Mohon tunggu...
Yono Timore
Yono Timore Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang Pecinta Cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaca Retak

24 April 2014   11:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Bukan tentang pengakuan, tapi tentang kejujuran


Bukan tentang aku, ini tentang sebuah perjalanan


Bukan akhir, tapi ini sebuah drama baru tentang hidup, tokh hidup memang sebuah drama tanpa berkesudahan, kecuali pelepasan abadi menemui takdirnya.


Tenanglah, bersabarlah, berbisiklah dengan bayangan sucimu, bertanyalah drama apa yang seharusnya dilalui .... Dan jujurlah karena sejatinya jujurmu lebih indah dari hari yang sudah kulalui.


Tersenyumlah, apapun itu ..... Ada ikhlas di situ, percayalah walau kutau itu tak mudah.


Aahh, sudahlah, bukan gelisahmu tujuanku, hanya senyummu, istirahatlah bersama pekatnya malam. Someday, give me a chance to dance with you, i wanna dance under the moon even night so quiet.


Kawan, tak ada komentar atas larik itu, dia hanya tersenyum. Senyuman itu sudah cukup buat aku. Senyuman yang selalu kurindukan selama 7 tahun ini, tanpa dia sadari.


Hari tak pernah lupa untuk berganti. Minggu Pagi yang cerah, ketika wajahku mulai di basuh dengan kehangatan mentari, aku membuka mata dan lamat-lamat kudengar suara "ting". Ada message di inbox email. Kuraih tablet yang tampak kelelahan karena 24 jam dia tak pernah berhenti bekerja menjadi petugas penerima surat elektronik-ku. Kuliat sender email, Tantri, ku kerjap-kan mata, duduk tegak dan tiba-tiba kesadaranku pulih 1000 %. Kubaca perlahan, di akhir emailnya dia menjawab lembut,


"Untuk menjalin sebuah hubungan, maaf aku nggak bisa lebih dari teman saja Kak. Harapan aku ini tidak akan merubah apapun dari kita. Tetap seperti biasanya ya Kak".


Sedetik kemudian setelah kubaca email itu terjadi gempa, disusul tsunami, tiba-tiba, bahkan aku-pun tak sempat beranjak berdiri, terjatuh. Aku berkata, "Ahh, biarkan gempa itu menghantamku". Kemudian, kulihat pintu kamar kok tetap tegak berdiri, tumpukan buku tak jua berceceran.


Kusentuh dahiku, oohh, maaf ternyata gempa, tsunami itu ada dalam kepalaku. Pening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun