Akhirnya, malam itu, aku mengundangnya makan malam. Dengan satu tujuan, aku akan jujur. Dia hanya tau bahwa aku, si kakak yang setia hadir dalam hidupnya mengundangnya untuk makan malam seperti biasanya.
Waktu tunggu merangkak seperti tukik penyu tertatih-tatih menuju laut lepas. Lambat.
Dan, makan malam, perbicangan biasa, keluh kesahnya dengan mantan pasangannya. Aku dan dia tertawa, lepas. Detik ke tiga ribu atau menit ke lima puluh, aku tiba-tiba mengubah raut muka dengan sedikit serius. Serius tapi kububuhkan sedikit senyum juga di situ.
"Aku sayang sama kamu, bahkan sejak kulihat kali pertama di toko itu, keangkuhanmu, ke-misterius-anmu memikatku dengan membabi buta sejak saat itu, detik itu"
Dia tertawa kecut, seakan tak percaya, "apaan sih Kak, eh masa sih, beneran?", Tantri tersedak tak percaya.
Di ujung perbincangan dia bertanya serius,"perlu kujawab sekarang Kak?"
"Nggak, jangan, aku tidak butuh jawabanmu sekarang. Yang kukatakan ini bentuk kejujuranku, aku ingin melepas ini. Mencintai dan Memiliki itu 2 hal berbeda, aku mencintaimu, tapi aku tahu memiliki itu adalah hak perempuan untuk menegaskan. Selama kamu happy, aku akan happy, denganku atau dengan siapapun itu, aku akan ikhlas".
Tapi taukah kamu sebenarnya? Setiap orang tentunya punya harapan, di sisi lain ada rasionalitas fakta.
Malam itu, antara ilusi dan realitas bersanding, aku tak mau mengakui keduanya, terlalu sakit jika kumengetahuinya malam itu.
Aku menguji rasa ini, menunggumu 7 tahun, aku tak akan keberatan menunggu 1 bulan sekalipun jawabanmu.
Setelah perbincangan intim yang mungkin juga getir karena mengagetkannya, aku menulis ini buat dia, aku menyusup ke inboxnya, aku meninggalkan pesan, "Tantri, ini buat kamu".