"Jadi dia gak hubungi lo lagi ?"
Suara Ema sahabat karibku terdengar emosi dari telepon
Aku menangis sesegukan, entah kenapa rasanya sesak menusuk jantungku
Bagaimana aku tidak menangis, baru berjalan 3 bulan hubunganku dengan Feri dia menghilang bagaikan di telan bumi.
"Mit, Udah dong lo jangan nangis terus, gue jadi ikutan sedih kan "
Ema mencoba menenangkan hatiku
"Gue gak ngerti Ma, kenapa tiap kali gue membuka hati untuk seseorang selalu kandas seperti ini "
Isak tangisku semakin menjadi
"Sekarang lo mau bagaimana ?"
Hayuk kita ke kafenya feri sekarang juga !"
Suara Ema kembali terlihat emosi
"Enggalah Ma, gue gak mau terkesan gue mencari tau, lo taukan dia yang mengajak komitmen di awal kita bertemu"
Aku masih terisak tangis
"Iya tapi gak bisa seperti ini juga Mit, seenaknya saja dia datang dan pergi sesuka hati "
Ema masih saja terlihat kesal
"Sekarang juga gue ke rumah lo, lo mandi dan siap-siap kita jalan ke kafe Feri "
"Tapi Ma !"
Klik..terdengar suara telepon genggam Ema dimatikan
__________________
"Ma nanti gue harus bersikap bagaimana di hadapan Feri ?"
Aku melirik ke Ema yang sedang fokus nyetir mobil
"Lo bersikap biasa aja !"
Ema mengeluarkan kartu E-tol
Lagu jikustik mengalun dari salah satu radio hits, yang Ema setel di mobil
Saat kau tak ada, atau kau tak disini, terpenjara sepi, ku nikmati sendiri, tak terhitung waktu tuk melupakanmu, aku tak pernah bisa, aku tak pernah bisa
"Lagunya pas banget buat loe Mit!"
Ema tersenyum ke arahku.
"Tapi gue masih bingung Ma, gue harus ngomong apa nanti ke Feri?"
Aku melihat ke Ema dengan tatapan sendu.
"Udah kalau lo bingung biar nanti gue yang tanya ke Feri, kenapa dia menghindar dari lo dengan cara seperti ini !"
Ema mengklakson pengendara motor yang belok tidak menyalakan lampu sen.
"Gila tuh orang, udah nyalip, gak ngasih sen belok main nikung aja "
Gerutu Ema di dalam perjalanan
_____________________
Setiba di sebuah kafe yang tidak asing bagiku, tiba-tiba saja badanku seperti lemas jantungku berdegub lebih kencang.
Di kafe inilah pertama kalinya aku bertemu dengan Feri, kafe yang menyajikan aneka ragam kopi dengan penataan interior yang sangat membuat nyaman.
"Mitha hayuk turun ngapain lo ngelamun aja ? "
Suara Ema mengagetkan lamunanku, lalu membuka pintu mobil Emapun berjalan
"Mit ya ampun dia masih bengong aja, hayuk turun kenapa sih ?"
Raut wajah Ema sedikit jengkel melihat aku yang masih melamun di kursi jok depan mobil yang Ema bawa.
"Gue gak siap Ma, gue gak mau Feri berfikir seolah-olah gue mengejar dia, seolah-olah gue memaksakan perasaan dia "
Hampir saja air mataku berurai
Ema kembali masuk ke mobil dan menutup pintu.
"Mit, gak ada salahnya kita mencari kepastian, kita perempuan hanya butuh kepastian"
Ema mencoba meyakinkanku
"Hayuklah Mit, lo juga gak usah terlalu egois, gue tau bener kalau lo sayang sama Feri, lo bener jatuh cinta sama Feri, kalau engga mana mungkin lo bisa nangis seperti malam itu ketika gue telepon lo !"
Lagi-lagi Ema mencoba membujukku.
"Menurut gue ini waktu yang tepat karna kafe Feri kalau jam segini belum ramai, lihat saja parkirannya masih kosongkan !"
Ema terus berusaha membujuk ku.
_____________________
Feri adalah pemilik kafe di sini, awal aku bertemu dengannya ketika aku dan Ema sedang asik ngopi-ngopi, tiba-tiba saja Feri menghampiri kami dan bertanya bagaiman cita rasa kopi di kafenya.
Obrolan berlanjut, Feri pertama kali aku lihat adalah orang yang ramah, dan sangat rendah diri, tidak ada sedikitpun kesombongan dari setiap kata-katanya, meski bisa dikatakan untuk seusianya Feri sudah termasuk mapan.
"Mitha, aku boleh minta No WA kamu ?"
Feri meminta No WA ku ketika aku dan Ema pamit dari kafenya
"Boleh.."
Aku tersenyum dan memberikan No WA ku kepada Feri. Setelah itu kami melanjutkan obrolan di WA tertawa hingga tengah malam, Feri bercerita tentang awal mula dia memilih untuk mendirikan usaha kafe, rasanya selalu ada saja bahan obrolan dengannya, sungguh Feri sosok laki-laki yang sangat menyenangkan.
____________________
"Mbk aku pesan Vietnam drip ya !"
Ema berkata kepada pelayan yang bekerja di kafe Feri.
"Lo mau pesen apa Mit?"
Ema bertanya ke arahku
"Pesen apa ya ?"
Jawabku sambil membenarkan posisi duduk yang rasanya serba salah.
"Cappucino aja deh"
Aku tersenyum ke arah si mbak pelayan
"Panas atau dingin kak?"
Mbk pelayan berbalik tersenyum ke arahku
"Panas"
Jawabku dengan senyum pula
"Ma habis selesai ngopi langsung balik aja ya ?!"
Aku melirik ke Ema yang sedang membuka salah satu aplikasi media sosial di HPnya
"Kenapa sih?"
Ema menjawab tanpa melihatku
"Ngapain Ferinya juga gak adakan ?"
Aku berbisik ke arah Ema yang masih sibuk dengan gadgetnya
"Ini pesanannya ka"
Mbak pelayan kafe meletakkan pesanan kopi kami diatas meja.
"Mbak pak Feri ada di sini gak ya ?"
Ema bertanya kepada si Mbak pelayan
"Beliau kalau jam segini belum datang kak, mungkin sebentar lagi "
Si Mbak pelayan tersenyum
"Okeh makasih Mbak "
Ema menjawab
Aku segera minum cappucino hangatku, dan Ema masih sibuk dengan gadgetnya, sesekali aku lihat dia senyum-senyum sendiri, entah apa yang dia lihat.
"Ma lo ngapain sih dari tadi, sibuk banget sama Hp "
Aku sedikit jengkel
"He..He..Sorry Mit, ini temen-temen Group di WA lagi pada ngebully si Wendi temen gue"
Ema mengambil cangkir kopinya
"Wendi temen SMA lo yang dulu naksir lo itu ?"
Aku melihat ke Ema dengan perasaan heran.
"Iya, biasalah temen-temen gue jadi ngebully karnakan dulu dia sampe segitunya banget ngejar-ngejar gue tapi gue cuekin terus"
Ema tertawa lepas
"Hati-hati loh Ma, siapa tau Wendi emang jodoh lo!"
Aku ikutan tertawa karna berhasil ngeledek Ema
"Sialan Lo.."
Ema tersipu malu.
___________________
Aku semakin gelisah saja rasanya sudah hampir jam makan siang, tapi Feri belum juga datang ke kafenya
"Ma udah balik aja yuk, sepertinya Feri gak kesini !"
Aku membujuk Ema
"Kita tunggu sampai jam 12 siang aja Mit, sekalian makan siang disini !"
Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing menyapa kami
"Hi, rupanya kalian disini ? Sudah lama ?"
Seketika saja badanku terasa lemas, aku mencoba memaksakan senyum ku ke arah suara laki-laki yang berdiri tepat di depanku.
Feri terlihat sedikit kurus tapi wajah tampannya masih terlihat jelas, Feri mengenakan kaos berwarna Biru, celana pendek selutut, dan sepatu kets, dari dulu penampilan dia memang selalu terlihat santai.
"Lumayan kita pelanggan pertama disini "
Ema menjawab percakapan
"Sudah pesan kopikan?"
Aku merasa Feri melihat ke arahku, tetapi aku hanya bisa menunduk, tak ada kekuatan untuk menatapnya.
"Sudah kok, tinggal makanannya yang belum, sengaja nunggu kamu Fer, biar di kasih gratisan !"
Ema tertawa di iringi suara Feri.
"Malu-maluin aja nih sih Ema"
Bisikku dalam hati.
____________________
Feri duduk di sebelahku, meski posisinya agak menjauh tapi entah kenapa aku masih merasakan getaran di tubuhku, terbayang saat aku mengunjungi kafenya tanpa Ema, di tempat yang sama aku dan Feri tertawa lepas, sesekali Feri menyuapiku Pisang bakar madu salah satu menu favoritku di kafenya Feri.
" Fer, gue kesini cuma mau tanya kenapa lo menjauh dari Mitha ?"
Ema berbicara ke arah Feri tanpa basa-basi, seketika saja tubuhku semakin lemas, Feri yang sedang menikmati espresso terlihat sedikit tersedak.
"Ma, please gak usah dibahas"
Spontan aku memandang Ema dengan tatapan memelas.
"Gak apa-apa Mit, biar semuanya jelas !"
Nada Ema mulai terdengar jengkel.
"Kita ini perempuan Mit, dalam menjalin sebuah hubungan hanya perlu kepastian!"
Ema melirik ke Feri dengan wajah judesnya, begitulah Ema kalau sudah tidak suka sesuatu raut wajahnya saja sudah terlihat.
"Saya tidak bermaksud menjauhkan Mitha"
Kembali Feri melirik ke arahku, aku terus menunduk, seketika saja rasanya perutku mual, mata berkunang-kunang, aku melihat sekeliling kafe seperti berputar
"Sialan, ngapain juga sih gue harus mau di ajak Ema ke sini"
Gerutuku dalam hati, aku sangat merasa tidak nyaman dengan keadaan ku saat ini.
"Terus kalo lo gak bermaksud menjauh dari Mitha, kenapa lo gak ada kabar ?"
Suara Ema semakin terdengar emosi
"Saya akui, saya salah tidak memberi kabar kepada Mitha, karna saya sendiri juga bingung bagaimana saya harus menyampaikan kepada Mitha ?"
Feri kembali meminum espressonya.
"Mit Maafkan aku, beri aku waktu sebentar saja, ada hal yang akan aku sampaikan tapi tidak sekarang "
Feri menatapku, aku terus dan terus menunduk.
"Kenapa? Apa karna ada gue disini ?"
Ema menyela
"Ma, please bisa gak sih lo gak usah emosi begini "
Aku mulai jengkel dengan sifat Ema.
"Gak apa-apa Mit, Ema hanya terlalu sayang padamu, dia tidak ingin kamu tersakiti !"
Feri mencoba mencairkan suasana
"Gue beli rokok dulu Mit !"
Ema beranjak dari kursinya, meninggalkan aku dengan Feri berdua, kafepun mulai ramai menjelang makan siang. Feri menggeser posisi duduknya di tempat Ema duduk, kini aku dengan Feri saling berhadapan, detak jantungku semakin cepat, keringat membasahi tanganku, entah Feri menyadari atau tidak kalau aku semakin merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
"Mit, sekali lagi aku minta maaf, aku mungkin salah telah hadir dalam hidupmu, entah kenapa pertama kali aku melihatmu, aku sungguh-sungguh jatuh hati kepadamu, mungkin saat itu aku terlalu terburu-buru untuk jatuh cinta kepadamu, tapi nyatanya itulah yang aku rasakan. "
Feri menggenggam tanganku, aku terus menunduk tak terasa ada bulir air mata jatuh ke pipiku.
"Jika kamu mengatakan sungguh jatuh cinta kepadaku, mengapa kamu perlakukan aku seperti ini ?"
Aku memberanikan diri pada akhirnya, suara ku seperti tercekik menahan semua perih atas kata-kata Feri.
"Maafkan aku sekali lagi Mit, sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu, hanya saja keadaan tidak memungkinkan, aku hanya butuh waktu untuk mengambil keputusan"
Feri menunduk.
"Kita sudah sama-sama dewasa Fer, tak perlu waktu untuk mengambil sebuah keputusan, jika memang kau ingin mengakhiri, akhirilah aku siap meski aku tidak mengetahui alasannya mengapa kamu seperti ini "
Suaraku semakin parau, lagi dan lagi aku terasa semakin tercekik
"Beri aku waktu Mit, aku mohon, aku pasti akan menjelaskan semuanya"
Feri menatapku, aku menunduk ku hapus air mataku sendiri.
"Tidak perlu waktu lagi Fer, jangan paksakan perasaanmu jika kau sendiri tidak mampu untuk mengatasi"
Aku mencoba tersenyum, kini Feri yang menunduk lesu.
"Terima kasih Fer, pernah mengisi hatiku, pernah mendengarkan semua keluh kesahku, sekarang kita bisa berteman, aku pamit Fer, aku rasa Ema sudah menungguku di mobil "
Aku beranjak dari kursi di ikuti Feri yang juga berdiri, aku menghampiri meja kasir namun Feri mencegahku.
"Tidak usah bayar Mit, anggap saja aku mentraktirmu"
Feri tersenyum lalu mengantar aku ke parkiran, benar saja Ema sudah berada di dalam mobil menungguku.
"Mit, sekali lagi maafkan aku"
Feri memelukku untuk terakhir kalinya, pelukan yang sama yang pernah aku rasakan pada malam terakhir Feri ke rumahku dan ternyata malam itu malam terakhir Feri menemuiku.
Akupun memeluk erat Feri, dan aku tersadar bahwa cinta tak selamanya harus memiliki.
"Maafin aku juga Fer, kalau selama ini aku ada salah "
Aku memeluk erat tubuh Feri, dan berjanji untuk tidak lagi mengenangnya.
Ku seka air mataku, dan berjalan ke mobil Ema.
Feri masih berdiri di halaman parkir, hingga mobil Ema melaju keluar dari halaman parkir.
"Its okay Mit, menangislah sepuasnya "
Ema mengetahui apa yang sudah terjadi padaku.
Pamulang 17.09.2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H