Pria itu tersenyum. “Ambil saja. Kalau mau, setiap minggu kamu bisa datang ke sini. Saya selalu punya banyak botol kosong yang tidak terpakai.”
Mata Dewi berbinar. “Terima kasih banyak, Pak!”
Hari itu, Dewi pulang dengan karung yang lebih berat dari biasanya. Tubuhnya lelah, tapi hatinya penuh rasa syukur. Ia merasa semakin dekat dengan mimpinya untuk membantu keluarga dan mengejar pendidikan.
Cahaya di Tengah Gelap
Namun, ujian kembali datang. Beberapa minggu setelah itu, ibu jatuh sakit. Tubuhnya yang lemah akibat bekerja terlalu keras tidak bisa lagi menahan beban. Ibu hanya bisa terbaring di tempat tidur, sementara Dewi harus mengambil alih semua pekerjaan rumah.
“Dewi, bagaimana ini? Kita tidak punya uang untuk membawa Ibu ke dokter,” ujar Bayu dengan suara kecil.
Dewi menggigit bibirnya, menahan tangis. Ia tahu tidak ada gunanya panik. Ia harus tetap kuat.
“Kita harus kerja lebih keras, Bayu. Aku akan cari botol lebih banyak lagi. Kamu jaga Ibu di rumah, ya.”
Bayu mengangguk, meski terlihat ragu. Ia ingin membantu, tapi tubuhnya yang kecil tidak sekuat Dewi.
Hari-hari berikutnya, Dewi bekerja dari pagi hingga malam. Ia tidak hanya mengumpulkan botol, tetapi juga menawarkan bantuan pada tetangga seperti mencuci piring atau membersihkan halaman dengan bayaran kecil. Semua itu ia lakukan demi mengumpulkan uang untuk mengobati ibunya.
Salah satu tetangga mereka, Bu Sari, yang sering membeli pisang goreng dari Ibu, akhirnya mengetahui kondisi keluarga mereka.