“Persis! Dia langsung nemuin Papi dan Mami, langsung melamar saat itu juga.”
“Oh ya? Wah hebat banget!” Secara otomatis pikiran saya langsung membandingkan sikap Mark dan Ernest. Aduh Ampuni aku Tuhan. Tidak seharusnya saya membanding-bandingkan diri sendiri dengan nasib orang lain. Saya menarik napas panjang berusaha menenangkan hati.
“Aku tadinya mau nolak. Ngapain aku nikah di usia muda? Tapi Papi dan Mami terus merayu aku suruh terima lamaran Mark.”
“Logis banget sih pikiran Papi dan Mami kamu.”
“Kata mereka, jarang-jarang ada lelaki sejantan dan penuh tanggung jawab seperti itu.”
“Betul! Jarang cowo mau menempuh puluhan ribu mil untuk bertanggungjawab mengawini kamu.” ucap saya sambil mengenang Ernest lagi dengan suara ngenes.
“Papi bilang gitu juga. Mami langsung nambahin lagi ‘kamu seiman lho sama Mark’.”
“Orangtuanya Mark dateng ke pernikahan kamu?” tanya saya pengen tau.
“Ya iyalah. Akhirnya aku menikah dan diboyong Mark tinggal di sini.”
“Terus anak kamu udah umur berapa?” tanya saya polos.
Mendengar pertanyaan saya, tiba-tiba Cindy terdiam dengan muka mendung. Cukup lama dia berdiam diri. Perasaan saya langsung tidak enak. Waduh! Mungkin saya telah lancang melemparkan pertanyaan itu.