Review Skripsi
RELEVENSI PEMIKIRAN KIAI HUSEIN MUHAMMAD TENTANG PRAKTIK POLIGAMI DI INDONESIA
Oleh
FIRDA IMAH SURYANI
NIM.17.21.21.063
A. PENDAHULUAN
      Keberagaman pandangan kaum Muslimin dalam isu perkawinan (munakahah), fenomena ini adalah bagian dari kajian Islam yang selalu menjadi topik yang menarik dalam setiap kajian Islam. Karena didalamnya mengkaji beragam masalah kehidupan yang berkaitan satu dengan lainnya, baik itu hubungan dengan Allah (habhminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (habluminannas).Â
Dalam ajaran agama Islam, pernikahan sebagai sesuatu yang sangat sakral. Sakral karena perkawinan dinyatakan sebagai aspek sosial yang luhur dan suci, dimana komitmen pernikahan dilakukan atas nama Tuhan.
Pernikahan di Indonesia diatur dalam undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dalam bab 1 dasar perkawinan, pasal 1 disebutkan bahwa "perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa".
Kalimat lahir batin sebagaimana yang tercantum dalam UU perkawinan, memiliki arti bahwa perkawinan mempunyai nilai ikatan secara tampak dan juga memiliki ikatan batin yang dapat dirasakan oleh masing-masing individu. Di Indonesia mengakui adanya dua jenis pernikahan, yaitu monogami dan poligami. yang pada dasarnya sama-sama bertujuan untuk terbentuknya perkawinan tentram (sakinah), cinta(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).
Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan pemikiran, poligami dalam Islam kemudian menjadi kontroversial karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan merendahkan martabat perempuan. Di Indonesia, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Poligami hanya dibolehkan dengan beberapa syarat.
Dalam sejarah, keputusan poligami sempat jadi penyebab perceraian terbesar pasca-kemerdekaan hingga sekarang. Mengamati persoalan poligami dalam perundang-undangan di sejumlah negara Islam tersebut tampak jelas bahwa praktik poligami mengalami proses perubahan dan pembatasan yang ketat. Banyak negara Islam seperti Indonesia, Maroko, Aljazair moderen yang mengatur poligami secara ketat dan cenderung mengarahkannya pada penghapusan. Hingga kini beristri lebih dari satu menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia hingga saat ini masih terus dikembangkan solusi terkait dari praktik poligami di Indonesia.
Pandangan maupun sikap pro dan kontra terhadap poligami cukup variatif di Indonesia. Pandangan sepakat dengan poligami, mereka memahami bahwa praktik poligami adalah suatu yang diperbolehkan menurut surat An-nisa ayat 3. Sedangkan pada golongan yang kontra atau tidak sepakat dengan poligami mengutarakan dengan berbagai pendapatnya, karena hal itu dianggap sebagai penindasan bagi perempuan.
Maka dari itu peran tokoh, ulama, dan cendekiawan yang memiliki persepektif ramah perempuan dengan narasi-narasi kesetaraan sangat dibutuhkan ditengah masyarakat. Peran dari Pemikiran Kiai Husein Muhammad menarik untuk diteliti dengan semangat kesetaraan, dan mengedepankan fakta-fakta di sekitar secara rasional dalam konteks sosio kultur masyarakat sekarang. Sosok yang dikenal sebagai Kiai Feminis di Indonesia. Jarang sekali menjumpai sosok Kiai yang secara terang-terangan aktif menyuarakan fakta ketimpangan sosial dan perempuan yang terjadi pada praktik poligami di Indonesia.
Sehingga hal itu berguna untuk merelevansikan setiap pemikiran agar diterima dengan narasi yang mudah dipahami sekaligus menjadi landasan masyarakat dalam mempertimbangkan dan lebih mengedepankan perkawinan monogami. Sekaligus mencari solusi dari berbagai pandangan terkait dari kalangan pro dan kontra, melalui undang-undang perkawinan di Indonesia.
B. ALASAN MENGAPA MENGAMBIL JUDUL SKRIPSI INI
      Berikut beberapa alasan saya mereview skripsi dengan judul "Relevansi Pemikiran Kyai Husein Muhammad tentang Praktik Poligami di Indonesia":
1. Untuk menganalisis pemikiran Kyai Husein Muhammad terkait praktik poligami dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, karena pemikiran beliau bisa dianggap penting dan relevan sebagai tokoh agama yang berpengaruh.
2. Untuk mengevaluasi apakah pandangan Kyai Husein Muhammad sejalan atau berbeda dengan praktik dan regulasi poligami yang berlaku di Indonesia saat ini. Hal ini penting untuk dikaji mengingat poligami masih menjadi isu kontroversial.
3. Untuk mengkaji landasan argumen dan dalil yang digunakan Kyai Husein dalam menyikapi praktik poligami, apakah berdasarkan teks keagamaan atau pertimbangan lain.
4. Untuk menilai relevansi dan aplikasi pemikiran Kyai Husein terkait poligami bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang plural dan dinamis saat ini.
C. PEMBAHASAN
a. Â Pandangan Umum Tentang Poligami
1. Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari dua arti kata poli yang artinya banyak dan kata gomos artinya perkawinan. Dari dua kata ini memiliki arti pernikahan yang banyak Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata poligami memiliki arti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan. Â Â Â
Poligami merupakan salah satu dari bentuk perkawinan yang dikenal dan dipraktekkan manusia semenjak adanya zaman suku-suku bangsa kuno dan masih tetap dipertahankan dalam tradisi hingga kini. Bentuk perkawinan merupakan jamak tunggal yang jika dilihat dari definisinya, maka terlihat adanya arti yang umum dimana kemungkinan bentuk tunggal adalah dari pihak suami maupun pihak istri, oleh karena itu poligami pada dasarnya diklasifikasi menjadi tiga jenis:
a. Poligami; perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita dalam waktu tertentu.
b. Poliandri; Yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu laki-laki dalam waktu tertentu
c. Campuran; perkawinan antara dua atau lebih laki-laki dengan dua atau lebih wanita dalam suatu pernikahan kelompok
      Seiring dengan berjalannya kehidupan dan perkembangan peradaban umat manusia, di antara ketiga jenis perkawinan poligami di atas, poligami yang masih tetap eksis dan masih dipraktekkan, maka dari itu pernikahan poligami lebih dikenal sebagai pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita dalam satu waktu tertentu. Dengan kata lain, istilah poligami dengan sendirinya tereduksi dan hanya dipakai untuk menyebutkan tipe pernikahan poligami.
2. Sejarah Poligami
Poligami dalam pengertian memiliki lebih dari satu istri sudah ada sejak lama bahkan jauh sebelum islam datang. Bahkan kita bisa melihat banyak di dunia seperti orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, Arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain yang sudah mengenal poligami. Perkembangan sejarah poligami mengikuti pola pandangan masyarakat atas keberadaan perempuan. Bahwa berabad-abad sebelum ajaran dibawa Nabi Muhammad SAW, poligami telah membudaya. Poligami di zaman dulu tak terbatas, sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku, agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani ketika itu memiliki puluhan istri bahkan tidak sedikit yang memiliki istri hingga ratusan.
Pernikahan poligami secara historis pada umumnya terjadi disebabkan beberapa hal yaitu:
a. Karena faktor kebudayaan, perang misalnya, yang mengurangi jumlah laki-laki sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuann sehingga memungkinkan adanya poligami.
b. Lingkungan sosial, seperti penyakit yang memperkecil jumlah laki-laki.
c. Untuk mendapatkan status dalam masyarakat, karena makin banyak istri maka statusnya makin tinggi dalam masyarakat.
d. Untuk tujuan ekonomi, karena makin banyak istri maka makin banyak yang membantunya dalam mencari rezeki.
e. Ingin mendapatkan keturunan karena istri yang pertama tidak memberikannya keturunan.
f. Faktor terakhir yang paling dominan adalah Istimta, yakni sebagai bentuk ksenangan.
Sejarah poligami adalah sejarah manusia, agama, dan masyarakat. Islam bukan pemain baru dalam hal ini. Justru,karena reformasi yang dilakukan Islam, poligami menjadi sakral, suci, dan jauh dari eksploitasi manusia.
Poligami dalam pengertian memiliki lebih dari seorang istri sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Islam datang. Praktik ini banyak terjadi di dunia seperti agama Hindu, bangsa Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia. Dalam beberapa teks-teks al- Qur'an menyebut sistem sosial dan budaya pra-Islam tersebut sebagai jahiliyyah (masa kebodohan).Â
Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber praktik poligami sebelum Islam dilakukan tanpa batas. Laki-laki dianggap wajar untuk mengambil istri sebanyak yang dikehendakinya, berapapun, sebagaimana laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan sesuka hatinya.Â
Kemampuan lebih, kehormatan, dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak ia mempunyai istri atau selir. Dari sini kita bisa tahu dan mengerti bahwa poligami bukan semata-mata produk Islam melainkan sudah ada sejak zaman sebelum Islam.
Pada saat Islam datang di Indonesia, pada tahun 700 Masehi atau pada abad ke-7, praktik poligami sudah mengakar. Kemudian ajaran dari kitab suci al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw hadir merespon praktik-praktik tersebut dengan membatasi jumlahnya dan memberikan catatan-catatan penting dan mengarahkannya pada penegakkan keadilan.
Islam datang bukan memulai poligami melainkan mengatur bagaimana seharusnya poligami dilakukan. Poligami yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu sebelum Islam terlalu bebas, kemudian Islam dengan narasi yang menjujung keadilan datang dan mengatur poligami dengan membatasi jumlah istri yakni empat wanita.
3. Poligami dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia
Undang-undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, yaitu seseorang laki-laki hanya melakukan perkawinan kepada seorang perempuan. Tetapi poligami menjadi pengecualian dari asas monogami tersebut. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dapat memenuhi beberapa syarat yang diatur dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya selaras dengan ketentuan yang termuat dalam Hukum Islam. Namun dalam hal atau alasan tertentu, seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang.Â
Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam Pasal 3 yang menyatakan, Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Kebolehan poligami di dalam aturan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.
Poligami dalam perundang-undangan Indonesia diatur dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan selanjutnya diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. penjelasan tentang seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang disebutkan dalam pasal 41 sampai pasal 44. Secara keseluruhan, dalam pasal tersebut menjelaskan lebih lanjut pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun syarat-syarat poligami menurut hukum positif adalah sebagai berikut:
a. Harus izin dari pengadilan.
b. Bila dikehendaki dari orang yang bersangkutan.
c.Hukum dan Agama yang bersangkutan mengizinkannya dan tidak ada halangan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur juga tentang poligami yang antara lain disebutkan, bahwa berpoligami hanya dibatasi dengan empat orang isteri. Hal ini seorang suami yang beristri lebih dari seorang, maka harus mendapatkan izin dari pengadilan dan harus memenuhi beberapa syarat dan ketentuan yang disertai beberapa alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Sebenarnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk dibenarkan berpoligami menurut hukum positif di Indonesia dapat disignifikansikan menjadi:
a. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
b. Suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
Meskipun pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan mengandung asas perkawinan monogami, namun pada implikasinya tidak terbatas pada asas monogami mutlak, akan tetapi asas monogami terbuka artinya, Undang-undang yang mengatur pernikahan di Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk terselenggaranya praktik perkawinan poligami.
Fenomena poligami dalam perundangan-undangan di beberapa negara Islam mulai tampak bahwa praktik poligami mengalami proses perubahan dan pembatasan ketat. Negara harus berani memilih sistem yang berdampak maslahat bagi masyarakat secara keseluruhan.
4. Dampak Praktik Poligami di Indonesia
Realita yang terjadi di masyarakat, poligami kebanyakan dimulai dari hubungan perselingkuhan, sehingga praktik poligami di Indonesia masih banyak yang tidak dicatatkan dalam peradilan agama ataupun Catatan Sipil, hal ini disebabkan karena persyaratan yang ada dalam undang-undang harus menyertakan izin lisan dan tertulis dari istri. Sementara kebanyakan poligami dilakukan diluar sepengetahuan istri, sehingga pernikahan kedua dan seterusnya hanya dilakukan dengan bentuk Nikah Sirri, atau biasa disebut nikah Bawah Tangan.
Sementara, Tindakan perkawinan kedua dan seterusnya yang tidak memenuhi persyaratan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah kejahatan perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal tersebut mengatur bahwa seseorang dapat dihukum pidana paling lama lima tahun apabila mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan- perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Seorang dapat dihukum pidana paling lama tujuh tahun bila ia menyembunyikan pada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
Penghalang adalah ketika tidak dipenuhinya alasan, syarat dan prosedur sah yang ditetapkan dalam UU perkawinan, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Perkawinan semacam ini lagi-lagi yang menjadi korban adalalah wanita dan anak anak. Karena implikasi dari tidak tercatanya pernikahan pada catatan sipil adalah tidak adanya dasar pengakuan keberadaan anak secara hukum.Â
Maka akibat dari hal tersebut adalah sulit untuk menertbitkan akte kelahiran anak, mengurus status kewarisan, hak milik properti, dan hak-hak lainnya. Namun terkadang hal-hal semacam ini tak terpikirkan oleh masyarakat awam, sehingga mereka dengan rela menjalankan perkawinan bawah tangan, dengan alasan sahnya secara agama, Tanpa memikirkan konsekwensinya secara hukum Negara.
Secara umum, isu poligami di Indonesia dalam sudut pandang masyarakat umum identik dengan stigma negatif, karena ketika mendengar kata poligami hal yang muncul di benak masyarakat kepada laki-laki yang berpoligami, dianggap sebagai orang yang memiliki nafsu yang buas dan istri kedua dipandang sebagai wanita penggoda, dan pada saat yang sama istri pertama mendapat banyak simpati karena dianggap terzalimi.
Hal ini disebabkan dalam beberapa kasus, poligami memunculkan berbagai permasalahan, baik yang muncul dan terjadi dalam lingkup keluarga itu sendiri maupun yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Permasalahan yang muncul tidak hanya sederhana seperti cemburu, dengki, iri, dan sakit hatinya para istri. Akan tetapi yang jauh lebih serius dari hal itu, seperti diskriminasi, kekerasan, dan pengabaian-pengabaian hak yang tidak hanya pada para istri, namun juga terjadi pada anak-anak. Adapun berbagai dampak yang dapat timbul sebagai akibat dari praktik poligami yang tidak sehat adalah:
a. Dampak yang hampir muncul dalam seluruh pernikahan poligami adalah masalah psikologis yang dialami oleh perempuan berupa perasaan istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan menjalankan fungsinya sebagai seorang istri.
b. Dampak kedua yang timbul akibat poligami tak sehat adalah kekerasan dalam rumah tangga/Relasi Personal (KDRT/RP). Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Temuan kasus KDRP/RP masih menjadi kasus terbesar yang terjadi pada perempuan. Dalam hal ini baik istri pertama atau istri selanjutnya sama-sama berpotensi menjadi korban.
c. Dampak lainnya adalah perceraian. Data yang dirilis oleh situs Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2016, menyatakan terdapat sebanyak 7.476 (2,4%) kasus perceraian yang disebabkan praktek poligami yang tidak sehat, meskipun angka tersebut sebenarnya menurun dari laporan CATAHU 2012 yang menunjukkan presentase sebesar 23%.19 Namun asumsi bahwa poligami berpotensi membawa kehancuran dalam rumah tangga masih sulit untuk ditepis.
d. Dampak hukum; pernikahan poligami yang masih banyak dilakukan secara sirri, menjadikan perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan dan anak anak akan dirugikan karena perkawinan dianggap tidak ada, konsekwensinya akan berdampak pada hak-hak lainnya seperti pembuatan akte kelahiran anak, hak nafkah, waris dan sebagainya. Serta tidak adanya payung hukum yang melindunginya ketika terjadi KDRT.
Tapi pada dasarnya, semua perempuan merasa berat bahkan mungkin tidak rela untuk dipoligami. Sehingga ketika perempuan menerima untuk dipoligami, maka hal ini biasanya disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, antara lain:
1) Keterpaksaan yang disebabkan karena keadaan istri tersebut yang tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri, karena menderita penyakit yang sifatnya permanen, ataupun telah terbukti secara medis mengalami kemandulan sehingga tidak dapat memberikan keturunan yang diinginkan oleh suami.Â
Sehingga tak memiliki alasan untuk menolak suami melakukan poligami. Alasan ini pula yang dalam Undang-undang menjdi penyebab diperbolehkannya poligami." Keterpaksaan yang disebabkan oleh ketergantungan ekonomi istri pada suaminya. Sehingga ketika suami berpoligami, istri tidak mampu untuk menentang apalagi menuntut cerai karena berfikir bahwa tidak akan ada lagi yang menopang perekonomiannya.
2) Faktor keduaa adalah bahwa istri melihat adanya keuntungan yang didapatkan ketika menerima perkawinan poligami. Misalnya saja, suami adalah orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi, maka wanita tersebut merasa bahwa dengan menikahinya statusnya pun jadi ikut meningkat walaupun dengan jalan pernikahan poligami, hal seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yangmenjadi istri kedua dan seterusnya.
3) Faktor lainnya adalah adanya kerelaan dari sang istri tanpa keterpaksaan, yang didasari keyakinan yang memang telah terbentuk dalam diri mereka bahwa poligami adalah perintah agama yang tidak boleh ditolak, ketakutan akan konsekwensi ukhrawi dari penolakan terhadap ajaran Agama inilah yang mendorongnya untuk rela dipoligami. Bahkan dalam kasus semacam ini, antara suami dan istri sama-sama merasa bangga bahwa mereka bisa menjalankan syariat yang tidak mampu dijalani oleh umat lalam lainnya.
Dalam skala yang lebih kecil, yaitu dikalangan masyarakat yang agamis, poligami memang dianggap sebagai salah satu syariat Islam yang hukumnya Sunnah, karena hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah. Terlebih lagi, para penyampai agama, dalam penyampaiannya kerap memotong ayat 3 surat An-Nisa hanya sampai pada lafal sehingga kata perintah untuk menikah diatas dianggap sebagai dalil "hak penuh bagi laki-laki untuk berpoligami.
Praktik poligami di kalangan kaum agamis di Indonesia seolah-olah dipakai sebagai tolak ukur keislaman seseorang. semakin aktif seorang laki-laki berpoligami, maka dianggap semakin baik keislamannya. Atau semakin sabar seorang istri menerima permaduan, maka semakin tinggi kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami itu membawa berkah", "poligami itu indah", dan yang lebih popular lagi adalah "poligami itu sunnah". Sehingga tidak heran kebanyakan dari mereka yang berpoligami adalah para tokoh gama, seperti Kiai, dan Ustadz.
Ungkapan bahwa poligami itu sunnah, merupakan bentuk reduksi yang sangat besar, karena menikah saja dalam tataran ilmu fikih, memiliki berbagai predika hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi mayarakatnya. Nikah bias wajib, sunnah, mubah (boleh), atau sekedar diizinkan.Â
Bahkan nikah bias diharamkan ketika calon suami tau dirinya tidak akan bisa memenuhi hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena alasan ini pula, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi mesir kala itu, memilih untuk mengharamkan poligami. Namun jika benar para pelaku poligami beralasan ingin menjalankan perintah terhadap sunnah rasul, maka seharusnya mereka konsisten dengan benar-benar mengikuti poligami sebagaimana yang Rasulullah jalankan.
b. Pandangan Ulama Terhadap Poligami
1. Pandangan Ulama Klasik Tentang Poligami
Imam Syafii hanya menjelaskan tentang perempuan yang boleh atau tidak boleh untuk dinikahi, dan batasan jumlah istri. Adapun mengenai jumlah istri yang boleh dinikahi sesuai syariat Islam adalah empat orang perempuan. Batasan ini hanya berlaku pada perempuan merdeka saja, sedangkan pada perempuan hamba sahaya boleh dipoligami tanpa ada batasan.Â
Sedangkan poligami menurut 4 madhzab yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Syafi'i memperbolehkan berpoligami namun dengan syarat harus adil serta dengan batasan empat orang istri. Adil dalam konteks ini harus memenuhi beberapa kriteria yaitu sanggup berbuat adil terhadap istri, baik dalam bidang ekonomi, fisik, rumah, pakaian, pendidikan, perhatian, dan lain- lain.
Menurut Imam Hanafi berpendapat poligami dibolehkan tetapi syaratnya harus berlaku adil kepada istri satu dengan lainnya. Namun jika seorang suami ditakutkan tidak mampu berlaku adil dalam bidang sandang, pangan dan papan (nafkah lahir) serta membagi giliran tidur (nafkah batin) kepada istri satu dengan yang lainnya maka tidak ada kebolehan untuknya untuk berpoligami.
Menurut Imam Maliki perempuan yang bisa untuk dipoligami adalah hamba sahaya artinya dalam keadaan lemah dan sangat memerlukan perlindungan, sedangkan menurut Imam Syafi'i menegaskan bahwa seorang suami harus bersikap adil terhadap istri- istrinya. Sikap adil yang dimaksud adalah dalam memberikan jatah kunjungan kepada semua istrinya dengan perhitungan berdasarkan kuantitas.
2. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Poligami
Muhammad Syahrur dikenal sebagai tokoh pemikir muslim kontemporer yang banyak melakukan penafsiran terhadap al-Quran. Diantaranya adalah persoalan poligami. Dalam analisisnya, Syahrur memulai dengan Al-Qur'an surat An-Nisa Ayat 3-4, menganalisis dua pemaknaan mendasar. Pertama, secara kuantitas, ayat itu menjelaskan bahwa jumlah minimal istri yang diperbolehkan adalah satu, sebab tidak mungkin seseorang beristri separuh.Â
Adapun jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat 3-4 Surat An-Anisa, jika seseorang boleh beristri lebih dari seorang, yakni dua, tiga hingga empat orang. Penyebutan satu persatu jumlah perempuan menurut Syahrur, harus dipahami sebagai penyebutan bilangan bulat secara berurutan, karena itu tidak bisa dipahami 2+3+4 yang berjumlah sembilan.
Dengan demikian, melebihi dari jumlah tersebut berarti dia telah melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam. Tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan.Â
Kedua, Syahrur mengajak untuk memahami surat An-Nisaa ayat 3 tersebut memakai redaksi syarat. Karena itu, seolah-olah menurut Syahrur, kalimatnya adalah: "Fankihu ma thaba lakum min al-nisa matsna wa thula wa ruba dengan syarat kalau wa in khiftum an la tuqsith fi al-yatama.....
Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga, dan keempat dipersyaratkan dari janda yang mempunyi anak yatim.
Maka seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini menurut Syahrur akan sesuai dengan pengertian "adl" yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.
Menurut Quraish Shihab surat an-Nisa ayat 3 tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang poligami, dan itupun pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.Â
Ayat ini harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang memperbolehkan poligami adalah keadilan dalam bidang material (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya.
c. Pemikiran Kiai Husein Muhammad Tentang Poligami
Para pendukung poligami hampir selalu menyatakan bahwa poligami adalah perbuatan halal. Menentang atau melarang seseorang untuk poligami sama halnya dengan mengharamkan yang di halalkan. Kiai Husein Muhammad menanggapi dengan pernyataan di atas bahwa sering kali membuat orang ketakutan untuk menyatakan penolakannya terhadap praktik poligami secara terang terangan. Namun dari padangan Kiai Husein Muhammad polakan terhadap poligami tidak berarti mengharamkan yang di halahkan oleh Tuhan, Faktanya, para Ulama tidak sepakat mengenai persoalan hukum poligami.Â
Persoalan utamanya adalah pada hal apa hukum Tuhan mengandung asepek illat hukum (logika hukum) atau tidak. Ilat dalam pengertiannya unsur atau faktor yang oleh karenanya hukum ditetapkan. Para Ulama sepakat bahwa siklus hukum terletak pada logikanya. Hukum juga bisa berubah karena perubahan situasi, kondisi, dan tradisi, sepajang hukum tersebut dihadirkan untuk merespon kasus-kasus sosial. Adapun ayat al-qur'an yang menyebutkan dan dianggap membicarakan soal dan menjadikan dasar legitimasi poligami sampai empat orang pada surat an-nisa ayat 2-3.
Ayat 2-3 surat an-nisa dijadikan sebagai landasan bagi para pendukung poligami untuk mempertegas argumen mereka mengenai kebolehan berpoligami, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam memahami dan menafsirkan suatu nash bai Al-Qur'an ataupun haditts perlu kiranya untuk mempertimbangkan dan menelaah dari berbagai aspek, baik dari segi asbabun nuzul (latar belakang turunnya sebuah ayat), maka implisit kata, tatanan bahasa dan sosio historinya.
Menurut Kiai Husein Muhammad bahwa dalil pembolehan praktik poligami yang terdapat dalam surah an-Nisa ayat 3 jika ditelusuri asbabun nuzul-nya ayat tersebut jelas tidak berbicara dalam konteks anjuran perkawinan lebih dari seorang istri, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim. Â Â Â
Allah ingin menyelamatkan anak yatim dari orang-orang yang mengatas namakan perkawinan untuk menguasai harta mereka, serta untuk menghindari perlakuan tidak adil terhadap anak yatim. Maka Allah memberikan solusi agar mengawini perempuan lain yang disukai sebanyak dua, tiga, atau empat. Itupun Jika sanggup berbuat adil, jika tidak cukup satu. Karna mengupayakan untuk terwujudnya perkawinan monogami lebih menjauhkan ketidakadilan daripada mengupayakan poligami yang mana lebih dekat untuk berbuat tidak adil.
Kiai Husein Muhammad memberikan konsep gambaran bahwa fenomena atau bahkan isu yang menjadi fokus fenomena Penelitian ini yaitu Poligami. Berikut beberapa kritik Kiai Husein Muhammad atas praktik poligami:
1. Poligami Bukan Tradisi Islam
Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi perkawinan Poligami. Jauh sebelum Islam datang, tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban patriakis. Peradaban patriakis adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang mengatur dan menentukan seluruh aspek kehidupan.Â
Bangsa ini bukan hanya mengenal ajaran Arab saja bahkan di hampir seluruh dunia. Bahkan berbagai pandangan keagamaan pada saat itu juga melegitimasi praktik poligami jadi perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, namun juga pernah juga pada bangsa- bangsa lain di dunia.
Kiai Husein menegaskan bahwa al-Qur'an tidak ujug-ujug (tiba- tiba) turun untuk mengafirmasi anjuran untuk perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami justru dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik poligami, selangkah demi selangkah, sehingga kelak praktik tersebut tidak ada lagi.
2. Alasan Kelebihan Jumlah Perempuan
Alasan lain yang juga paling sering dikemukakan para pendukung poligami adalah mengenai jumlah populasi perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Argumen demografis ini tampaknya dipandang merupakan alasan paling signifikan bagi para pendukung poligami. Pandangan ini jelas tidak benar. Sebab jika mengacu kepada data Badan Pusat Statistik Nasional terlihat bahwa yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah itu lebih pada perempuan berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun.
Dengan argumen itu, mereka menganggap bahwa poligami dilakukan untuk memberdayakan perempuan. Kalaupun jumlah perempuan lebih karena harapan hidup perempuan itu lebih panjang. Biasanya kelebihan itu adalah di kisaran umur 65 ke atas dan 12 tahun ke bawah. Dengan demikian seharusnya jika ingin poligami, maka pilihannya hanya pada perempuan di bawah umur atau lanjut.
Realitas sosial juga menunjukkan bahwa begitu banyak perempuan yang tidak bersuami hidup senang dan berkecukupan secara material, tidak terlantar dan sengsara sebagaimana dituduhkan kelompok pro-poligami itu. Bahkan, pada umumnya, perempuan yang tidak bersuami lebih mandiri dan dewasa karena tuntutan keadaan memaksa mereka untuk tampil demikian.
3. Fakta-fakta di sekitar poligami
Menurut laporan LBH-APIK, sebanyak 58 kasus poligami yang diadvokasi dari tahun 2018-2021 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri.
Dampak-dampak buruk yang dilahirkan dari perkawinan poligami yang dilaporkan oleh LBH-APIK itu, dan masih banyak lagi laporan penelitian lain, menunjukkan bahwa poligami yang dipraktikkan sebagian besar orang dewasa ini membawa dampak yang buruk bagi banyak pihak, bukan hanya perempuan (istri), tetapi juga anak-anak (jika ada anak) dan keluarga yang lain, terutama dampak yang bersifat psikologis.
d. Relevansi Pemikiran Kiai Husein Muhammad Terhadap Praktik Poligami Di Indonesia     Â
Poligami sudah jauh berbeda dengan keadaan sekarang khususnya masyarakat Indonesia yang telah memberikan kesetaraan terhadap perempuan di berbagai bidang bahkan dalam beberapa tahun sekarang kesetaraan gender menjadi hal yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan hak perempuan di berbagai bidang disamaratakan dengan laki-laki dan tidak melihat jenis kelaminnya, salah satunya dalam urusan politik.
Sebab itu dengan perubahan paradigma dimasyarakat yang dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat itu sendiri menjadikan sebuah kewajiban untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang mengaturnya. Hal ini selaras dengan Kiai Husein Muhammad berpendapat bahwasannya fatwa bisa berbeda dan berubah seiring dengan perubahan zaman, keadaan, tempat dan adat kebiasaan.Â
Hukum sebagai rantai penghubung antara teks yang tertulis dengan realita yang ada dikalangan wilayah tertentu. Sebuah konsep illah yang lebih relevan ialah konsep dengan mengutamakan masalah untuk illahnya (al-illat hiya al maslahah). Karena illah mempunyai peranan yang penting dalam sebuah makna penafsiran hukum, mengandung maslahatan secara meluas akan menimbulkan sebuah hukum yang relevan dan tidak menimbulkan perpecahan.
Pemikiran Kiai Husein Muhammad bahwasannya poligami bukan suatu kewajiban dan perintah sangat relevan untuk dilakukan. Namun problematikanya ialah apakah poligami tegas dilarang atau diperbolehkan dengan beberapa ketentuan dan syarat yang begitu ketat. Bisa dilihat bahwa alasan utama dilarangnya poligami secara tegas yang dilalukan Kiai Husein Muhamad mengacu kepada negara-negara muslim serta beliau mempunyai tekad agar tidak terjadinya diskriminasi dalam praktik berpoligami, seperti yang terjadi dikalangan masyarakat Indonesia banyak kasus poligami yang mendatangkan mudharat.
D. RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DITULIS
      Saya ingin menulis skripsi mengenai tradisi begalan banyumasan yang ada dalam pesta pernikahan, dan keterkaitannya dengan hukum Islam yang ada. Ada beberapa alasan mengapa saya ingin menuliskan hal tersebut, yang paling utama yaitu saya penasaran dan ingin mengetahui bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap tradisi begalan banyumasan yang dilakukan di acara pernikahan. Kemudian apakah antara tradisi lokal tersebut memiliki keterkaitan dengan ajaran agama Islam dan apa pengaruh dari tradisi tersebut dalam pernikahan
Zalfa Qodisah Arindita_222121106
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H