Mohon tunggu...
Yono Timore
Yono Timore Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang Pecinta Cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaca Retak

24 April 2014   11:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu, di tengah hiruk pikuk customer yang tak satupun ku kenal, aku berkonsultasi perihal komputer, dengan salah satu kawan yang bekerja di situ, Kiko namanya.


Beberapa menit berlalu, sekonyong-konyong dari arah belakang Kiko, muncul seorang perempuan, perawakan agak cungkring, berkaos ungu pekat, celana jeans, tak lupa tangannya menentang tas berisi laptop. Kehadiran perempuan ini membius tanpa permisi. Ketika itu, gayanya tak bisa di bilang bersahabat, sedikit angkuh tapi tampak sangat percaya diri.


Dia menyapa Kiko, "hai mas".


Taukah kamu Kawan, tanpa bisa kujelaskan, tiba-tiba aku menggigil, entah kenapa. Kutenangkan diriku.


Dia berbicara berdua dengan si Kiko di situ, tanpa menatapku, apalagi mengajakku bicara. "Menyedihkan sekali manusia yang namanya Ata ini", mengumpat diri sendiri.


Aku mengintipnya pelan, berharap semoga dia tak melihatku. Ssstt, iya, aku memicingkan mata, yang tampaklah aku seperti anak peranakan gagal, salah cetak.


Apa ini Syndrom Cinta? Datang tiba-tiba tanpa permisi, sekujur badanmu kelu tanpa alasan dan otakmu meracau tanpa bisa kau kendalikan.


Jika itu terjadi padamu, mungkin kamu sedang jatuh cinta Kawan, bersyukurlah.


Kembali ke momen tadi. Waktu merayap sangat pelan, kunikmati pandangan itu, tanpa tahu ini pandangan halal atau haram. Mengamati orang yang tidak kamu kenal, apakah halal Kawan? Ataukah itu haram? Entahlah, kutak lagi peduli, yang jelas aku menikmatinya.


Aahh, kesal sekali aku dengan Kiko ini, tak secuil-pun berinisiatif untuk mengenalkanku, dia sangat egois menikmati tatapan indah itu sendiri.


"Ata, kadang keindahan itu memang sangat pribadi, tak semua perlu di bagi, bukan lagi keindahan jika keindahan itu tak lagi personal", suara hati bersahutan, kudengarkan saja sambil memanggut-manggut pura-pura mengerti. Pura-pura mengerti.


Tapi ya sudahlah, aku menikmatinya walau hanya dengan memandang. Memandang orang yang membuatmu kelu tanpa alasan itu adalah berkah, mungkin berkahku hari itu cukup di situ.


Perempuan ini kemudian pergi, tiba-tiba kekeluan itu berlanjut menjadi kecewa.


“Aaahh, sial”, mengumpat tanpa tau siapa yang harus di umpat. Ku bertanya pada si Kiko, "siapa tuh?". Kiko menjawab ketus, "kenape lue, naksir ya? kakakaka, namanya Tantri".


Aku berusaha datar, tapi hatiku tersenyum, ceria. Namanya Tantri. Baiklah Tantri, kupatri erat-erat namamu di hatiku, uppss maaf, kupatri di otakku.


Apa yang terjadi padaku hari itu? Apakah beku-ku mencair hanya dengan melihat perempuan yang bahkan namanya-pun baru kukenal.


Meminjam istilah ilmu Matematika, mungkin ini yang disebut “Keberuntungan Pemula Tapi Apes Pangkat Sepuluh, pening Kawan”.


Waktu merayap, hati kembali ke asal, beku. Andai kamu tahu, percayalah Kawan dinginnya kutub antartika tak sedingin kebekuan hati ini, beku yang berlapis 7 pekat.


Hari berlalu, tiba-tiba semesta memberi kejutan. Semesta memberi jawaban atas 'kemisteriusan' atas Tantri, pertemuan tak terduga dengan Tantri kembali terjadi. Kali ini lebih intens dan itu membuatku girang alang kepalang. Intensitas pertemuan yang terjadi karena tak sengaja kami punya hoby sama, tergabung dalam 1 komunitas serupa.


Ahaii, seperti anak muda umumnya, berbunga-bungalah hati ini, berbunga tanpa mengenal musim, tidak seperti bunga Sakura yang walaupun indah dia tidak berbunga sepanjang tahun. Kawan, bayangkan, hatiku mendadak berbunga-bunga sepanjang hari, ajaib kan?


Pertemuan intens, kemudian punya kesempatan untuk mengamati dengan dekat, curi-curi pandang, tiba-tiba aku tersenyum sendiri yang tak tahu kenapa aku tersenyum. Jangan kamu bayangkan aku tersenyum di mulut ya, yang tersenyum itu hatiku Kawan, indah kan?


Pertemuan, kemudian aku bertanya pada diriku sendiri, "haii, ada apa denganmu Ata?". Merenung.


Ku jawab sendiri, "entahlah". Jawaban yang absurd.


Meminjam istilah Andrea Hirata, "mungkin aku sedang terkena penyakit gila nomer 38, yaitu jatuh cinta, benarkah?". Bengong.


"Mungkin iya, absurditas rasa ini adalah Cinta. Mungkin aku memang mencintai Tantri"


Waktu merayap bertahun-tahun tanpa ada keberanian untuk beranjak pada kepastian. Waktu yang semakin berumur, aku masih terperangkap untuk menguji rasa cinta itu, mempertanyakan pada diri sendiri dan masih selalu bertanya, "benarkah aku mencintai Tantri?".


Aku menikmati pertemuan yang mulai menua, tidak ingin meretakkan keceriaan dan tawa.


Pada hari itu, akhirnya Tantri bergandengan tangan dengan seorang pria, dan iya, yang terlintas di pikiranmu sekarang benar Kawan, dia memilih seorang laki-laki sebagai teman bersandar, bukan aku.


Sweet for her, I feel Lost. Kecerianku-pun mengendor kedodoran, tak lagi sesak.


Tapi begitulah sebuah kisah, tidak selalu berakhir happy ending kan?


Begini saja kisahnya? Belum kawan, kisah ini belum berakhir.


Tantri menggandeng tangan seorang laki-laki, akhirnya aku-pun menggandeng tangan seorang perempuan lain, tentu bukan Tantri.


Mungkin waktu itu Tuhan berkata, "haii Ata, kamu terlalu mencurahkan rasa perhatian pada satu orang, tapi tau-kah kamu kalau aku telah menyiapkan 2 wanita buat kamu".


"Benarkah itu Tuhan?", aku-pun terhenyak, dan terjadi, di lenganku yang gagah ini (memuji diri sendiri itu perlu Kawan) seorang perempuan bersandar.


Walau Tuhan berkata menyiapkan 2 perempuan buatku, aku memilih satu. Dalam hal ini aku menentang poligami dalam hal rasa. Tak ada Cinta yang bisa di poligami, poligami itu urusan tubuh, bukan rasa. Jika rasa adalah keagunganmu dalam sebuah percintaan, kamu tak akan pernah setuju dengan konsep poligami cinta.


Pun kita tidak mem-poligami cinta pada Tuhan-kan?


Dan itu aku, kamu bagaimana Kawan? Semoga kamu setia dengan satu saja ya.


Hidup berjalan dengan sebagaimana mustinya, aku-pun begitu. Tantri-pun terlihat bahagia dengan pasangannya.


Tapi, taukah kamu sebenarnya apa yang terjadi.


Pertemuan masih sering terjadi, keakraban semakin memuncak, tapi entah kenapa setiap kali bertemu Tantri aku terhantam. Perasaan membuncah kadang juga sendu menggelayut tiba-tiba tanpa bisa kumengerti. Hal sama yang terjadi berulang dan jawabanku masih "entahlah".


"Apa karena ada urusan hati yang belum selesai dengan Tantri?", pertanyaan monolog, saat itu. Jawabannya masih sama, 'entahlah'.


Perasaan ini tak bisa di jelaskan, tak bisa di petakan, bahkan Google Maps buta tentang hal ini.


Aku masih menjalin hubungan dengan seorang perempuan, begitu juga Tantri dengan pasangannya, sebagai penentang poligami rasa, juga karena aku tahu Tantri happy dengan pasangannya maka urusan hati yang masih menjadi pertanyaan atas Tantri kutanggalkan, kuletakkan di bilik hati, kusematkan selimut beludru terbaik untuk tetap membuatnya hangat. Tetap hangat.


Hingga waktu meranjau Cinta. Meranjau, Kawan.


Setahun lalu, lenganku tak lagi menjadi tempat bersandar dan ternyata kurang lebih 1 bulan lalu, perempuan cungkring yang bernama Tantri ini juga mengakhiri kisah indah bersama pasangannya.


"Manusia diciptakan berpasang-pasangan". Sekarang aku dan Tantri sedang dalam kondisi single. Berarti? Ku-tersenyum sendiri. Seperti orang gila. Kata orang bijak, di balik kesedihan tersimpan kebahagiaan yang misterius, se-misterius keberadaan UFO.


Beberapa hari kemudian, kami terhubung dalam cerita-cerita personal, aku menjadi pendengar yang baik, dan sebagai teman baik aku sedikit tertampar dengan ceritanya yang ternyata tak seindah yang di bayangkan banyak orang. Cerita itu membuat lidah kelu juga marah luar biasa.


"Tantri, aku tidak rela kamu di sakiti, tidak sedikitpun", berbisik pada diri sendiri. Hatiku sendu mendengar cerita Tantri.


Aku berbisik lembut pada dia, "seberat apapun masalah yang sudah kamu lalui, aku bersyukur kamu melalui ini. Ini mendewasakanmu, pengalaman itu tak selalu indah, akhirnya kamu tahu dan semoga kamu bisa menarik hikmahnya".


"Terima kasih Kak", begitu ucapnya. Aku lega, dia sakit, tapi dia bisa melaluinya. Aku Bangga.


Bagian diriku yang lain menghardik kecut, "kenapa kamu bangga? apa urusannya dengan kamu?"


Kujawab, "entahlah".


Jawaban entahlah lagi-lagi mengembang.


Kulalui hari seperti biasa, bekerja, berolahraga, membaca dan bercanda dengan teman, termasuk Tantri tentunya.


Malam itu, baru saja kuselesaikan membaca satu buku, di beberapa helai terakhir buku itu. Oh Tuhan, buku ini menamparku, tiba-tiba aku benar-benar tak bisa tidur semalaman. Sebuah novel dari Donny Dhirgantoro membuatku sakit dengan sebuah pertanyaan tentang kejujuran. Ternyata selama beberapa tahun ini aku tidak jujur Kawan.


Terlalu lama memendam rasa, terlalu lama menguji rasa, ada ketakutan membuat kaca itu retak.


Tapi apa yang kemudian harus kulakukan? Friend Zone, persaudaraan, sudah terlalu membatu. Bingung. Di tengah kebingungan dan kegelisahan, larik-larik ini lahir tak terencana.


"Sendu menggerus malam dan senyumnya pun hanyut merajut hampa.


Jari tak lagi kuasa menjentik sadar karena pentahbisan senyap menjadi saksi, dia berbisik, "senyaplah karena aku ingin tidur".


Aaah, sesenyap itu tahbismu?


Malam masih menggantang dengan berani, tak mungkin sesunyi ini.


Baiklah, jika saat ini hanya sunyi yang menjadi sahabatmu, kuhentak raga untuk diam tapi ijinkan jiwaku untuk liar mengintipmu, untuk menjadi sahabat jiwamu, menjadi setiamu”


"Dimana keberanianmu?", aku menghardik diri sendiri


"Dimana kejujuranmu?", aku menghardik diri sendiri


"Aku takut kaca itu retak, itu saja", aku membela diri.


"Kawan, bukan tentang kaca retak, andai pun retak kamu bisa merekatkannya lagi walaupun tidak akan sama, ini tentang kejujuran Kawan", sebuah monolog jiwa yang seringkali datang tanpa ku-undang.


Akhirnya, malam itu, aku mengundangnya makan malam. Dengan satu tujuan, aku akan jujur. Dia hanya tau bahwa aku, si kakak yang setia hadir dalam hidupnya mengundangnya untuk makan malam seperti biasanya.


Waktu tunggu merangkak seperti tukik penyu tertatih-tatih menuju laut lepas. Lambat.


Dan, makan malam, perbicangan biasa, keluh kesahnya dengan mantan pasangannya. Aku dan dia tertawa, lepas. Detik ke tiga ribu atau menit ke lima puluh, aku tiba-tiba mengubah raut muka dengan sedikit serius. Serius tapi kububuhkan sedikit senyum juga di situ.


"Aku sayang sama kamu, bahkan sejak kulihat kali pertama di toko itu, keangkuhanmu, ke-misterius-anmu memikatku dengan membabi buta sejak saat itu, detik itu"


Dia tertawa kecut, seakan tak percaya, "apaan sih Kak, eh masa sih, beneran?", Tantri tersedak tak percaya.


Di ujung perbincangan dia bertanya serius,"perlu kujawab sekarang Kak?"


"Nggak, jangan, aku tidak butuh jawabanmu sekarang. Yang kukatakan ini bentuk kejujuranku, aku ingin melepas ini. Mencintai dan Memiliki itu 2 hal berbeda, aku mencintaimu, tapi aku tahu memiliki itu adalah hak perempuan untuk menegaskan. Selama kamu happy, aku akan happy, denganku atau dengan siapapun itu, aku akan ikhlas".


Tapi taukah kamu sebenarnya? Setiap orang tentunya punya harapan, di sisi lain ada rasionalitas fakta.


Malam itu, antara ilusi dan realitas bersanding, aku tak mau mengakui keduanya, terlalu sakit jika kumengetahuinya malam itu.


Aku menguji rasa ini, menunggumu 7 tahun, aku tak akan keberatan menunggu 1 bulan sekalipun jawabanmu.


Setelah perbincangan intim yang mungkin juga getir karena mengagetkannya, aku menulis ini buat dia, aku menyusup ke inboxnya, aku meninggalkan pesan, "Tantri, ini buat kamu".


Bukan tentang pengakuan, tapi tentang kejujuran


Bukan tentang aku, ini tentang sebuah perjalanan


Bukan akhir, tapi ini sebuah drama baru tentang hidup, tokh hidup memang sebuah drama tanpa berkesudahan, kecuali pelepasan abadi menemui takdirnya.


Tenanglah, bersabarlah, berbisiklah dengan bayangan sucimu, bertanyalah drama apa yang seharusnya dilalui .... Dan jujurlah karena sejatinya jujurmu lebih indah dari hari yang sudah kulalui.


Tersenyumlah, apapun itu ..... Ada ikhlas di situ, percayalah walau kutau itu tak mudah.


Aahh, sudahlah, bukan gelisahmu tujuanku, hanya senyummu, istirahatlah bersama pekatnya malam. Someday, give me a chance to dance with you, i wanna dance under the moon even night so quiet.


Kawan, tak ada komentar atas larik itu, dia hanya tersenyum. Senyuman itu sudah cukup buat aku. Senyuman yang selalu kurindukan selama 7 tahun ini, tanpa dia sadari.


Hari tak pernah lupa untuk berganti. Minggu Pagi yang cerah, ketika wajahku mulai di basuh dengan kehangatan mentari, aku membuka mata dan lamat-lamat kudengar suara "ting". Ada message di inbox email. Kuraih tablet yang tampak kelelahan karena 24 jam dia tak pernah berhenti bekerja menjadi petugas penerima surat elektronik-ku. Kuliat sender email, Tantri, ku kerjap-kan mata, duduk tegak dan tiba-tiba kesadaranku pulih 1000 %. Kubaca perlahan, di akhir emailnya dia menjawab lembut,


"Untuk menjalin sebuah hubungan, maaf aku nggak bisa lebih dari teman saja Kak. Harapan aku ini tidak akan merubah apapun dari kita. Tetap seperti biasanya ya Kak".


Sedetik kemudian setelah kubaca email itu terjadi gempa, disusul tsunami, tiba-tiba, bahkan aku-pun tak sempat beranjak berdiri, terjatuh. Aku berkata, "Ahh, biarkan gempa itu menghantamku". Kemudian, kulihat pintu kamar kok tetap tegak berdiri, tumpukan buku tak jua berceceran.


Kusentuh dahiku, oohh, maaf ternyata gempa, tsunami itu ada dalam kepalaku. Pening.


Dua puluh detik kemudian menulis email dengan keyakinan 50 %, sendu, tapi aku tau ini tak boleh menyakiti dia, cukup aku saja yang merasakannya.


"Keindahan itu sejatinya adalah sebuah kebebasan, nikmatilah .....


Menikmati keindahan itu tidak dengan membelenggunya atas nama apapun, ikhlaskanlah ....


Kamu hanya perlu menjadi bayanganya .... Aku hanya akan menjadi bayanganmu"


“Tantri, aku mengucap terima kasih atas kejujuranmu, aku memancangkan ikhlas walau kutau itu perlu waktu. Sampai ada dermaga yang siap menerimaku berlabuh”.


Kaca itu retak, benar-benar retak. Kemudian waktu menjadi kejam dengan membuatnya lebih lambat buatku. Aku terajam oleh waktu.


Retak, dan sampai saat ini aku tak lagi bisa melihatnya tersenyum.


Oohh Kawan, aku merindukan senyumannya lagi, lebih pekat dari kerinduan selama 7 tahun ini. Taukah kerinduan seperti apa yang kurasakan? Kerinduan yang menyakitkan sekaligus membahagiakan.


Paradoks? Iya, entahlah, mungkin itulah Cinta, Cinta itu kadangkala rumit Kawan.


"Ata, kamu tak ikhlas?", hatiku protes.


Bukan, bukan, bukan ku-tak ikhlas. Aku hanya merindukannya. Dosakah itu?


“Merindu itu tak pernah bersahabat dengan Melukai”


Ini bukan karena aku tak ikhlas, aku hanya ingin melihat senyumnya lagi, demi masa lalu, demi persahabatan masa lalu. Ahh, ya, mungkin hatiku masih tertambat di situ, harap maklum aku belum menemukan dermaga yang tepat. Maafkan.


Berusaha berdamai dengan waktu, tapi aku tak kuasa mencegah jemari menari, menjentik dengan ajaib kalimat-kalimat penuh kerinduan di sosial media yang pasti dia baca juga.


"Ata, apa yang kamu lakukan? bukankah kamu telah memproklamirkan diri akan ikhlas? Kenapa jemarimu membabi buta dengan kata kerinduan?", aku bertanya sendiri.


Monolog jiwa berulang, "aku mengerti Kawan, larik-larik kerinduan penuh sayap itu untuk penyembuhanku. Jika larik bersayap itu, yang juga dia baca, menyakitinya, tentu dengan senang hati akan kuhentikan. Masalahnya aku tak tahu apakah dia gelisah dengan larik-larik kerinduanku? Jika iya, akan kuhentikan dan kucari penyembuhanku dengan cara lain. Tapi aku benar-benar tak tahu Kawan, bahkan suara riangnya tak lagi bisa kudengar secuilpun".


Aku rindu senyuman dan suara itu, tak terasa tiba-tiba hatiku menjadi sendu dan mataku pun sembap tak lagi bisa kukendalikan.


"Tantri, maafkan jika ini membuatmu gelisah"


Ya, kaca itu retak, tercerai berai tanpa ampun.


Di ujung kerinduan, aku merangkai ini untukmu Tantri, namamu yang tak pernah kusebut dengan eksplisit dalam kerinduanku di sosial media. Ini untukmu, lagi, sebuah monolog jiwa, hanya untukmu kawan tercintaku.


Kaca itu tak sengaja kujatuhkan, dia tak lagi utuh, dia retak


Tak bisa kuputar waktu, aku bukan penguasa waktu ... Andai kuasa itu atasku, akan kulempar ketaksengajaan itu dan membiarkanmu tetap utuh, indah


Tapi percayalah, akan kurangkai lagi retakan itu. Bantu aku untuk merekatkannya kembali.


"Kau membuat kaca itu retak, penghinaan macam apa lagi yg hendak kauhujamkan?", serunya meninggi.


"Maafkan, itu ketidak-sengajaan, tak secuil neuron di otakku yg bekerja dgn niat untuk membuat kaca itu retak, maafkan aku"


Tapi baiklah, akan kurangkai serta kurekatkan sendiri kaca itu.


"Kau tidak akan pernah bisa membuatnya indah kembali, percuma, biarkan saja retak itu agar jelas jejak kebodohanmu", suaranya terdengar mengejan menahan kesedihan yang tiba-tiba juga merambatnya, nanar.


"Aku mohon, maafkan aku, ikhlaskan aku untuk merangkainya kembali, aku hanya butuh doamu juga senyumanmu jika engkau ikhlas", pintaku, tak kalah nanar.


Kaca yang retak, terangkai kembali, aku akan menempatkan kaca itu di tempat suci, bagiku "keindahan itu tak pernah retak, karena keindahan adalah keindahan,titik"


Maafkan telah membuatnya retak.


Keindahan adalah keindahan, aku mengenangmu sebagai salah satu keindahan terbaik yangTuhan berikan kepadaku.


Maafkan aku sekali lagi telah membuatnya retak, maafkan.


Ku buka iTunes, ku-pilih sebuah lagu, Sola dari J-Lo. Lagu berbahasa Spanyol tersebut berarti Alone. Kudengarkan lagu itu dengan hati meringis. Lagu itu lamat berdendang,


"Ya noes facil olvidar, perdi la oportunidad. No me puedo perdonar, sigo micamino" (It isn't easy to forget anymore, i lost the opportunity. I can't forgive my self, i continue my path)


Ini konstruksi rasaku padamu, cerita ini buat kamu Tantri, kerinduanku, buatmu dan hanya kamu.


Masih lamat-lamat, kulanjutkan kesenduan berteman Sola


“Y sigo sola, conmigocaminando a solas


Mi mundo se derrumba todo


Me queda seguir, esperar ycambiar y llorar y dejarlo todo


Quitarme el llanto de misojos, Alimentando esta ilusion y soportando este dolor”


(And i continue alone, walking with my self alone. My whole world is collapsing. The only thing i have left to do is to continue, to hope and to change and to cry and to leave it all. To take the weeping of my eyes. Nourishing this illusion and tolerating this pain)


Di penghujung lagu, aku berbisik lirih penuh ketulusan,


Aku masih mencintaimu, maafkan jika itu sebuah kekeliruan.


Aku masih merindukanmu, maafkan jika itu menjadikanmu gelisah.


Kaca telah retak, aku akan merekatkannya lagi


----


Tulisan ini pernah di publish dalam Notes Facebook Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun