Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pahat Prabangkara dan Seni Ukir Jepara

20 April 2020   07:43 Diperbarui: 20 April 2020   07:51 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prabangkara adalah seorang pelukis dan pemahat yang hidup pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya di Kerajaan Majapahit. Lukisannya menjadi koleksi para petinggi kerajaan pada masa itu. 

Banyak yang memuji karyanya. Tidak mengherankan jika hampir semua petinggi kerajaan pernah minta dilukis olehnya. Hasil  lukisannya menghiasi ruang utama rumah para petinggi kerajaan. Mereka dengan bangga memamerkan lukisan dirinya kepada para tamu yang kebetulan berkunjung ke rumah.

Hasil pahatan Prabangkara juga mengundang decak kagum siapa saja yang melihatnya.  Dia mengukir  singgasana raja dengan motif campuran daun , buah dan bunga.  Meja, lemari dan tempat tidur di istana pun tak luput dari sentuhan tangannya yang menghasilkan motif ukiran khas Majapahit. 

Hiasan daun yang melengkung dipadukan dengan bentuk buah maupun bunga yang cembung dan cekung menjadi karya seni yang indah. Tidak hanya dikagumi ketika melihatnya tetapi juga ketika meraba permukaan kayu yang sudah diukir oleh Prabangkara. Perlu ketrampilan khusus dan ketelatenan yang tinggi dalam menggunakan pahat berbagai ukuran untuk menghasilkan ukiran kayu pada perabotan rumah.

Keahlian Prabangkara ini menjadikannya terkenal di  seluruh penjuru kerajaan Majapahit. Beberapa anak muda tertarik belajar melukis dan mengukir darinya. 

Mereka bergantian datang untuk belajar secara langsung dengan melihat dari dekat bagaimana Prabangkara menghasilkan karya seni yang indah. Bahkan  beberapa di antaranya memohon  agar diijinkan menjadi muridnya.

 Sayangnya Prabangkara tidak  punya banyak waktu untuk mengajari mereka. Banyak pesanan lukisan yang harus segera diselesaikan. Dia sudah dibayar mahal untuk pekerjaan itu.

            " Tolong ajari kami mengukir kayu !" pinta  beberapa lelaki muda yang sering datang ke rumahnya. Mereka mengagumi motif ukiran pada semua perabotan di  rumah Prabangkara. Tidak jemu-jemunya melihat Prabangkara dengan lincah memahat permukaan kayu sehingga menjadi penuh motif. Seperti memindahkan lukisan dari kertas ke atas permukaan kayu.

            "Datanglah setiap Minggu sore. Aku akan mengajari kalian mengukir ," janjinya kepada mereka. Maka mereka pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Rajin dan tekun belajar agar menguasai ketrampilan mengukir seperti Prabangkara. Yang lebih menyenangkan, Prabangkara mengajari secara gratis. Tidak dipungut biaya sepeser pun. Meskipun hal ini tidak disukai istrinya.

            "Mestinya kau minta bayaran dari mereka," omel sang istri. "Mereka bisa menghasilkan uang  dari mengukir. Malah bisa lebih banyak dari penghasilanmu."

Prabangkara tidak menanggapi omelan istrinya. Dia sama sekali tidak  merasa khawatir jika  nanti  penghasilannya berkurang setelah para pemuda itu menguasai ketrampilan mengukir kayu. Mereka butuh waktu lama untuk bisa menyaingi keahliannya. 

Belum tentu mereka akan tahan bekerja menggunakan pahat. Kalau sekarang mereka belajar, itu hanya karena mereka penasaran ingin mengetahui cara mengukir menggunakan pahat.

            "Ternyata sulit juga ," keluh seorag pemuda yang sedang menggunakan pahat untuk membuat  dedaunan yang menjulur ke kanan dan ke kiri.

            "Jangan mudah putus asa. Kamu pasti bisa," Prabangkara membesarkan hatinya.

            "Berapa lama  kita akan  belajar di sini?" tanya  pemuda lainnya.

            "Sampai kalian bisa," jawab Prabangkara.

            "Apakah satu bulan sudah cukup?" tanya pemuda itu lagi sementara empat pemuda lainnya terus mencoba memainkan pahat di atas permukaan kayu yang dilapisi kertas bergambar motif ukiran.

            "Kalian sendiri yang tahu kapan kalian menguasai ketrampilan ini."

            "Kelihatannya perlu waktu lama," keluhnya.

            Prabangkara tersenyum dengan wajah riang. Dia menepuk bahu pemuda itu sambil berujar , "Percayalah, jika bersungguh-sungguh kamu akan cepat bisa."

Istri Prabangkara mengeluarkan teko besar berisi  wedang jahe untuk mereka. Biasanya mereka belajar sampai menjelang senja. Mereka  akan bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada Prabangkara  dan istrinya. 

Prabangkara tersenyum puas melihat kesungguhan mereka sementara istrinya kerap kesal dibuatnya. Hanya ada uang di dalam pikirannya. Jika saja mereka membayar , pasti  banyak uang yang akan didapatnya.

            "Kelihatannya sudah tidak ada pesanan lukisan lagi," sang istri melongok ke ruangan tempat Prabangkara melukis. Hanya ada satu lukisan yang sedang dikerjakan. Lukisan seorang perempuan setengah baya memakai kebaya putih.

            "Ya, tinggal satu lukisan ini saja," Prabangkara menyahut sambil mendekati sang istri.

            "Tidak ada lagi?" desak sang istri.

            Prabangkara mengangguk tanpa bersuara.

            "Berapa bayaranmu untuk lukisan ini?" istrinya ingin tahu.

            "Cukup untuk makan tiga bulan."

            "Kenapa tidak menarik bayaran dari pemuda-pemuda yang belajar mengukir darimu?"

"Tidak. Aku mengajari mereka dengan sukarela."

"Tetapi kita butuh uang. Mereka bisa mendapatkan uang dengan ketrampilan yang kamu ajarkan. Seharusnya kamu meminta bayaran."

Prabangkara menggelengkan kepalanya. Setelah tiga bulan berlalu,  hanya tersisa dua orang yang  masih belajar mengukir kepadanya. Tiga di antaranya tidak melanjutkan belajar karena merasa tidak berbakat. 

Dua orang yang masih bertahan melanjutkan belajar adalah mereka yang bersungguh-sungguh dan tidak pernah menyerah jika menemui kesulitan. Kini keduanya sudah lancar menggunakan pahat dan bisa mengukir beberapa motif ukiran klasik yang diajarkan sang guru.

Keesokan harinya seperti biasanya kedua muridnya  datang menjelang sore. Prabangkara menyambutnya dengan gembira sementara sang istri bermuka masam. Bahkan sengaja tidak menyediakan minuman dan camilan. 

Padahal tetangganya baru saja mengantar jagung hasil panen dari kebun. Biasanya dia suka menjamu tamu dengan makanan yang dimilikinya. Sekarang karena merasa khawatir kekurangan uang, dia berubah menjadi pelit. Namun tidak demikian dengan suaminya.

Meski tidak mendapat bayaran , dia memperlakukan kedua muridnya dengan baik. Dia menyuruh istrinya menyediakan  teh untuk mereka. Lantas membujuknya agar mau merebus jagung untuk disuguhkan kepada mereka juga.  Sang istri menurutinya  meskipun sambil mengomel.

            "Lukisan Ki Prabangkara  kelihatannya sudah cukup banyak," kata Satria, salah satu muridnya. "Kenapa tidak membuat pameran lukisan?"

            "Pameran lukisan?" Prabangkara ganti bertanya.

            "Iya Ki," sahut Nendra, murid yang satu lagi. "Ki Prabangkara bisa menjual lukisan  di pameran itu.   Pasti  nanti  juga banyak yang mau dilukis atau pesan lukisan.'

            "Tapi pameran di mana?"

            "Di Istana ada ruang pameran," kata Satria lagi. " Paman saya yang mengurus ruang itu.  Kalau mau pameran di sana, saya bisa bantu . Saya akan bilang ke Paman supaya dicarikan waktunya. "

Istri Prabangkara  yang sedang  berjalan menghampiri mereka sambil membawakan sepiring jagung rebus ikut  mendengar  pembicaraan tentang pameran lukisan . Dia menimpali pembicaraan mereka, "Kesempatan bagus ini jangan sampai disia-siakan."

            "Baiklah ,  Satria. Bantu aku agar bisa pameran lukisan di ruang pameran istana."

            "Aku  pasti akan membantumu Ki," janjinya diucapkan dengan mantap.

Ternyata Satria memang menepati janjinya. Tidak hanya membantu agar bisa mengadakan pameran di istana, dia juga membantu membawa semua lukisan yang akan dipamerkan Prabangkara . Dia meminjam kereta kuda dari Pamannya untuk membawa semua lukisan itu. 

Nendra tak ketinggalan ikut membantu mengatur penempatan lukisan di gedung pameran. Selama tiga hari pameran berlangsung, baik Nendra maupun Satria menemani Prabangkara menjaga pameran.

Seperti harapan mereka, banyak pengunjung pameran yang minta dilukis. Karena itu, Prabangkara harus selalu siap di sana dengan kertas dan peralatan melukisnya. Kebanyakan yang minta dilukis adalah pengunjung wanita tetapi beberapa pria bangsawan pun tertarik untuk dilukis dengan pakaian kebesaran mereka.  

Untuk karyanya itu, Prabangkara menerima bayaran yang lumayan banyak sehingga dia tidak merasa sayang untuk memberikan sebagian uang yang diterimanya kepada dua murid kesayangannya. Tentu saja hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan istrinya.  Dia masih  meragukan kebaikan hati sang istri untuk bisa berbagi dengan sesama.   

Pada hari ke tiga pameran, Prabu Brawijaya datang ke gedung pameran untuk melihat-lihat lukisan yang dipajang di sana. Dari raut wajahnya yang sumringah nampaknya Baginda raja sangat terkesan dengan lukisan karya Prabangkara. 

Apalagi ketika dia melihat antrian pengunjung yang minta dilukis. Bergegas beliau mendekati kerumunan di pojok gedung pameran. Menyaksikan dari dekat bagaimana Prabangkara melukis di atas kertas.  Hasilnya benar-benar sempurna . Dia berhasil memindahkan  wajah asli orang di hadapannya ke atas kertas  melalui goresan tangannya.

"Apakah kamu bisa melukis  menggunakan bahan selain kertas?" tanya Prabu Brawijaya.

Mendengar pertanyaan dari sang raja, Prabangkara segera menghentikan kegiatannya melukis. Terlebih dulu dia memberikan hormat sebelum menjawab. "Bisa Baginda."

Prabu Brawijaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. " Datanglah ke istana sore ini setelah pameran selesai."

"Baik Baginda Prabu," suara Prabangkara bergetar  antara senang dan khawatir.

Waktu pun berlalu dengan cepat  hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Sedari pagi Prabangkara melayani permintaan pengunjung untuk dilukis. Hanya sesekali dia beristirahat untuk makan dan minum. 

Kedua murid setianya tidak bisa membantunya melukis karena memang bukan keahliannya. Mereka hanya menemani pengunjung yang berkeliling melihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Jika ada yang bertanya, mereka bisa menjelaskan cerita di balik gambar itu.

Setelah pameran ditutup sore itu, Satrio dan Nendra menurunkan semua lukisan dari dinding kemudian membawanya pulang dengan kereta pinjaman. Sebagian lukisan laku terjual sehingga masih ada tempat  untuk mereka berdua duduk di dalam kereta. 

Sementara Prabangkara bergegas ke istana untuk bertemu Prabu Brawijaya. Mudah-mudahan ada kabar baik  untuknya dari Baginda. Barangkali beliau berkenan memesan lukisan padanya, begitulah harapannya.

Prabangkara harus menunggu beberapa lama di pendopo istana  sebelum Prabu Brawijaya menemuinya. Begitu rajanya datang, segera dia memberikan penghormatan  dengan menundukkan kepala sambil menyembahnya. 

Prabu Brawijaya mengangguk-angguk lagi sambil tersenyum seperti yang dilakukan tadi siang di ruang pameran. Tak lama kemudian dia menyuruh punggawa kerajaan yang berada di sana untuk meninggalkan tempat. Nampaknya beliau hanya ingin berbicara berdua dengan Prabangkara.

"Melihat keahlianmu melukis orang , aku lantas terpikir untuk memintamu melukis istriku. "

"Baik Prabu,  hamba akan melakukan dengan sebaik-baiknya," balasnya dengan tegas.

"Apakah kamu harus melihat orang yang kamu lukis ?" tanya Prabu Brawijaya agak mencengangkan Prabangkara. Bukankah beliau sudah melihat sendiri bagaimana cara dia melukis?

"Bagaimana saya bisa melukis kalau tidak melihat apa yang akan saya lukis?" Prabangkara ganti bertanya.

"Kamu adalah pelukis ternama. Pasti kamu juga pelukis yang hebat," pujinya dengan senyuman mencibir. "Bukankah kamu sudah pernah melihat istriku ?

"Betul Baginda Prabu, tetapi hanya sekilas ," jawabnya takut-takut.

"Untuk pelukis sehebat kamu, tidak sulit melukis permaisuri rajanya," ucap Prabu Brawijaya membangkitkan kepercayaan diri Prabangkara. "Kamu akan melukis di rumahmu tanpa melihat permaisuri. Kamu sanggup ?"

Tanpa berpikir panjang, Prabangkara menyanggupinya. "Hamba sanggup Baginda Prabu."

Prabu Brawijaya tersenyum lebar. "Lukisan itu akan menjadi hadiah istimewa  yang kupersembahkan untuk permaisuri. Aku ingin menunjukkan besarnya cintaku padanya," dia berhenti sejenak untuk melihat wajah Prabangkara. "Karena kamu pelukis hebat di negeri ini, aku ingin menguji kehebatanmu. Aku akan memberikan tantangan padamu untuk melukis permaisuri tanpa busana. Ingat,  kamu harus melukis di rumahmu sendiri dan  tidak boleh melihat permaisuri."

Mendengar permintaan rajanya, Prabangkara terdiam beberapa lama. Ingatannya berusaha keras mengumpulkan gambaran wajah permaisuri. Dia baru sekali bertemu langsung dengan permaisuri ketika mengantarkan lukisan ke rumah salah satu petingi kerajaan. Pada waktu itu permaisuri sedang mengadakan pertemuan di sana. 

Postur tubuhnya tinggi semampai dengan sepasang kaki panjang yang mengecil di bagian bawahnya. Kecantikannya yang tak terkira membuat siapa saja yang memandangnya akan terkesima.  Rambutnya disanggul sehingga seluruh paras wajahnya terlihat jelas. 

Matanya  berbinar-binar memancarkan pesona dan kharisma seorang bangsawan. Sewaktu tersenyum dia terlihat begitu anggun dengan bibir bagian bawah yang menggantung dan lebih tebal dari bibir atasnya. Bentuk wajahnya bulat telur dengan dagu runcing tetapi sepasang pipinya kelihatan montok. Hanya itulah  gambaran keseluruhan yang diingatnya dari permaisuri.

"Bagaimana ? Kamu perlu waktu berapa lama untuk menyelesaikan lukisan permaisuri tanpa busana?" suara Prabu Brawijaya menggetarkan dadanya. Sebuah tantangan yang tidak mudah untuknya. Jika dia menolak mengerjakan lukisan itu, entah hukuman apa yang akan diterimanya. Semua orang  pasti akan mengejeknya karena tidak sanggup memenuhi permintaan raja.

"Beri saya waktu satu  bulan," dia memohnon sambil menyembah.

"Satu bulan?" Prabu Brawijaya terkejut mendengarnya. "Itu terlalu lama. Kuberi waktu kamu dua minggu. Lukisan itu dibuat di atas kain dengan  pewarna dan dipigura. Kamu bisa minta bagian perlengkapan istana untuk menyiapkan kain, pewarna  dan pigura. Setelah lukisan selesai, kamu sendiri yang mengantarkan ke istana. Lukisan harus kamu bungkus rapat dan langsung kamu serahkan kepadaku. Hanya aku yang boleh melihat lukisan itu. Ingat, jangan ada orang lain yang melihatnya selain aku!"

Wajah Prabangkara pucat setelah mendengar permintaan Prabu Brawijaya tetapi dia tak kuasa menolaknya. Pertemuan mereka pun berakhir tak lama berselang. Langkah kakinya gontai meninggalkan istana. Sampai-sampai dia hampir melupakan kudanya yang setia mengantarkannya pulang. Pelan-pelan dia memacu kudanya menuju rumahnya.

Istrinya ternyata sudah menyambutnya dengan wajah cerah. Tentu saja dia tahu kalau banyak lukisan yang terjual pasti juga suaminya mengantongi banyak uang.  Semua orang membicarakannya  karena selama pameran banyak pengunjung yang minta dilukis. Semakin banyak saja uang suaminya sekarang. 

Mungkin dengan uang itu,  mereka bisa membeli kereta kuda seperti milik para petinggi kerajaan. Tapi kenapa wajah suaminya nampak murung begitu tiba di rumah. Dia mulai khawatir kalau telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya.

"Duduklah dulu. Aku sudah menyiapkan wedang jahe dan getuk untukmu," sambut istrinya  sebelum menghilang ke dapur. Setelah kembali ke ruang tengah rumahnya dia meletakkan teko, gelas dan sepiring getuk bertabur parutan kelapa. "Aku juga membuat masakan istimewa untukmu.  Ayam bakar dan lalapannya."

"Aku mendapat tugas berat dari Prabu Brawijaya," Prabangkara berbicara pelan sesudah meneguk minumannya beberapa kali.

"Tugas apa ?" selidik istrinya.

Prabangkara tidak menjawab. Pandangannya menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia ragu menceritakan tantangan raja kepada istrinya. Khawatir akan menjadi pembicaraan banyak orang. Istrinya kecewa tidak mendapat jawaban yang diharapkan. Kembali dia mengkhawatirkan suaminya setelah menduga-duga tugas apa sebenarnya yang diberikan raja kepada seorang pelukis.

Malamnya menjelang tidur, istrinya kembali bertanya dan lagi-lagi Prabangkara hanya membisu. Keesokan harinya, seorang utusan datang dari kerajaan. Dia membawa bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melukis.  

Kain selebar satu meter yang dipigura dan pewarna alami berbahan tumbuh-tumbuhan yang diletakkan dalam mangkok-mangkok porselin bertutup bulat. Pada saat itu barulah istrinya tahu tugas apa yang diberikan Prabu Brawijaya kepada Prabangkara.

"Jangan ganggu aku!" Prabangkara memohon kepada istrinya ketika dia masuk ke ruangannya untuk mulai melukis.

Sepanjang hari itu dia hanya ke luar untuk makan dan mandi. Istrinya menahan diri agar tidak tergoda memasuki ruangan ketika suaminya sedang mandi. Dia sungguh penasaran ingin tahu apa yang dilukis suaminya. 

Kenapa suaminya merahasiakan lukisan itu darinya? Apakah itu yang dimaksud dengan tugas berat dari raja? Apa yang dilukis Prabangkara ? Dia terus bertanya-tanya hingga malam tiba.

Di dalam ruangan itu Prabangkara sudah melukis wajah permaisuri dengan ketelitian tinggi. Guratan alis yang melengkung laksana bulan sabit bisa dibuatnya dengan mudah. Begitu pula bentuk hidung dan bibirnya. Wajah cantik permaisuri telah dipindahkan ke atas kain.  

Tetapi tidak cukup sampai di situ saja, dia harus melukis  seluruh  tubuh permaisuri. Kalau tubuh itu berbusana tentu mudah dilakukan. Tinggal memberikan pakaian kebesaran permaisuri yang menyukai  kebaya warna hijau pupus dipadukan dengan renda-renda emas di bagian luarnya dan manik-manik di bagian dada.  Sekarang apa yang harus dilakukan? Dia mulai kebingungan dan juga khawatir  jika harus menerima kemarahan raja.

Hingga tengah malam Prabangkara tidak juga meninggalkan ruangan melukis. Tidak ada suara apapun kecuali gemerisik angin. Hening sunyi melingkupi sekitarnya. Istrinya mungkin telah lelap tidur. 

Pada saat itulah dia merasa bersalah karena merahasiakan tugasnya. Mestinya dia menceritakan kesulitannya pada istrinya. Siapa tahu sang istri bisa membantunya. Akhirnya dia menuju kamarnya. 

Di luar dugaannya, sang istri belum tidur. Perempuan itu malah bersimpuh sambil berdoa lirih meminta suaminya dimudahkan dalam mengerjakan tugas dari raja. Prabangkara pun mengikutinya berdoa di samping istrinya.

"Sekarang tidurlah dulu. Kamu harus istirahat. Besok pagi lukisanmu bisa dilanjutkan," ujar istrinya lembut.

"Apa lagi yang harus kulakukan supaya diberi kemudahan menyelesaikan lukisan pesanan Prabu Brawijaya?" Prabangkara meminta saran istrinya.

"Berpuasalah sekuatmu. Berdoa dan berpuasa membuatmu dimudahkan dalam menyelesaikan tugas beratmu."

Mengikuti saran istrinya dia pun mulai berpuasa dan setiap hari berdoa. Pada hari ke tujuh dia bermimpi melihat tujuh bidadari sedang mandi sambil bermain air di telaga di tengah hutan. Satu di antara bidadari itu ternyata permaisuri yang sedang dilukisnya. Ketika enam bidadari sudah terbang ke langit biru tinggallah permaisuri sendiri di tengah telaga. Hanya sekejap Prabangkara melihat keelokan tubuh permaisuri karena dia segera terjaga dari tidurnya.

Tak menyia-nyiakan kesempatannya yang tinggal beberapa hari lagi harus menyerahkan lukisan kepada Prabu Brawijaya, dia segera bangkit dari tempat tidur.  Berdoa dulu mohon diberikan kemudahan melukis permaisuri tanpa busana demi memenuhi permintaan rajanya. Sebenarnya hatinya tidak tenang ketika harus melukis perempuan tanpa busana. Tetapi apa boleh buat? Ini adalah permintaan raja yang tak bisa ditolaknya.

Sepanjang hari itu dia kembali melanjutkan melukis. Tangannya terasa ringan seperti digerakkan oleh kekuatan lain sehingga begitu cepat menyelesaikan lukisan tubuh telanjang permaisuri. 

Napasnya terengah-engah lalu butiran keringat membasahi tubuhnya. Dia menghabiskan dua gelas air putih untuk mengurangi rasa haus yang membuat tenggorokannya kering. Sekarang tinggal mewarnai lukisan itu.  Lusa dia harus menyerahkannya kepada Prabu Brawijaya.

"Besok lukisan itu sudah selesai," dia mengabarkan berita gembira kepada istrinya.

"Syukurlah, kamu diberi kemudahan menyelesaikannya," puas dan bangga terdengar dari ucapan istrinya.

Ketika hari yang dinantikan itu tiba, Prabangkara menyiapkan selembar kain untuk membungkus lukisannya.  Sebelum membungkusnya, dia kembali meneliti setiap bagian lukisannya. 

Namun dia tidak menyadari ada kotoran cicak yang menempel di pantat permaisuri. Tanpa memperhatikan titik hitam di pantat permaisuri, dia membungkus lukisannya dengan hati-hati.

Kereta kuda dari istana telah menunggunya di halaman rumahnya. Prabu Brawijaya telah mengutus orang kepercayaannya untuk menjemput Prabangkara. Sesampainya di istana, orang itu juga yang mengantarkan Prabangkara langsung menghadap raja. Kemudian dia segera pergi meninggalkan Prabangkara hanya berdua dengan sang raja.

Prabu Brawijaya tak sabar ingin segera membuka bungkusan lukisan yang dibawa Prabangkara. Sebaliknya Prabangkara mulai gelisah dan khawatir jika lukisannya tidak seperti yang diharapkan rajanya. Sambil menahan napas, dia menyerahkan lukisannya. Segera Prabu Brawijaya  membuka kain pembungkus lukisan.  

Meneliti setiap bagian tubuh permaisuri yang dicintainya. Sampai pada bagian pantat yang hitam wajahnya langsung memerah menahan amarah. Bagian tubuh permaisuri yang tersembunyi itu pun berhasil dilukisnya dengan sempurna. Tatapan curiga diarahkan kepada si pelukis yang berdiri di hadapannya. Dari mana dia tahu ada tahi lalat di pantat istriku?

"Kamu memang pelukis yang hebat," kalimat itu yang ke luar dari mulutnya. "Tanpa melihat permaisuri, kamu berhasil melukisnya tanpa busana dengan sempurna. Ini betul-betul luar biasa."

Prabangkara merasa tidak enak mendengar ucapan Prabu Brawijaya. Itu bukan kalimat pujian biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan dalam kalimat itu. Dia mulai takut jika lukisan itu membuat rajanya tidak berkenan. Tetapi dia tidak tahu apa penyebabnya. Dia juga tidak berani bertanya atau minta pendapat Prabu Brawijaya tentang lukisannya.

"Datanglah ke  lapangan di depan istana besok pagi. Bawalah semua peralatan melukis dan juga pahat yang kamu gunakan untuk mengukir kayu!" perintah Prabu Brawijaya.

"Ada tugas baru lagi untuk hamba Baginda ?" Prabangkara bertanya dengan heran.

"Tidak ada. Aku hanya ingin mengumumkan ke seluruh negeri kalau Prabangkara adalah pelukis hebat. Aku akan memberikan penghargaan  atas bakatmu yang hebat."

 Sebenarnya Prabu Brawijaya sangat marah melihat ada tahi lalat di pantat istrinya dalam lukisan itu. Seharusnya hanya dia yang tahu tahi lalat itu. Bagaimana Prabangkara bisa tahu? Dia mencurigai Prabangkara pernah memadu asmara dengan permaisuri.

Prabangkara pasti pernah melihat permaisuri tanpa busana.  Ini tidak bisa dibiarkan. Dia harus mendapat hukuman. Penghargaan yang dimaksud sebenarnya adalah hukuman yang akan dijatuhkan pada sang pelukis itu.

Mengenakan pakaian terbaiknya, Prabangkara memenuhi undangan Prabu Brawijaya. Semua peralatan melukis dan memahat dibawanya sesuai perintah rajanya. Terlihat iringan-iringan patih istana membawa layang-layang raksasa. Prabu Brawijaya memerintahkan mereka menggantung Prabangkara beserta peralatannya tepat di bawah layang-layang .

"Naikkan layang-layangnya !" teriak Prabu Brawijaya.

Prabangkara memejamkan mata menahan deru angin yang menerpanya dari segala penjuru. Layang-layang itu semakin tinggi sehingga dia tidak berani melihat ke bawah. Sayup-sayup dia mendengar sorak sorai penonton di tanah lapang yang meneriakkan namanya. Ini tentu saja bukan penghargaan yang diharapkan. Dia pasrah pada kehendak Yang Kuasa.

Prabu Brawijaya mendekati salah satu patihnya lalu memotong tali layang-layang itu. Semua orang di tanah lapang itu terkejut melihat tindakan rajanya. Namun apa daya mereka? Mereka hanya terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa. Kerumunan penonton di tanah lapang pun pelan-pelan bubar. Para petinggi istana hanya bisa saling berpandang-pandangan. Tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran rajanya.

Istri Prabangkara menangis sejadi-jadinya begitu mendengar kabar dari orang-orang yang melihat kejadian di lapangan tadi. Kedua murid kesayangan Prabangkara datang menenangkannya. Mereka percaya bahwa semua ini sudah menjadi kehendak Yang Kuasa. Istri Prabangkara pun menghentikan tangisnya lalu mengajak mereka berdoa bersama.

Peralatan melukis dan memahat Prabangkara ternyata jatuh di desa Belakang Gunung di wilayah Jepara. Sedangkan Prabangkara jatuh di tengah hutan di wilayah Jepara yang lain. Hanya atas kehendak Yang Kuasa, pelukis hebat itu masih bernyawa ketika ditemukan  beberapa lelaki pencari kayu. Salah seorang di antara mereka mempunyai keahlian mengobati. Prabangkara pun dirawat dan diobati hingga sembuh.

Setelah sembuh dia berpamitan untuk  mencari peralatan melukis dan memahatnya yang mungkin jatuh tak jauh dari sekitar hutan itu. Beruntung dia bertemu dengan anak lelaki yang menceritakan tentang jatuhnya alat lukis dan seperangkat pahat berbagai ukuran di desa Belakang Gunung. Anak lelaki itu menawarkan diri menemaninya menuju desa itu.

Penduduk desa Belakang Gunung menerima kedatangan Prabangkara dengan gembira. Mereka minta diajari melukis dan mengukir. Dengan sabar Prabangkara mengajari mereka sampai benar-benar menguasai keahlian mengukir kayu. 

Begitu banyak pemuda yang ingin belajar mengukir membuatnya teringat  pada dua murid kesayangannya. Seandainya mereka bersamanya, pasti akan membantunya mengajari pemuda-pemuda desa ini. Dia pun merindukan istrinya yang telah mengajarinya berdoa dan berpuasa agar mendapat kemudahan dalam hidup.

Setiap malam Prabangkara berdoa agar bisa dipertemukan lagi dengan istri dan dua murid kesayangannya. Dia tidak ingin kembali ke Majapahit karena keahliannya tidak dihargai oleh rajanya. Sampai sekarang dia tidak tahu apa salahnya sehingga dihukum dengan cara yang licik. 

Dia merasa tidak pernah melakukan kesalahan pada raja maupun permaisuri. Lebih baik dia membina pemuda desa Belakang Gunung agar menguasai keahlian mengukir kayu.

Beberapa hari kemudian, doanya terjawab. Dua murid kesayangan dan istrinya datang ke desa itu. Mereka meninggalkan Majapahit untuk menghilangkan kesedihan atas kejadian yang menimpa Prabangkara. 

Tidak disangka mereka bisa kembali bertemu dengan Prabangkara. Ketika mereka beristirahat sejenak di warung makan, banyak orang membicarakan Prabangkara yang sangat dihormati oleh warga desa Belakang Gunung karena telah mengajarkan keahlian mengukir kayu.

"Terima kasih, akhirnya Yang Kuasa mempertemukan kita kembali," istrinya menangis terharu setelah bertemu Prabangkara.

Satrio dan Nendra  sebagai murid kesayangannya yang telah mahir mengukir kayu  akhirnya membantunya mengajari para pemuda desa itu.  Para pemuda desa rajin belajar sehingga cepat menguasai keahlian baru itu. 

Mereka mengukir perabotan rumah tangga dari kayu jati dan mahoni lalu menjualnya dengan harga tinggi. Kebetulan memang banyak hutan jati di wilayah Jepara. Pohon mahoni juga banyak tumbuh di sepanjang jalan.  

Sampai sekarang Jepara dikenal sebagai kota ukir yang banyak mengekspor mebel ke luar negeri. Sebagian penduduk percaya jika keahlian mengukir yang dimiliki orang Jepara adalah karena jatuhnya pahat Prabangkara di wilayah Jepara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun