Dina langsung menolak. “Aku nggak mau ke sana lagi! Apalagi malam-malam.”
“Kenapa takut?” ejek Rina. “Aku cuma bercanda kok.”
Namun, rencana itu tidak berakhir sebagai lelucon. Malamnya, Rina dan Yoga datang ke rumah Dina membawa senter dan keberanian yang lebih besar daripada akal sehat mereka.
“Dina, ayo ikut kami,” pinta Yoga dengan senyum lebar. “Kita cuma lihat dari luar. Kalau nggak ada apa-apa, ya sudah, selesai.”
“Aku bilang nggak mau,” jawab Dina tegas.
“Tapi kalau nggak ada kamu, gimana kami tahu bayangan mana yang kamu lihat?” kata Rina, mencoba memprovokasi.
Setelah beberapa menit didesak, Dina akhirnya menyerah. Dengan berat hati, ia menyetujui untuk pergi ke rumah tua itu bersama mereka.
Ketiganya sampai di depan rumah tua itu tepat pukul sepuluh malam. Suasana di sekitar terasa lebih mencekam daripada biasanya. Angin dingin bertiup, membawa suara dedaunan kering yang bergesekan.
“Kalau cuma sampai pagar, aku mau,” kata Dina, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Tentu,” balas Yoga, meskipun ia jelas-jelas membawa obeng di saku, seolah siap membuka pintu rumah itu.
Mereka mendekati pagar berkarat, dan Yoga mengarahkan senternya ke jendela lantai atas. Tidak ada apa-apa di sana.