Cindy memeluk saya lagi erat-erat, “Dari dulu kamu selalu begitu. Kamu nggak pernah mau nyalahin orang lain padahal orang itu jahat sama kamu.”
“Ernest nggak jahat!” kata saya separuh berteriak dan mulai menangis lagi.
“Iya..iya...! Ernest nggak jahat. Kamu jangan marah.” katanya sambil memeluk saya lagi lebih erat.
“Saya bingung harus ke mana. Saya nggak mungkin tinggal sama Ernest tapi saya juga nggak mungkin kembali ke Indonesia.”
“Emang kenapa kalau kamu pulang?”
“Aku nggak mau Mama tau. Aku nggak mau nyakitin hatinya.”
“Tapi suatu hari dia pasti akan tau juga kan?” debat Cindy lagi.
“Iya betul tapi setidaknya jangan sampai dia tau. Minimal sampai anak ini lahir.”
Kemudian kami terdiam lagi, terhanyut pada pikiran masing-masing. Suasana hening karena tidak ada satupun tamu lain kecuali kami berdua. Yang terdengar hanya suara bartender yang sedang asyik mencuci gelas dan suara air menyembur dari kran menghajar dasar sink yang terbuat dari alumunium.
“Okeh kalau kamu maunya begitu. Kamu tinggal aja sama aku dulu.” akhirnya Cindy memecah keheningan itu.
“Aku nggak bisa. Aku nggak mau ngerepotin kamu,” jawab saya tegas.