Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu gudang yang baru saja mereka masuki tertutup keras, menimbulkan suara gedebuk yang menggelegar. Yoga mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci rapat.
“Ini nggak mungkin!” serunya sambil menarik-narik gagang pintu.
Kemudian, tangisan itu kembali terdengar—tangisan anak kecil yang semakin dekat. Dina melirik ke arah boneka-boneka tua di sudut ruangan, dan salah satu boneka itu perlahan menggerakkan kepalanya, menatap ke arah mereka dengan mata hitam legam.
Boneka itu tersenyum.
“Dina, kenapa kamu membawa mereka ke sini?” suara anak kecil itu kini terdengar jelas, dan Dina merasa darahnya membeku.
“Aku nggak… aku nggak tahu apa maksudmu!” balas Dina dengan panik.
“Semua orang harus tahu kebenarannya…” bisik suara itu, dan tiba-tiba ruangan menjadi gelap gulita.
Ketika mereka membuka mata, mereka sudah berada di ruang tamu rumah itu lagi. Cermin besar yang tadi retak kini kembali utuh, dan di dalamnya, mereka melihat sesuatu yang lebih menyeramkan.
Bayangan mereka di cermin bukan lagi refleksi diri mereka. Kini, bayangan itu berubah menjadi sosok-sosok menyeramkan—kulit wajah mereka mengelupas, mata mereka hitam legam, dan senyum mengerikan menghiasi wajah-wajah itu.
“Kamu adalah kami,” suara dari bayangan itu berkata dengan nada menggelegar.
Rina menjerit dan melempar sebuah vas ke arah cermin. Namun, bukannya pecah, cermin itu menyerap vas tersebut, dan bayangan-bayangan di dalamnya tampak bergerak lebih cepat, seperti mencoba keluar.