Keesokan harinya seperti biasanya kedua muridnya  datang menjelang sore. Prabangkara menyambutnya dengan gembira sementara sang istri bermuka masam. Bahkan sengaja tidak menyediakan minuman dan camilan.Â
Padahal tetangganya baru saja mengantar jagung hasil panen dari kebun. Biasanya dia suka menjamu tamu dengan makanan yang dimilikinya. Sekarang karena merasa khawatir kekurangan uang, dia berubah menjadi pelit. Namun tidak demikian dengan suaminya.
Meski tidak mendapat bayaran , dia memperlakukan kedua muridnya dengan baik. Dia menyuruh istrinya menyediakan  teh untuk mereka. Lantas membujuknya agar mau merebus jagung untuk disuguhkan kepada mereka juga.  Sang istri menurutinya  meskipun sambil mengomel.
      "Lukisan Ki Prabangkara  kelihatannya sudah cukup banyak," kata Satria, salah satu muridnya. "Kenapa tidak membuat pameran lukisan?"
      "Pameran lukisan?" Prabangkara ganti bertanya.
      "Iya Ki," sahut Nendra, murid yang satu lagi. "Ki Prabangkara bisa menjual lukisan  di pameran itu.  Pasti  nanti  juga banyak yang mau dilukis atau pesan lukisan.'
      "Tapi pameran di mana?"
      "Di Istana ada ruang pameran," kata Satria lagi. " Paman saya yang mengurus ruang itu.  Kalau mau pameran di sana, saya bisa bantu . Saya akan bilang ke Paman supaya dicarikan waktunya. "
Istri Prabangkara  yang sedang  berjalan menghampiri mereka sambil membawakan sepiring jagung rebus ikut  mendengar  pembicaraan tentang pameran lukisan . Dia menimpali pembicaraan mereka, "Kesempatan bagus ini jangan sampai disia-siakan."
      "Baiklah ,  Satria. Bantu aku agar bisa pameran lukisan di ruang pameran istana."
      "Aku  pasti akan membantumu Ki," janjinya diucapkan dengan mantap.