a. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
b. Suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
Meskipun pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan mengandung asas perkawinan monogami, namun pada implikasinya tidak terbatas pada asas monogami mutlak, akan tetapi asas monogami terbuka artinya, Undang-undang yang mengatur pernikahan di Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk terselenggaranya praktik perkawinan poligami.
Fenomena poligami dalam perundangan-undangan di beberapa negara Islam mulai tampak bahwa praktik poligami mengalami proses perubahan dan pembatasan ketat. Negara harus berani memilih sistem yang berdampak maslahat bagi masyarakat secara keseluruhan.
4. Dampak Praktik Poligami di Indonesia
Realita yang terjadi di masyarakat, poligami kebanyakan dimulai dari hubungan perselingkuhan, sehingga praktik poligami di Indonesia masih banyak yang tidak dicatatkan dalam peradilan agama ataupun Catatan Sipil, hal ini disebabkan karena persyaratan yang ada dalam undang-undang harus menyertakan izin lisan dan tertulis dari istri. Sementara kebanyakan poligami dilakukan diluar sepengetahuan istri, sehingga pernikahan kedua dan seterusnya hanya dilakukan dengan bentuk Nikah Sirri, atau biasa disebut nikah Bawah Tangan.
Sementara, Tindakan perkawinan kedua dan seterusnya yang tidak memenuhi persyaratan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah kejahatan perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal tersebut mengatur bahwa seseorang dapat dihukum pidana paling lama lima tahun apabila mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan- perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Seorang dapat dihukum pidana paling lama tujuh tahun bila ia menyembunyikan pada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
Penghalang adalah ketika tidak dipenuhinya alasan, syarat dan prosedur sah yang ditetapkan dalam UU perkawinan, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Perkawinan semacam ini lagi-lagi yang menjadi korban adalalah wanita dan anak anak. Karena implikasi dari tidak tercatanya pernikahan pada catatan sipil adalah tidak adanya dasar pengakuan keberadaan anak secara hukum.Â
Maka akibat dari hal tersebut adalah sulit untuk menertbitkan akte kelahiran anak, mengurus status kewarisan, hak milik properti, dan hak-hak lainnya. Namun terkadang hal-hal semacam ini tak terpikirkan oleh masyarakat awam, sehingga mereka dengan rela menjalankan perkawinan bawah tangan, dengan alasan sahnya secara agama, Tanpa memikirkan konsekwensinya secara hukum Negara.
Secara umum, isu poligami di Indonesia dalam sudut pandang masyarakat umum identik dengan stigma negatif, karena ketika mendengar kata poligami hal yang muncul di benak masyarakat kepada laki-laki yang berpoligami, dianggap sebagai orang yang memiliki nafsu yang buas dan istri kedua dipandang sebagai wanita penggoda, dan pada saat yang sama istri pertama mendapat banyak simpati karena dianggap terzalimi.
Hal ini disebabkan dalam beberapa kasus, poligami memunculkan berbagai permasalahan, baik yang muncul dan terjadi dalam lingkup keluarga itu sendiri maupun yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Permasalahan yang muncul tidak hanya sederhana seperti cemburu, dengki, iri, dan sakit hatinya para istri. Akan tetapi yang jauh lebih serius dari hal itu, seperti diskriminasi, kekerasan, dan pengabaian-pengabaian hak yang tidak hanya pada para istri, namun juga terjadi pada anak-anak. Adapun berbagai dampak yang dapat timbul sebagai akibat dari praktik poligami yang tidak sehat adalah: