Dengan demikian, melebihi dari jumlah tersebut berarti dia telah melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam. Tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan.Â
Kedua, Syahrur mengajak untuk memahami surat An-Nisaa ayat 3 tersebut memakai redaksi syarat. Karena itu, seolah-olah menurut Syahrur, kalimatnya adalah: "Fankihu ma thaba lakum min al-nisa matsna wa thula wa ruba dengan syarat kalau wa in khiftum an la tuqsith fi al-yatama.....
Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga, dan keempat dipersyaratkan dari janda yang mempunyi anak yatim.
Maka seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini menurut Syahrur akan sesuai dengan pengertian "adl" yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.
Menurut Quraish Shihab surat an-Nisa ayat 3 tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang poligami, dan itupun pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.Â
Ayat ini harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang memperbolehkan poligami adalah keadilan dalam bidang material (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya.
c. Pemikiran Kiai Husein Muhammad Tentang Poligami
Para pendukung poligami hampir selalu menyatakan bahwa poligami adalah perbuatan halal. Menentang atau melarang seseorang untuk poligami sama halnya dengan mengharamkan yang di halalkan. Kiai Husein Muhammad menanggapi dengan pernyataan di atas bahwa sering kali membuat orang ketakutan untuk menyatakan penolakannya terhadap praktik poligami secara terang terangan. Namun dari padangan Kiai Husein Muhammad polakan terhadap poligami tidak berarti mengharamkan yang di halahkan oleh Tuhan, Faktanya, para Ulama tidak sepakat mengenai persoalan hukum poligami.Â
Persoalan utamanya adalah pada hal apa hukum Tuhan mengandung asepek illat hukum (logika hukum) atau tidak. Ilat dalam pengertiannya unsur atau faktor yang oleh karenanya hukum ditetapkan. Para Ulama sepakat bahwa siklus hukum terletak pada logikanya. Hukum juga bisa berubah karena perubahan situasi, kondisi, dan tradisi, sepajang hukum tersebut dihadirkan untuk merespon kasus-kasus sosial. Adapun ayat al-qur'an yang menyebutkan dan dianggap membicarakan soal dan menjadikan dasar legitimasi poligami sampai empat orang pada surat an-nisa ayat 2-3.
Ayat 2-3 surat an-nisa dijadikan sebagai landasan bagi para pendukung poligami untuk mempertegas argumen mereka mengenai kebolehan berpoligami, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam memahami dan menafsirkan suatu nash bai Al-Qur'an ataupun haditts perlu kiranya untuk mempertimbangkan dan menelaah dari berbagai aspek, baik dari segi asbabun nuzul (latar belakang turunnya sebuah ayat), maka implisit kata, tatanan bahasa dan sosio historinya.
Menurut Kiai Husein Muhammad bahwa dalil pembolehan praktik poligami yang terdapat dalam surah an-Nisa ayat 3 jika ditelusuri asbabun nuzul-nya ayat tersebut jelas tidak berbicara dalam konteks anjuran perkawinan lebih dari seorang istri, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim. Â Â Â