“Aku keguguran Yo. Kata dokter aku terlalu capek dengan semua pernikahan lalu dilanjutkan dengan penerbangan panjang dari Jakarta ke New York.” jawabnya dengan suara pelan.
“Aduh, maaf ya Cin. Aku nggak bermaksud meyakiti hati kamu.” kata saya sambil memeluk dia kembali.
“It’s okay Sayangku. Aku tegar kok. Aku udah membuat pilihan dengan hidup di sini. Keguguran itu mungkin salah satu konsekuensi dari pilihan yang aku ambil.” katanya sambil memeluk balik dengan erat.
Sejenak kami terdiam lagi. Hidup memang adalah pilihan. Minimal sekali dalam hidup, kita harus berani mengambil keputusan yang penting. Mungkin keputusan yang kita ambil keliru tapi minimal kita lebih ikhlas menghadapinya karena pilihan itu kita sendiri yang memutuskan. Bukan orang lain.
“Kamu bahagia nggak dengan pilihan itu?” tanya saya penasaran.
“Bahagia itu bukan apa yang terjadi pada kita, Yo. Bahagia itu adalah bagaimana kita menyikapi apa yang terjadi pada kita.”
Mendengar ucapan Cindy saya terpaku. Kelihatannya saja anak ini urakan, padahal dari omongannya barusan, terasa sekali kalau pengetahuannya tentang hakikat hidup telah begitu dalam. Tanpa disadari kalimatnya barusan membuat kesedihan saya mencuat ke permukaan.
“Aku selalu inget omongan kamu, bagaimana Tuhan kamu yang namanya Sidharta Gautama meninggalkan istana, hidup miskin, menggelandang ke mana-mana tapi toh hidupnya bahagia.”
Saya semakin terdiam dengan hati yang sangat galau.
“Dan Budha pernah berkata ‘Tidak mengharap maka tidak kecewa. Tidak memiliki maka tidak kehilangan’ Aku nggak akan pernah lupa cerita kamu soal itu. Begitu terpesonanya sama cerita itu, sampai sempet terpikir olehku untuk pindah ke agama Budha.”
“Huhuhuhuhuhu...,” Tangis saya tiba-tiba meledak. emosi saya langsung menguak keluar tubuh. Saya nangis kenceng sekali dengan airmata berderai tanpa henti seperti mata air yang menjebol batu karang tak terbendung sampai airnya menyembur ke permukaan bumi.