“Dewi, kamu anak yang sangat kuat. Tapi kamu tidak perlu melakukannya sendirian. Biar saya bantu membawa ibumu ke puskesmas,” kata Bu Sari suatu sore.
Dewi terkejut, matanya mulai basah. “Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Ibu.”
“Tidak perlu membalas apa-apa, Nak. Cukup belajar yang rajin dan jadilah orang yang sukses. Itu sudah cukup untuk saya,” ujar Bu Sari sambil tersenyum hangat.
Dengan bantuan Bu Sari, ibu Dewi mendapat perawatan yang ia butuhkan. Meski sederhana, pengobatan itu sudah cukup untuk membuat kondisinya membaik.
Mimpi yang Terus Hidup
Beberapa bulan berlalu. Kehidupan Dewi, Bayu, dan ibu mereka perlahan membaik. Dewi tetap rajin bekerja sambil belajar. Ia tidak pernah absen dari sekolah, meski sering datang dengan seragam yang lusuh dan sepatu yang sudah hampir rusak.
Di sekolah, Dewi semakin dikenal sebagai murid yang cerdas dan rajin. Suatu hari, guru kelasnya, Bu Nisa, memanggilnya ke ruang guru.
“Dewi, saya ingin memberi tahu kamu sesuatu yang penting. Sekolah ini akan memberikan beasiswa untuk siswa yang berprestasi dan memiliki semangat tinggi. Saya sudah mencalonkan kamu, dan kamu diterima,” ujar Bu Nisa dengan senyum lebar.
Dewi tertegun. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. “Terima kasih, Bu. Ini seperti mimpi bagi saya.”
“Ini bukan mimpi, Dewi. Ini adalah hasil kerja kerasmu. Teruslah belajar dan jangan pernah menyerah,” jawab Bu Nisa.
Beasiswa itu membuka peluang baru bagi Dewi. Ia tidak hanya mendapatkan uang untuk biaya sekolah, tetapi juga bantuan berupa buku-buku dan seragam baru. Kini, ia bisa belajar dengan lebih tenang tanpa harus terlalu khawatir tentang kebutuhan sehari-hari.