Mohon tunggu...
Zalfa Qodisah Arindita
Zalfa Qodisah Arindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

topik konten yang akan kami bawakan mengenai hukum perdata Islam di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevensi Pemikiran Kiai Husein Muhammad Tentang Praktik Poligami di Indonesia

3 Juni 2024   11:46 Diperbarui: 3 Juni 2024   12:44 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a. Dampak yang hampir muncul dalam seluruh pernikahan poligami adalah masalah psikologis yang dialami oleh perempuan berupa perasaan istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan menjalankan fungsinya sebagai seorang istri.

b. Dampak kedua yang timbul akibat poligami tak sehat adalah kekerasan dalam rumah tangga/Relasi Personal (KDRT/RP). Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Temuan kasus KDRP/RP masih menjadi kasus terbesar yang terjadi pada perempuan. Dalam hal ini baik istri pertama atau istri selanjutnya sama-sama berpotensi menjadi korban.

c. Dampak lainnya adalah perceraian. Data yang dirilis oleh situs Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2016, menyatakan terdapat sebanyak 7.476 (2,4%) kasus perceraian yang disebabkan praktek poligami yang tidak sehat, meskipun angka tersebut sebenarnya menurun dari laporan CATAHU 2012 yang menunjukkan presentase sebesar 23%.19 Namun asumsi bahwa poligami berpotensi membawa kehancuran dalam rumah tangga masih sulit untuk ditepis.

d. Dampak hukum; pernikahan poligami yang masih banyak dilakukan secara sirri, menjadikan perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan dan anak anak akan dirugikan karena perkawinan dianggap tidak ada, konsekwensinya akan berdampak pada hak-hak lainnya seperti pembuatan akte kelahiran anak, hak nafkah, waris dan sebagainya. Serta tidak adanya payung hukum yang melindunginya ketika terjadi KDRT.

Tapi pada dasarnya, semua perempuan merasa berat bahkan mungkin tidak rela untuk dipoligami. Sehingga ketika perempuan menerima untuk dipoligami, maka hal ini biasanya disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, antara lain:

1) Keterpaksaan yang disebabkan karena keadaan istri tersebut yang tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri, karena menderita penyakit yang sifatnya permanen, ataupun telah terbukti secara medis mengalami kemandulan sehingga tidak dapat memberikan keturunan yang diinginkan oleh suami. 

Sehingga tak memiliki alasan untuk menolak suami melakukan poligami. Alasan ini pula yang dalam Undang-undang menjdi penyebab diperbolehkannya poligami." Keterpaksaan yang disebabkan oleh ketergantungan ekonomi istri pada suaminya. Sehingga ketika suami berpoligami, istri tidak mampu untuk menentang apalagi menuntut cerai karena berfikir bahwa tidak akan ada lagi yang menopang perekonomiannya.

2) Faktor keduaa adalah bahwa istri melihat adanya keuntungan yang didapatkan ketika menerima perkawinan poligami. Misalnya saja, suami adalah orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi, maka wanita tersebut merasa bahwa dengan menikahinya statusnya pun jadi ikut meningkat walaupun dengan jalan pernikahan poligami, hal seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yangmenjadi istri kedua dan seterusnya.

3) Faktor lainnya adalah adanya kerelaan dari sang istri tanpa keterpaksaan, yang didasari keyakinan yang memang telah terbentuk dalam diri mereka bahwa poligami adalah perintah agama yang tidak boleh ditolak, ketakutan akan konsekwensi ukhrawi dari penolakan terhadap ajaran Agama inilah yang mendorongnya untuk rela dipoligami. Bahkan dalam kasus semacam ini, antara suami dan istri sama-sama merasa bangga bahwa mereka bisa menjalankan syariat yang tidak mampu dijalani oleh umat lalam lainnya.

Dalam skala yang lebih kecil, yaitu dikalangan masyarakat yang agamis, poligami memang dianggap sebagai salah satu syariat Islam yang hukumnya Sunnah, karena hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah. Terlebih lagi, para penyampai agama, dalam penyampaiannya kerap memotong ayat 3 surat An-Nisa hanya sampai pada lafal sehingga kata perintah untuk menikah diatas dianggap sebagai dalil "hak penuh bagi laki-laki untuk berpoligami.

Praktik poligami di kalangan kaum agamis di Indonesia seolah-olah dipakai sebagai tolak ukur keislaman seseorang. semakin aktif seorang laki-laki berpoligami, maka dianggap semakin baik keislamannya. Atau semakin sabar seorang istri menerima permaduan, maka semakin tinggi kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami itu membawa berkah", "poligami itu indah", dan yang lebih popular lagi adalah "poligami itu sunnah". Sehingga tidak heran kebanyakan dari mereka yang berpoligami adalah para tokoh gama, seperti Kiai, dan Ustadz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun