“Lihat? Nggak ada apa-apa,” kata Yoga.
Tapi tiba-tiba, Rina menunjuk ke arah pintu rumah. “Eh, itu apa?”
Pintu depan rumah yang semula tertutup rapat kini terbuka perlahan, mengeluarkan suara berdecit yang nyaring. Dina merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Kita… kita pergi saja,” katanya gemetar.
Namun, Rina dan Yoga malah melangkah mendekati pintu. “Cuma angin, Dina. Nggak usah takut,” kata Rina sambil tersenyum tipis.
Begitu mereka melewati ambang pintu, aroma pengap langsung menyerang hidung mereka. Interior rumah dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Lantainya berderit di setiap langkah.
“Rasanya dingin di sini,” bisik Dina, memeluk tubuhnya sendiri.
“Cuma karena rumah ini udah tua,” jawab Yoga. Ia mengarahkan senter ke sekeliling ruangan, mencoba mencari sesuatu yang menarik perhatian.
Mereka berjalan ke ruang tamu. Sofa lama yang sobek, meja kayu yang hampir lapuk, dan cermin besar yang retak di sudut ruangan membuat suasana semakin menyeramkan. Dina berusaha tidak menatap cermin itu, tetapi sulit mengalihkan pandangannya.
“Cermin ini kelihatan aneh,” gumamnya.
Yoga mengarahkan senternya ke cermin. Retakan-retakan di permukaan cermin membentuk pola yang aneh, seperti wajah seseorang yang sedang menjerit.