“Mamaaaa...!!” Saya terkejut bukan main. Karena yang datang ternyata adalah Mama saya bersama Yo Thian Sim, kakak lelaki saya.
“Yoyo!” Mamah langsung memeluk saya dengan erat.
“Mamah...Mamah...maafin Yoyo...!!” kata saya langsung menangis tertahan. Sedih hati saya telah menyakiti perasaan ibu kandung saya ini.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Yoyoku. Justru Mama yang merasa bersalah karena terlambat mengetahui masalah ini.” sahut ibuku dengan wajah bijaksana.
“Jadi...jadi Mama nggak marah? ” tanya saya terbata-bata sambil memeluk Mama lebih erat.
“Mama nggak marah, Yo. Kamu sehat-sehat aja kan?” tanya Mama. Kali ini saya bisa melihat air mata mengembeng di kedua matanya.
“Saya baik-baik aja, Ma. Saya sengaja nggak kasih kabar karena takut Mama marah.”
Ibuku memeluk lebih erat lagi. Dengan sedikit terisak dia bergumam, “Ya Sang Budha, kasihanilah anakku. Dan maafkanlah saya karena lengah dan membiarkan dia menanggung penderitaan ini sendirian. Saya ibunya dan seharusnya saya selalu ada dan mendukungnya ketika cobaan datang.””
“MAMAAAAAAAAAA.....!!!!!!!!” Mendengar doa Mama, meledaklah tangis saya tanpa bisa ditahan lagi. Saya peluk Mama seerat mungkin sambil menangis meraung-raung.
Cukup lama, kami saling memeluk dan saling bertangis-tangisan. Sampai akhirnya Mama mendorong tubuh saya dan berkata, “Itu ada kakakmu. Sapa dia dulu.”
“Hai A koh.” sapa saya ke pemuda itu sambil tersenyum dan mengusap air mata. Saya selalu memanggil dia A Koh yang artinya kakak.