Setelah 4 jam mengejan, akhirnya Cindy, anakku terlahir. Yang membuat semakin takjub adalah tangisan Cindy membuat rasa sakit sirna seketika dan menguap entah ke mana. Yang ada lagi-lagi hanya kebahagiaan semata. Thank God.
Hari-hari berikutnya lagi-lagi hanya diisi dengan kebahagiaan. Cindy yang belum mengetahui konsep siang dan malam, seringkali terbangun. Hampir setiap jam dia menangis, kadang karena popoknya basah, haus atau kepanasan. Tentu saja saya harus begadang dan mengurus anak tercintaku ini. Tapi apakah saya menderita? Tidak! Apakah saya melakukan pengorbanan? Juga tidak! Saya enjoy sekali menggendong anak saya tiap malam, menyusuinya, mengganti popoknya, pokoknya apa saja. Menepuk-nepuk punggungnya sampai dia bersendawa adalah pengalaman yang luarbiasa menyenangkan.
Jadi buat siapa pun di dunia ini, berhentilah menasihati orang untuk berbakti pada seorang ibu, dengan beralasan ibu telah menderita dan berkorban. Nasihat seperti itu hanya akan membuat ibumu terkesan pamrih. Percayalah, seorang ibu tidak pernah melakukan pengorbanan. Seorang ibu selalu senang dan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. Dan apa yang dilakukan dengan senang dan rela, itu pasti bukanlah pengorbanan. Seorang ibu selalu berusaha membahagiakan anaknya. Karena kebahagiaan ibu adalah melihat anaknya berbahagia. Jadi bisa disimpulkan; adalah kekeliruan fatal bila kita membebankan dan menggunakan rasa sakit itu untuk menuntut balas jasa terhadap anak kita kelak.
“Oeee...oeeee...” Tiba-tiba tangisan Si Bayi kembali memanggil. Saat itu, saya sudah kembali ke rumah Cindy.
“Kenapa nangis, Nak? Cindy anakku, anak Mama yang cantik!” kata saya sambil menggendong my baby.
Yak betul. Sebagai penghormatan pada sahabat saya yang begitu besar jasaya, saya beri anak saya namanya Cindy juga. Nama itu akan menjadi monumen hidup dari rasa syukur pada Cindy, sahabat yang telah rela menampung di saat saya sedang menghadapi cobaan.
Hari itu adalah minggu kedua Cindy kecil menjalani hidupnya di dunia. Dia jatuh tertidur kemudian saya letakkan di box yang posisinya tepat di samping tidur saya. Saya selalu betah memandangi wajahnya yang sedang lelap. Parasnya damai dan sekilas saya melihat senyuman tersungging di bibirnya yang mungil menggemaskan.
Sekonyong-konyong Cindy masuk dan langsung menyapa dengan suara excited. “Yoyo, kamu kedatangan tamu istimewa. Ayo coba tebak siapa?”
“Siapa?” Saya balik bertanya dengan dada berdebar-debar sambil berdoa semoga tamu istimewa yang dimaksud bukanlah Ernest.
Belum sempat Cindy menjawab, seorang perempuan paruh baya dan seorang anak muda nyelonong masuk dan langsung menghambur ke ranjang saya. Yang perempuan berteriak,
“Yoyo sayang.”