“Bayangan, Bu,” Dina menjawab dengan suara pelan. “Di jendela rumah tua itu. Aku melihat seseorang berdiri di sana.”
Ibu Dina menghentikan aktivitas menyulamnya. Wajahnya berubah sedikit pucat, tapi ia mencoba tersenyum. “Mungkin kamu hanya lelah, Dina. Rumah itu sudah kosong bertahun-tahun. Tak mungkin ada orang di sana.”
“Tapi aku benar-benar melihatnya, Bu. Bayangan itu menghilang begitu saja.”
Ibunya menghela napas panjang. “Sudah, jangan dipikirkan. Cepat mandi dan makan malam. Nanti kamu bisa cerita lebih banyak kalau mau.”
Dina menurut, tapi pikiran tentang bayangan itu terus menghantuinya. Sepanjang malam, ia sulit tidur. Dalam kegelapan kamar, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya, meskipun semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat.
Keesokan harinya di sekolah, Dina menceritakan pengalamannya kepada teman-teman dekatnya, Rina dan Yoga.
“Aku yakin itu cuma imajinasimu,” kata Rina sambil mengunyah permen karet. “Rumah itu memang seram, tapi siapa sih yang mau tinggal di sana? Bahkan preman sekalipun nggak akan betah.”
“Tapi aku juga pernah dengar cerita aneh tentang rumah itu,” sahut Yoga dengan nada lebih serius. “Katanya, dulu keluarga Wijaya meninggal karena pembunuhan. Mayat mereka ditemukan terkunci di salah satu kamar, tapi pintunya nggak bisa dibuka dari luar. Seperti… ada yang sengaja mengurung mereka di dalam.”
Dina menggigit bibirnya. “Jadi menurutmu, itu hantu keluarga mereka?”
Yoga mengangkat bahu. “Siapa tahu. Banyak yang bilang mereka masih gentayangan di sana, mencari jawaban kenapa mereka mati.”
Rina tertawa, tapi ada sedikit nada gugup dalam suaranya. “Ah, sudah lah. Jangan mikir yang aneh-aneh. Kalau kamu penasaran, kenapa nggak kita cek aja rumah itu malam ini?”