Yoga dan Dina menoleh, dan mereka langsung merasa lutut mereka lemas. Sosok itu makin dekat, mengeluarkan suara mengerikan seperti desahan panjang yang tertahan.
“Kita harus cari jalan keluar lain!” teriak Dina.
Mereka berlari menuju lorong yang menuju dapur. Rumah itu seperti labirin; lorongnya sempit dan dindingnya ditutupi oleh kertas dinding yang sudah terkelupas. Langkah mereka terhenti ketika mereka mendengar suara lain—suara anak kecil yang tertawa, melengking dan mengerikan, menggema di seluruh rumah.
“Siapa itu?” bisik Rina dengan wajah pucat.
Suara tawa itu berubah menjadi tangisan, tangisan seorang anak yang terdengar seperti berasal dari segala arah sekaligus. Dina merasa air matanya mulai menggenang. “Aku nggak mau di sini! Aku nggak mau di sini!”
Yoga menemukan sebuah pintu di ujung lorong. Ia mendorong pintu itu terbuka, dan mereka bertiga masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang tampak seperti gudang. Penuh dengan barang-barang tua yang berdebu—boneka dengan mata yang hilang, kotak-kotak kayu, dan bingkai foto berisi potret keluarga Wijaya.
Namun, di tengah ruangan, terdapat sesuatu yang membuat mereka semua berhenti bergerak: sebuah kursi kayu tua dengan tali yang melilit sandarannya, seperti tempat seseorang pernah diikat.
“Apa ini?” bisik Rina.
Tiba-tiba, kursi itu bergoyang sendiri. Tali-tali yang melilit sandarannya bergerak seolah ditarik oleh tangan tak kasatmata. Suara berderitnya memenuhi ruangan, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Keluar dari sini,” terdengar bisikan serak, entah dari mana asalnya. Suaranya seperti berasal dari dalam ruangan, tetapi juga dari kepala mereka sendiri.
Dina mundur dengan tubuh gemetar. “Kita harus keluar. Kita harus keluar sekarang!”