat ke arah ruang tamu. Cermin besar itu kini kosong, tidak lagi memantulkan bayangan apa pun. Tapi sesuatu yang lain membuat darahnya membeku. Di sudut ruangan, muncul sosok gelap dengan tubuh melayang. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya dua lubang besar di tempat matanya seharusnya berada. Sosok itu bergerak mendekat, perlahan namun pasti.
“Dina… Yoga…” suara Rina bergetar. “Lihat itu…”