Mohon tunggu...
Zaskia Nasywa13
Zaskia Nasywa13 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

baca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langkah Kecil Menuju Langit

28 November 2024   21:55 Diperbarui: 28 November 2024   22:57 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkah Kecil Menuju Langit

Dewi menggenggam erat botol plastik bekas di tangannya. Matanya menatap penuh harap pada tumpukan sampah di depan sebuah rumah besar di ujung jalan. Hari ini panasnya menyengat, membuat keringat membasahi lehernya yang kecil. Namun, ia tidak peduli.

“Ayo, Dewi! Kita harus cepat. Kalau tidak, sampahnya diambil orang lain,” seru Bayu, adiknya, yang berdiri tak jauh darinya.

Dewi mengangguk. Ia tahu betapa pentingnya botol-botol itu untuk mereka. Dengan menjualnya ke pengepul, ia bisa mendapatkan uang untuk membeli sekantong kecil beras atau sekotak susu untuk Bayu. Ayah mereka sudah lama tidak pulang, dan ibu hanya bisa berjualan pisang goreng di pasar.

“Hati-hati, Bayu! Jangan sampai kena pecahan kaca,” ujar Dewi, memperingatkan adiknya.

Mereka bekerja sama mengumpulkan botol plastik dan kaleng bekas, memasukannya ke karung besar yang mereka bawa dari rumah. Tangan kecil mereka sudah terbiasa dengan bau busuk dan kotoran yang menempel. Namun, di balik semua itu, ada semangat yang tak pernah padam dalam diri Dewi.

Bayu, yang baru berusia lima tahun, terkadang berhenti untuk bermain dengan barang-barang bekas yang ia temukan. Hari itu, ia menemukan tutup botol yang berwarna-warni dan menyusunnya menjadi lingkaran kecil di tanah. “Kak, lihat ini! Aku buat lingkaran. Bagus, kan?” katanya dengan bangga.

Dewi tersenyum, tapi ia tahu tidak ada waktu untuk bermain. “Bagus, Bayu. Tapi kita harus cepat, ya. Kalau lingkarannya sudah selesai, langsung masukkan tutup botolnya ke karung.”

Bayu mengangguk, meskipun ia kelihatan kecewa. Dewi tahu bahwa Bayu hanya ingin menikmati momen kecil dalam kesehariannya yang keras, tapi mereka tidak punya kemewahan waktu untuk itu.

“Dewi, kalau kita sudah punya banyak uang, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bayu, sambil memeluk karung yang hampir penuh.

Dewi tersenyum kecil. “Aku ingin beli buku baru dan sepatu sekolah. Kamu juga harus sekolah, Bayu. Kita harus pintar biar nanti bisa bantu Ibu.”

Bayu hanya mengangguk. Ia masih terlalu kecil untuk memahami mimpi-mimpi kakaknya, tapi ia percaya pada Dewi. Kakaknya selalu punya cara untuk membuat mereka bertahan.

Mimpi di Balik Langit

Setelah berhasil mengumpulkan cukup banyak botol, mereka berjalan ke tempat pengepul. Jaraknya cukup jauh dari rumah mereka, dan matahari semakin terik. Bayu beberapa kali meminta berhenti, tapi Dewi terus mendorongnya untuk berjalan.

“Bayu, kalau kita berhenti terlalu lama, kita bisa kehilangan waktu. Yuk, semangat!”

Meski lelah, Dewi selalu menemukan cara untuk memotivasi adiknya. Ia tahu, kalau mereka tidak melakukannya, tidak akan ada makanan yang bisa mereka bawa pulang.

Sesampainya di tempat pengepul, mereka menyerahkan karung itu dan menunggu timbangan. Hasilnya, mereka mendapatkan tiga puluh ribu rupiah hari itu. Dewi menghitung uang itu dengan hati-hati sebelum memasukkannya ke kantong kecil yang tergantung di pinggangnya.

“Alhamdulillah, cukup untuk beli beras dan susu,” gumam Dewi sambil tersenyum ke Bayu.

Mereka pulang dengan langkah ringan meskipun tubuh mereka terasa lelah. Sesampainya di rumah, Ibu menyambut mereka dengan senyum lemah. Ia baru saja pulang dari pasar, membawa beberapa buah pisang yang tidak laku.

“Kalian hebat, Dewi, Bayu. Ibu bangga,” ujar Ibu, sambil mengelus kepala mereka.

Malam itu, mereka makan bersama dengan nasi hangat dan sambal sederhana. Meski hanya sedikit, rasanya sangat nikmat. Bagi Dewi, momen bersama keluarga adalah kebahagiaan sejati yang tidak bisa digantikan oleh apapun.

Hari-Hari yang Terus Berjalan

Hari-hari terus berlalu. Dewi dan Bayu tetap mengumpulkan botol setiap pagi sebelum pergi ke sekolah. Di sekolah, Dewi selalu menjadi murid yang paling rajin. Ia sering dipuji oleh guru-gurunya karena kegigihannya meskipun berasal dari keluarga sederhana.

“Bu Guru, suatu saat nanti saya ingin menjadi dokter,” ujar Dewi suatu hari ketika ditanya tentang cita-citanya.

Guru tersenyum dan menepuk bahunya. “Kamu pasti bisa, Dewi. Terus belajar dan jangan menyerah.”

Ucapan itu terpatri dalam hati Dewi. Ia tahu perjalanannya tidak akan mudah, tapi ia percaya bahwa langkah kecilnya hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar di masa depan.

Namun, suatu hari, Bayu jatuh sakit. Tubuhnya demam tinggi, dan ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dewi panik. Ia tahu mereka tidak punya uang untuk pergi ke dokter, apalagi membeli obat.

“Ibu, bagaimana ini? Bayu sakit,” kata Dewi sambil menahan air mata.

Ibu hanya bisa menghela napas. “Ibu akan coba meminjam uang dari tetangga. Kamu tunggu di sini dan jaga Bayu.”

Dewi menggenggam tangan Bayu yang panas. Ia merasa tidak berdaya. Tapi, dalam hatinya, ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ketika Ibu pergi, Dewi mengambil sisa uang dari kantong kecilnya dan bergegas ke warung terdekat.

“Bu, saya butuh obat demam untuk adik saya. Tapi uang saya tidak cukup. Bisakah saya membayarnya nanti?” tanyanya dengan suara penuh harap.

Pemilik warung, seorang wanita tua yang baik hati, tersenyum. “Ambil saja, Nak. Yang penting adikmu sembuh. Bayar nanti kalau sudah ada uang.”

Dewi hampir menangis karena terharu. Ia berlari pulang dengan obat di tangannya, berharap itu cukup untuk membantu Bayu.

Janji pada Langit

Malam itu, setelah memberikan obat pada Bayu, Dewi duduk di depan rumah, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia menggenggam tangan Bayu yang sudah mulai dingin, pertanda demamnya perlahan turun.

Dalam hati, Dewi berdoa. “Ya Allah, tolong beri kami kekuatan. Saya ingin Bayu sehat, dan saya ingin terus berjuang untuk keluarga kami. Saya ingin Ibu bisa istirahat tanpa harus memikirkan uang setiap hari.”

Dewi tahu, jalan mereka masih panjang. Tapi ia tidak takut. Langkah kecilnya setiap hari adalah caranya untuk mendekatkan diri pada impian yang lebih besar. Dan suatu saat nanti, ia yakin, ia akan mencapai langit yang selalu ia lihat dengan penuh harap.

Esoknya, Bayu sudah sedikit lebih baik. Dewi lega melihat adiknya mulai bisa tersenyum kembali meskipun tubuhnya masih lemah. Hari itu, ia memutuskan untuk pergi sendirian mengumpulkan botol.

“Ibu, saya pergi dulu. Bayu istirahat di rumah saja, ya. Saya akan cepat kembali,” ujar Dewi sambil memasang karung di punggungnya.

Ibu mengangguk, meski terlihat cemas. “Hati-hati, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri.”

Dewi berjalan cepat menyusuri jalan-jalan kecil yang biasa ia lewati. Ia merasa bertanggung jawab untuk menggantikan adiknya yang belum bisa membantu. Hari itu, ia bekerja lebih keras dari biasanya, bahkan sampai menjelajah ke tempat-tempat baru yang belum pernah ia datangi.

Di salah satu gang sempit, Dewi melihat tumpukan botol dan kaleng yang cukup banyak di depan sebuah toko kecil. Pemilik toko, seorang pria tua dengan wajah ramah, keluar dan memerhatikan Dewi.

“Apa yang kamu cari, Nak?” tanyanya.

“Botol bekas, Pak. Kalau Bapak tidak keberatan, saya boleh mengambilnya?” jawab Dewi sambil menundukkan kepala.

Pria itu tersenyum. “Ambil saja. Kalau mau, setiap minggu kamu bisa datang ke sini. Saya selalu punya banyak botol kosong yang tidak terpakai.”

Mata Dewi berbinar. “Terima kasih banyak, Pak!”

Hari itu, Dewi pulang dengan karung yang lebih berat dari biasanya. Tubuhnya lelah, tapi hatinya penuh rasa syukur. Ia merasa semakin dekat dengan mimpinya untuk membantu keluarga dan mengejar pendidikan.

Cahaya di Tengah Gelap

Namun, ujian kembali datang. Beberapa minggu setelah itu, ibu jatuh sakit. Tubuhnya yang lemah akibat bekerja terlalu keras tidak bisa lagi menahan beban. Ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur, sementara Dewi harus mengambil alih semua pekerjaan rumah.

“Dewi, bagaimana ini? Kita tidak punya uang untuk membawa Ibu ke dokter,” ujar Bayu dengan suara kecil.

Dewi menggigit bibirnya, menahan tangis. Ia tahu tidak ada gunanya panik. Ia harus tetap kuat.

“Kita harus kerja lebih keras, Bayu. Aku akan cari botol lebih banyak lagi. Kamu jaga Ibu di rumah, ya.”

Bayu mengangguk, meski terlihat ragu. Ia ingin membantu, tapi tubuhnya yang kecil tidak sekuat Dewi.

Hari-hari berikutnya, Dewi bekerja dari pagi hingga malam. Ia tidak hanya mengumpulkan botol, tetapi juga menawarkan bantuan pada tetangga seperti mencuci piring atau membersihkan halaman dengan bayaran kecil. Semua itu ia lakukan demi mengumpulkan uang untuk mengobati ibunya.

Salah satu tetangga mereka, Bu Sari, yang sering membeli pisang goreng dari Ibu, akhirnya mengetahui kondisi keluarga mereka.

“Dewi, kamu anak yang sangat kuat. Tapi kamu tidak perlu melakukannya sendirian. Biar saya bantu membawa ibumu ke puskesmas,” kata Bu Sari suatu sore.

Dewi terkejut, matanya mulai basah. “Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Ibu.”

“Tidak perlu membalas apa-apa, Nak. Cukup belajar yang rajin dan jadilah orang yang sukses. Itu sudah cukup untuk saya,” ujar Bu Sari sambil tersenyum hangat.

Dengan bantuan Bu Sari, ibu Dewi mendapat perawatan yang ia butuhkan. Meski sederhana, pengobatan itu sudah cukup untuk membuat kondisinya membaik.

Mimpi yang Terus Hidup

Beberapa bulan berlalu. Kehidupan Dewi, Bayu, dan ibu mereka perlahan membaik. Dewi tetap rajin bekerja sambil belajar. Ia tidak pernah absen dari sekolah, meski sering datang dengan seragam yang lusuh dan sepatu yang sudah hampir rusak.

Di sekolah, Dewi semakin dikenal sebagai murid yang cerdas dan rajin. Suatu hari, guru kelasnya, Bu Nisa, memanggilnya ke ruang guru.

“Dewi, saya ingin memberi tahu kamu sesuatu yang penting. Sekolah ini akan memberikan beasiswa untuk siswa yang berprestasi dan memiliki semangat tinggi. Saya sudah mencalonkan kamu, dan kamu diterima,” ujar Bu Nisa dengan senyum lebar.

Dewi tertegun. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. “Terima kasih, Bu. Ini seperti mimpi bagi saya.”

“Ini bukan mimpi, Dewi. Ini adalah hasil kerja kerasmu. Teruslah belajar dan jangan pernah menyerah,” jawab Bu Nisa.

Beasiswa itu membuka peluang baru bagi Dewi. Ia tidak hanya mendapatkan uang untuk biaya sekolah, tetapi juga bantuan berupa buku-buku dan seragam baru. Kini, ia bisa belajar dengan lebih tenang tanpa harus terlalu khawatir tentang kebutuhan sehari-hari.

Langkah Kecil Menuju Masa Depan

Suatu malam, setelah selesai belajar, Dewi kembali memandangi bintang-bintang di langit. Ia menggenggam tangan Bayu yang sudah tertidur di sampingnya. Dalam hati, ia berdoa, seperti yang selalu ia lakukan setiap malam.

“Ya Allah, terima kasih atas segala rezeki dan kekuatan yang Engkau berikan. Saya akan terus berusaha dan menjaga keluarga saya. Tolong bantu kami agar bisa terus melangkah ke depan.”

Langkah kecil Dewi setiap hari telah membawanya lebih dekat ke mimpinya. Ia tahu jalan di depannya masih panjang, tetapi ia percaya bahwa dengan kerja keras, doa, dan dukungan dari orang-orang baik, tidak ada yang tidak mungkin.

Dewi berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi dokter seperti cita-citanya. Ia akan membantu orang-orang seperti ibunya, seperti Bu Sari yang telah membantunya, dan seperti dirinya sendiri—anak kecil yang hanya punya langkah kecil, tetapi mimpi yang sangat besar.

Hari demi hari terus berjalan. Meski mendapat beasiswa, Dewi tetap membantu ibunya mencari nafkah. Ia tahu bahwa beasiswa hanya mencakup biaya sekolah, sementara kehidupan sehari-hari mereka masih bergantung pada usaha kecil mereka.

Setiap pagi, sebelum pergi ke sekolah, Dewi menyempatkan diri untuk mengumpulkan botol-botol bekas di sekitar lingkungan mereka. Setelah itu, ia akan berangkat dengan langkah cepat, takut terlambat. Bayu, yang sudah mulai sehat, sesekali ikut membantu ketika tidak terlalu lelah.

Satu hal yang menjadi kebahagiaan kecil bagi Dewi adalah melihat adiknya mulai kembali ceria. “Kak, kalau aku besar nanti, aku mau jadi seperti kamu,” kata Bayu suatu pagi ketika mereka berjalan bersama menuju tempat pengepul.

Dewi tertawa kecil. “Kamu tidak perlu jadi seperti aku, Bayu. Kamu harus jadi lebih hebat. Sekolah yang rajin, ya?”

Bayu mengangguk. Meskipun ia belum sepenuhnya mengerti, ia tahu Dewi adalah panutannya.

Cita-Cita yang Semakin Dekat

Di sekolah, prestasi Dewi terus meningkat. Guru-gurunya semakin sering memuji kegigihannya, bahkan beberapa teman sekelasnya yang dulu meremehkan kini mulai menghormatinya. Namun, tidak semua orang bisa menerima perjuangan Dewi dengan baik.

“Ah, paling nanti dia cuma jadi pemulung lagi,” bisik seorang teman, cukup keras untuk didengar Dewi.

Dewi diam, meski hatinya sakit. Ia tahu, tidak semua orang bisa memahami perjuangannya. Namun, ia tidak mau menyerah hanya karena komentar buruk dari orang lain.

Setiap kali ia merasa lelah atau sedih, Dewi selalu mengingat pesan ibunya. “Jangan biarkan orang lain menghentikan mimpimu, Dewi. Tuhan selalu bersama mereka yang bekerja keras.”

Pesan itu menjadi penguat baginya untuk terus maju, meskipun jalan yang ia tempuh penuh dengan tantangan.

Pertemuan Tak Terduga

Suatu hari, ketika Dewi sedang mengumpulkan botol di sebuah taman, ia bertemu dengan seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi. Pria itu memerhatikan Dewi dengan penuh rasa ingin tahu.

“Sedang apa kamu di sini, Nak?” tanya pria itu.

“Saya mengumpulkan botol bekas, Pak,” jawab Dewi tanpa ragu.

Pria itu tersenyum. “Kamu sekolah?”

“Iya, Pak. Saya sekolah setiap pagi. Setelah pulang, saya mengumpulkan botol seperti ini untuk membantu keluarga.”

Pria itu terlihat kagum. “Kamu anak yang luar biasa. Apa cita-citamu?”

“Saya ingin menjadi dokter, Pak,” jawab Dewi tegas.

Pria itu mengangguk. “Semoga kamu bisa mencapainya. Jangan pernah menyerah, ya.”

Dewi hanya tersenyum. Ia tidak tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah hidupnya. Pria itu ternyata adalah seorang pengusaha yang sering membantu anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu.

Beberapa minggu kemudian, kepala sekolah memanggil Dewi ke ruang guru. Di sana, ia bertemu lagi dengan pria yang pernah ia temui di taman.

“Dewi, ini Pak Hadi. Beliau ingin membantu biaya pendidikanmu sampai ke perguruan tinggi,” ujar kepala sekolah.

Dewi tertegun. Ia tidak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir deras. “Terima kasih, Pak. Saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan ini.”

Pak Hadi tersenyum hangat. “Tidak perlu membalas apa-apa, Nak. Cukup terus belajar dan wujudkan cita-citamu. Itu sudah lebih dari cukup.”

Awal dari Perubahan Besar

Sejak saat itu, hidup Dewi mulai berubah. Dengan bantuan Pak Hadi, ia tidak hanya mendapatkan dukungan finansial untuk sekolah, tetapi juga pelatihan tambahan seperti kursus bahasa Inggris dan komputer.

Namun, Dewi tidak pernah melupakan tanggung jawabnya pada keluarga. Ia tetap membantu ibunya berjualan pisang goreng di pasar setiap akhir pekan. Meski lelah, ia merasa bahagia karena bisa menjalani semuanya dengan baik.

Bayu, yang kini sudah mulai sekolah, juga menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Ia menjadi murid yang ceria dan penuh semangat, berkat contoh yang diberikan oleh kakaknya.

Malam-malam mereka masih sederhana, tetapi penuh kehangatan. Ibu sering bercerita tentang masa kecilnya, tentang bagaimana ia juga pernah bermimpi besar, tetapi harus menyerah karena keadaan.

“Ibu bangga pada kalian berdua. Kalian adalah kekuatan ibu,” ujar ibu suatu malam sambil memeluk Dewi dan Bayu.

Langit yang Semakin Dekat

Beberapa tahun berlalu. Dewi kini telah lulus dari SMA dengan nilai terbaik. Berkat kerja kerasnya dan dukungan dari Pak Hadi, ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di fakultas kedokteran di universitas ternama.

Hari itu, ketika ia menerima surat penerimaan dari universitas, Dewi menangis haru. Ia memandangi surat itu dengan penuh rasa syukur.

“Ibu, Bayu, ini semua berkat kalian. Kalau bukan karena doa dan dukungan kalian, Dewi tidak akan sampai di sini,” ujarnya dengan suara bergetar.

Ibu hanya tersenyum sambil menahan air mata. “Ini semua karena kerja kerasmu, Nak. Jangan pernah lupa dari mana kamu berasal.”

Malam itu, Dewi kembali memandangi bintang-bintang di langit. Ia tersenyum, mengingat perjalanan panjang yang telah ia lalui. Dari seorang anak kecil yang memungut botol bekas, kini ia berada di ambang mewujudkan mimpinya.

“Terima kasih, ya Allah. Langkah kecil ini akhirnya membawaku semakin dekat pada langit.”

 (Akhir Cerita)

Hari pertama Dewi di kampus kedokteran adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata. Dengan seragam putih yang masih baru dan tas penuh buku, ia melangkah masuk ke gedung besar yang selama ini hanya ia bayangkan dalam angan.

Ia tidak merasa minder meskipun tahu sebagian besar teman-temannya berasal dari keluarga yang jauh lebih berkecukupan. Dewi percaya bahwa perjuangannya adalah kekuatan yang tidak dimiliki semua orang.

Di ruang kuliah, ia mendengarkan setiap penjelasan dosen dengan penuh semangat. Setiap hal baru yang ia pelajari membuatnya semakin yakin bahwa ia berada di tempat yang tepat. Ia membayangkan suatu hari nanti, tangannya akan menyelamatkan nyawa orang-orang seperti ibunya.

Namun, perjalanan ini tidak sepenuhnya mudah. Tugas-tugas menumpuk, ujian yang sulit, dan tekanan dari lingkungan akademik sering kali membuat Dewi merasa lelah. Tapi, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia akan mengingat wajah ibunya dan Bayu. Mereka adalah alasan ia terus melangkah.

Pengorbanan yang Tidak Sia-Sia

Selama masa kuliah, Dewi masih menyempatkan diri untuk pulang ke rumah setiap akhir pekan. Ia membantu ibunya yang kini membuka warung kecil di depan rumah, berkat sedikit modal yang diberikan oleh Pak Hadi.

Bayu, yang kini sudah duduk di bangku SMP, selalu menyambut Dewi dengan cerita-cerita lucu tentang sekolahnya. Ia sering bercerita tentang cita-citanya menjadi seorang guru, terinspirasi oleh kegigihan kakaknya.

“Kak Dewi, kalau aku jadi guru, nanti aku mau ngajarin anak-anak supaya nggak menyerah seperti Kakak,” kata Bayu suatu sore.

Dewi hanya tersenyum sambil mengusap kepala adiknya. “Kamu pasti bisa, Bayu. Kakak yakin.”

Keberhasilan Dewi di kampus tidak hanya menjadi kebanggaan keluarganya, tetapi juga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Banyak orang yang dulu memandang rendah Dewi kini mengaguminya. Bahkan, beberapa tetangga sering meminta Dewi untuk memotivasi anak-anak mereka.

“Dewi, kamu jadi inspirasi bagi anak-anak di sini. Lihat, mereka sekarang semangat belajar karena melihat perjuanganmu,” kata Bu Sari suatu hari.

Dewi merasa terharu. Ia tidak pernah menyangka bahwa langkah kecilnya mengumpulkan botol bekas dulu kini bisa memberi pengaruh sebesar ini.

Mimpi yang Terwujud

Empat tahun berlalu dengan cepat. Dewi akhirnya menyelesaikan pendidikan S1 di bidang kedokteran dengan predikat cum laude. Hari wisudanya adalah salah satu momen paling membanggakan dalam hidupnya.

Di aula besar, Dewi berdiri dengan toga di kepalanya, memegang ijazah yang telah ia perjuangkan selama bertahun-tahun. Di antara kerumunan tamu, ia melihat ibunya dan Bayu duduk di barisan depan, tersenyum penuh kebanggaan.

Setelah acara wisuda selesai, Dewi langsung menghampiri mereka. Ia memeluk ibunya erat, sambil menangis.

“Terima kasih, Ibu. Ini semua karena doa dan dukungan Ibu,” katanya dengan suara bergetar.

Ibu hanya tersenyum sambil mengusap air matanya. “Tidak, Nak. Ini semua karena kerja kerasmu. Ibu hanya berdoa agar Allah selalu memberimu kekuatan.”

Hari itu, Dewi merasa bahwa langit yang selama ini ia tuju akhirnya mulai terbuka. Tapi ia tahu, perjalanan belum selesai. Untuk menjadi dokter, ia harus menjalani program profesi yang menantang. Namun, ia tidak merasa takut. Perjalanan panjang sebelumnya telah mengajarkannya untuk tidak pernah menyerah.

Kembali untuk Mengabdi

Beberapa tahun kemudian, Dewi akhirnya menjadi seorang dokter yang bekerja di rumah sakit daerah dekat kampung halamannya. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya bermula, karena ia ingin membantu orang-orang yang pernah berada di posisi seperti dirinya.

Setiap kali ia merawat pasien, ia selalu teringat perjuangannya sendiri. Ia memahami rasa takut mereka yang tidak mampu membayar pengobatan, atau rasa putus asa mereka yang merasa tak berdaya.

“Saya dulu seperti Anda,” katanya suatu hari kepada seorang ibu yang tidak mampu membayar biaya pengobatan anaknya. “Tapi ada banyak orang baik yang membantu saya. Jadi sekarang, giliran saya untuk membantu Anda.”

Kisah Dewi menjadi inspirasi bagi banyak orang di daerahnya. Ia tidak hanya menjadi dokter, tetapi juga sosok yang memberi harapan. Bersama Pak Hadi dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, Dewi mendirikan sebuah yayasan kecil yang memberikan bantuan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu.

Langit yang Baru

Suatu malam, setelah selesai bekerja, Dewi duduk di teras rumah bersama Bayu. Adiknya kini sudah menjadi seorang guru yang mengajar di sekolah dasar setempat.

“Kak, ingat waktu kita dulu kumpulin botol bekas?” tanya Bayu sambil tertawa kecil.

Dewi ikut tertawa. “Tentu saja. Kalau bukan karena botol-botol itu, mungkin kita tidak akan sampai di sini.”

Mereka berdua memandang langit yang penuh bintang. Dewi merasa bahwa hidupnya kini telah mencapai sebuah langit baru, tapi ia tahu, masih ada banyak mimpi yang ingin ia wujudkan.

“Bayu, kita harus terus bermimpi dan berjuang. Karena langit itu luas, dan selalu ada tempat bagi mereka yang berusaha,” kata Dewi.

Bayu mengangguk. “Iya, Kak. Langit kita belum selesai.”

Dan malam itu, di bawah bintang-bintang yang bersinar terang, Dewi kembali berdoa. Ia bersyukur atas segala perjalanan yang telah ia lalui, dan ia berjanji untuk terus melangkah, membawa cahaya bagi mereka yang membutuhkan.

TAMAT

Cerita ini kini telah selesai dengan akhir yang menggambarkan perjuangan Dewi yang sukses, namun tetap rendah hati dan penuh pengabdian. Jika Anda memiliki masukan atau ingin bagian lain dikembangkan, saya siap membantu!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun