Hari-hari terus berlalu. Dewi dan Bayu tetap mengumpulkan botol setiap pagi sebelum pergi ke sekolah. Di sekolah, Dewi selalu menjadi murid yang paling rajin. Ia sering dipuji oleh guru-gurunya karena kegigihannya meskipun berasal dari keluarga sederhana.
“Bu Guru, suatu saat nanti saya ingin menjadi dokter,” ujar Dewi suatu hari ketika ditanya tentang cita-citanya.
Guru tersenyum dan menepuk bahunya. “Kamu pasti bisa, Dewi. Terus belajar dan jangan menyerah.”
Ucapan itu terpatri dalam hati Dewi. Ia tahu perjalanannya tidak akan mudah, tapi ia percaya bahwa langkah kecilnya hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar di masa depan.
Namun, suatu hari, Bayu jatuh sakit. Tubuhnya demam tinggi, dan ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dewi panik. Ia tahu mereka tidak punya uang untuk pergi ke dokter, apalagi membeli obat.
“Ibu, bagaimana ini? Bayu sakit,” kata Dewi sambil menahan air mata.
Ibu hanya bisa menghela napas. “Ibu akan coba meminjam uang dari tetangga. Kamu tunggu di sini dan jaga Bayu.”
Dewi menggenggam tangan Bayu yang panas. Ia merasa tidak berdaya. Tapi, dalam hatinya, ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ketika Ibu pergi, Dewi mengambil sisa uang dari kantong kecilnya dan bergegas ke warung terdekat.
“Bu, saya butuh obat demam untuk adik saya. Tapi uang saya tidak cukup. Bisakah saya membayarnya nanti?” tanyanya dengan suara penuh harap.
Pemilik warung, seorang wanita tua yang baik hati, tersenyum. “Ambil saja, Nak. Yang penting adikmu sembuh. Bayar nanti kalau sudah ada uang.”
Dewi hampir menangis karena terharu. Ia berlari pulang dengan obat di tangannya, berharap itu cukup untuk membantu Bayu.