“Yo! Kamu kenapa?” Cindy kaget bukan main meihat reaksi saya. Dia langsung memeluk saya lagi.
“HUHUHUHU....!!” Sayangnya semakin dipeluk, tangis saya malah semakin keras. Kehangatan pelukan itu seperti tempat pelampiasan yang tepat. Maka makin menangislah saya menggerung-gerung. Air mata saya membasahi baju Cindy sampai basah kuyup.
“Sudah, sudah, Yo! Kamu tenangin diri dong. Yuk kita minum kopi dulu.”
Cindy mengajak saya ngopi di kafe seberang jalan. Untungnya tempatnya sepi dan nyaman. Kami duduk berdampingan dipojok dan saya masih sibuk dengan tangisan saya.
“Good morning ladies. Are you ready to order something?” Tiba-tiba bartender yang sekaligus bertindak sebagai waiter menyapa kami.
Bartender ini bertubuh tinggi besar. Kulitnya separuh albino. Celananya berwarna hitam. Perutnya gendut mengenakan baju putih dan dilapis lagi dengan rompi yang juga hitam dilengkapi dengan dasi kupu-kupu berwarna merah maroon berbintik-bintik putih. Meskipun wajahnya terlihat garang namun kegarangannya langsung menguap saat dia tersenyum manis.
“Give us a minute.” sahut Cindy sambil terus memeluk dan menepuk-nepuk pundak saya.
“Okay ladies. Take your time. I’ll be in the bar. Just call me when you’re ready.” Habis berkata begitu dia kembali ke kandangnya di bar.
Beberapa saat kemudian, kami pun ngopi sambil menikmati sandwich yang dipesan oleh Cindy. Setelah perasaan saya agak tenang, saya pun menceritakan apa yang terjadi antara saya dan Ernest pada sahabat saya ini.
“Bangsat tuh cowo! Dasar cowo pengecut!!” Cindy langsung murka mendengar cerita saya. Dan itu reaksi yang selalu terjadi setiap mengadu padanya saat saya diganggu oleh teman-teman sekolah waktu SMP.
“Kamu nggak boleh memaki Ernest begitu. Put yourself in his shoes. Dia anak satu-satunya. Dia harapan keluarga. Nggak mungkin dia ngawinin aku dan mengecewakan keluarganya.” jawab saya mencoba membela Ernest.