[caption caption="http://stylepinner.com"][/caption]
Â
Sebelumnya, Wild Sakura #Part 16 ; Sebuah janji
Â
Sonia memperhatikan Rocky yang sedang berbicara dengan seseorang melalui handphone, seperti pembicaraan yang serius sekali. Tapi kenapa Rocky harus menyingkir untuk menerima panggilan itu?
Apakah pria itu menyembunyikan sesuatu darinya?
Tapi..., itu haknya juga. Toh mereka tidak pacaran kan!
Sonia menggeleng pelan, menyeka wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Kenapa sekarang malah dirinya yang berharap memiliki hubungan spesial dengan pria itu?
"Sonia!"
Suara itu membuat tubuhnya sedikit terlonjak, ia segera memutar tubuhnya ke arah Rocky yang sudah berdiri tak jauh darinya, "ya!"
"Maaf, sepertinya..., aku harus pergi. Ada urusan penting!"
Sonia diam menatapnya, dan kediaman gadis itu di artikan lain oleh Rocky, "kau marah?" tanyanya. Kembali, Sonia sedikit terlonjak, "eh!" desisnya, "ehm..., tidak. Kenapa harus marah?"
"Ya..., mungkin karena tiba-tiba aku harus pergi!"
"Jika memang urusannya sangat penting, ya kamu memang harus pergi. Nggak apa-apa kok, aku bisa pulang sendiri!" sahutnya,
"Tidak, aku akan mengantarmu pulang dulu!"
"Tapi aku masih ingin di sini!" tolaknya, "tak ada yang bisa ku lakukan di kost, di sini...sedikit lebih tenang!"
"Kamu yakin?"
Sonia mgangguk mantap.
"Maaf ya!"
"Tidak apa-apa, terima kasih sudah membawaku kesini!"
Rocky diam menatapnya lama, sebenarnya ia enggan untuk beranjak. Tapi jika tidak...,
"Aku..., pergi dulu!" pamitnya. Sonia mengangguk lagi, akhirnya Rocky pun melangkahkan kaki. Padahal ia masih ingin bersama dengan gadis itu, baru saja ia menyatakan perasaannya. Tapi sepertinya..., hubungan mereka tidak akan mudah. Dan ia tahu itu. Ia tahu sejak memutuskan untuk meyakini perasaannya terhadap Sonia. Ia tahu hubungan mereka akan melalui ujian yang sulit. Dan itu..., mungkin akan di mulai hari ini.
Sonia menatap punggung Rocky hingga menghilang dari pandangannya. Setiap bersama pria itu, ia selalu merasa nyaman dan berharga. Meski sebersit rasa takut tetap saja menjalari dirinya, ia tahu..., keluarga pria itu tidak akan suka terhadapnya, sama seperti papanya Dimas. Jika ia bisa menawar takdir Tuhan, ia tak mau terjebak mengenal para pemuda itu. Tapi sepertinya..., garis yang telah Tuhan tentukan padanya memang seperti ini.
* * *
Edwan mematikan hpnya setelah selesai berbicara dengan temannya, ia masih di balik kemudi. Ia biasa ke pantai jika ingin mengenang seseorang. Ya, seseorang itu. Yang tak pernah bisa ia miliki secara utuh. Berhubung hari ini ia tak ada kesibukan maka ia putuskan untuk berjalan-jalan saja ke tempat itu. Baru ia membuka pintu mobilnya hendak keluar, selintas ia seperti melihat seseorang yang di kenalinya melewati depan mobilnya. Ia pun segera keluar dari mobil dan berjalan ke depan. Mengamati sosok yang sedag berjalan itu.
Itu memang Rocky, kenapa dia ada di sini?
Edwan mengamatinya hingga Rocky masuk ke dalam mobil, setahunya anak itu tidak suka pergi ke tempat-tempat seperti ini sendirian. Apakah dia baru saja bertemu teman atau klien?
Edwan tak berusaha menghampiri atau menelpon karen rocky terlihat buru-buru, ia pun meninggalkan tempat parkir saja.
Sonia duduk lama memandangi ombak yang datang padanya dan membasahi kakinya karena ia duduk menyelonjorkan kaki, untung air lautnya tak sampai ke celana jeans bagian atasnya, hanya sebatas betis saja. Lalu ia pun bangkit, berjalan menyusuri tepian pantai. Menatapi pasir yang ia tapaki, ketika mengangkat kepalanya ia tertegun, langkahnya terhenti perlahan. Membalas tatapan pria yang berdiri tiga meter di depannya. Mereka saling tatap dalam diam.
Ia pernah melihat pia itu, dan entah..., perasaan itu muncul lagi. Sebuah perasaan nyaman yang aneh ketika menemukan matanya. Pria itu berjalan mendekat, lurus ke arahnya. Berhenti satu meter di depannya.
"Kamu..., kamu yang di kedai soto itu kan?" tanya Edwan, "i-iya om!" sahutnya terbata, "om..., yang waktu itu makan siang bareng Rocky kan?"
"Jadi..., kamu memang kenal akrab sama Rocky?"
"Ehm...," Sonia memutar matanya, "om, sedang apa di sini?" tanyanya mengalihkan. Edwan memandangnya, ia tahu gadis itu mencoba mengalihkan perhatian.
"Hanya iseng, kurang kerjaan!" candanya, itu membuat Sonia tertawa ringan, "orang seperti om bisa kurang kerjaan juga?" sahutnya,
"Kenapa tidak!" balas Edwan dengan senyuman. Ia juga menikmati tawa ringan dari gadis di depannya, ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan mulai merayapi hatinya. Entah kenapa ia merasakan hal itu setelah puluhan tahun tak pernah ia rasakan terhadap wanita manapun setelah cinta pertamanya kandas, bahkan selama ini ia sudah lupa akan perasaan seperti itu. Dan perasaan itu kembali muncul setelah ia bertemu dengan gadis yang kini hanya berada satu meter darinya, gadis yang lebih pantas menjadi putrinya.
"Om sendirian?" tanya Sonia sedikit menyentak lamunannya, "eh, iya..., aku..., sendiri. Apakah..., tadi kamu bersama Rocky?" tanyanya,
"Om bertemu dengannya?"
"Hanya melihatnya di parkiran, tak sempat menyapa malahan!"
"Ouh!" Sonia menyilakan rambutnya ke belakang telinga, ada beberapa helai yang terlepas dari ikatannya. "oya. Kamu sama Rocky..., pacaran?"
Senyuman Sonia menghilang seketika, "a-eim..., nggak juga sih om. Tapi...," ia menghentikan kalimatnya, "kelihatannya dia suka sama kamu!" potong Edwan. Sonia menatapnya, lalu mengalihkan pandangannya. Sementara Edwan masih asyik menatapnya.
"Apakah Sonia tahu kalau Rocky sudah bertunangan?"Â
Edwan membatin dalam hati, kian lama ia menatap gadis itu. Kian ia teringat akan seseorang.
Sementara Erik mengantar Aline ke basecame, tempatnya berlatih breakdance dengan teman-temannya. Ia menatap gadis itu berlatih. Gadis belia yang feminin, yang ia pikir gadis manja ternyata cukup enerjik melakukan breakdance. Ia senyum-senyum sendiri menatapnya.
Selesai itu, Aline segera menghampiri Erik, "nungu lama ya kak, maaf ya!" katanya, Erik tersenyum lembut, "nggak apa-apa kok, kirain..., kamu bisanya cuma dandan doang!" candanya.
Aline melotot lalu memukul lengan Erik, "aku nggak pernah dandan tahu!" protesnya, emang sih..., nggak perlu dandanpun Aline sudah ssngat cantik. Erik tertawa, Doni menatapnya kesal.
"Siapa sih?" tanya Satria menyenggol lengan Doni, Dani hanya mengerling pada temannya saja lalu kembali menatap Aline bersama pria yang mengantarnya tadi. Satria melirik sahabatnya yang sedang di bakar cemburu, ia tahu dari dulu Doni itu suka sekali sama Aline, meski gadis itu selalu punya banyak alasan untuk menghindarinya. Dan sekarang tiba-tiba Aline membawa cowo lain yang usianya cukup jauh di atasnya.
* * *
Rocky menatap foto-foto yang di perlihatkan Hardi kepadanya di meja kerjanya, ia tak akan menerka darimana om Hardi bisa mendapatkan foto-foto itu. Karena sudah tentu, itu tidak akan sulit, om Hardi tinggal membayar orang suruhannya untuk melakukan itu.
"Kamu menyukai gadis itu?" tanyanya tegas.
Rocky tak menjawab, ia hanya menghela mafas panjang. Hal itu cukup membuat Hardi mengerti, "Rocky, kamu sudah bertunangan dengan Nancy. Tidak seharusnya..., kamu menjalin hubungan dengan gadis lain. Apalagi, dia itu seorang mantan narapidana!"
Seketika Rocky menatap Hardi, darimana om Hardi tahu hal itu? Apakah selama ini dia sudah mencari tahu sejauh itu? Tentu saja Hardi tahun, hari itu saat Sonia mengakui hal itu kepada Remon dan Dimas. Setelah Sonia dan Dimas pergi, Remon menceritakan hal itu kepada semua orang yang berada satu meja dengannya.
"Om masih bisa terima jika kamu membandingkan Nancy dengan gadis yang sekelas dengannya, tapi ini..., ini sungguh keterlaluan. Kamu menyelingkuhinya dengan gadis miskin yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan seorang penjahat!"
"Sonia bukan penjahat om!"
"Dia membunuh ayahnya sendiri!"
"Dia punya alasan lalukan, dan aku yakin..., semua gadis yang ada dalam posisinya saat itu akan melakukan hal yang sama, entah dia orang miskin atau kaya sekalipun!" sahutnya tegas.
"Kamu begitu membelanya, Rocky. Apa kamu mencintainya?"
Rocky diam menatap calon mertuanya dengan geram, "ya, aku mencintainya!" jawabannya membuat Hardi melotot. Hardi mengepalkan tinjunya, ingin sekali ia meninju pemuda di depannya itu. Tapi untuk saat ini ia tetap berusaha menahan emosinya, dan sorot mata yang Rocky perlihatakan. Tak ada rasa bersalah di sana, tak ada rasa takut.
Hardi menyunggingkan senyum sinis di bibirnya, "itu bukan cinta Rocky, itu hanya napsu sesaat. Gadis itu menggodamu, dan ku pastikan..., dia akan menjauh darimu!" tekannya, Rocky melebarkan mata. Ia tahu itu sebuah ancaman, "om, aku nggak akan membiarkan om menyakitinya. Sonia tidak pernah menggodaku, dan apa yang aku rasakan padanya..., itu adalah cinta. Om juga tahu bahwa selama ini aku nggak pernah mencintai Nancy!"
"Berani sekali kamu berbicara seperti itu, ingat Rocky. Suka tidak suka, kamu tidak bisa menikahi gadis lain selain Nancy!" tegasnya. Â
"Maaf om, sebaiknya om persiapkan pria lain untuk Nancy. Yang lebih bisa mencintainya!" sahut Rocky seraya berdiri, "dan aku juga minta maaf, sudah mengecewakan om Hardi!" sambungnya lalu pergi.
Begitu keluar dari ruang kerja Hardi, Nancy yang duduk di ruang tamu langsung menghampirinya, "papa ngomong apaan?" tanyanya, Rocky menghentikan langkah dengan sedikit kesal. Melihat ekspresi Rocky yang seperti itu, Nancy tahu pasti telah terjadi sesuatu di dalam tadi.
"Kamu..., berantem sama papa ya. Ada masalah apa?"
Rocky diam mengingat kata-kata Hardi yang memintanya agar Nancy tidak tahu dulu tentang Sonia, "nggak ada apa-apa, cuma urusan kerjaan!" dalihnya.
"Ouh..., ehm..., abis ini..., kamu punya waktu kan?" harap Nancy, "Nancy, aku...!"
"Dia mau mengajakmu pergi keluar!" suara Hardi memotong kalimatnya. Rocky melotot kesal sementara Nancy tersenyum girang, "benarkah?"
Hardi sudah berdiri tak jauh dari mereka, Rocky menoleh padanya. Dan Hardi membalasnya dengan tatapan ancaman, mungkin ancaman itu di tujukan pada Sonia.
"Kebetulan, belakangan kamu susah banget di temuin. Selalu ada aja alasan, aku kan kangwt banget sama kamu!" kata Nancy menggelayut di lengannya. Rocky sedikit membuang muka, Hardi menatapnya tajam. Jika Rocky bukan anak Danu, dan jika Nancy tidak amat sangat mencintai pemuda itu, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. Tapi demi kebahagiaan putrinya, ia akan lakukan apapun.
"Kalau gitu, aku ganti baju dulu ya!" seru Nancy dengan nada manjanya lalu berlari menaiki tangga, sementara mata Rocky kembali bertatapan dengan Hardi. Kali ini lebih melembut, bagaimana pun Hardi Subrata adalah teman baik papanya, ia harus menghormatinya.
Sonia bermain speedboat dengan Edwan setelah di bujuk habis-habisan. Mereka keluar dari benda itu setelah puas bermain, "bagaimana, tidak mabuk laut kan?" canda Edwan dengan tawa ringan.
"Tapi dikit pusing om!" sahutnya dengan memegang sisi kepalanya, "om jahat banget sih, paksa-paksa aku buat..., ikut naik gituan!" kesalnya. Edwan tertawa, "ya udah, kita ganti baju..., dan sebagai gantinya....om traktik makan deh!"
"Kalau traktir makan biasa om,"
Edwan mengernyit, "terus, kamu maunya apa. Traktir yang lain?" tanyanya, "harusnya om itu di hukum!" sahut Sonia. Edwan membelalak, lalu kelaur tawa kecil dari mulutnya, "di hukum?" tukasnya. Sonia tak menyahut, malah sedikit membuang muka pura-pura ngambek. Entah kenapa ia merasa senang sekali bersama om Edwan.
Edwan menggeleng pelan menatapnya, "ok, siapa takut!" katanya menyanggupi. Sonia kembali menatapnya, "hukuman apa yang bakal kamu ksih ke om?"
"Aku cuma bercanda kok om, lagian..., aku juga laper sih!" katanya sedikit memerah. Edwan tertawa lagi, dan itu justru membaut Sonia cemberut, "kok om tertawa terus sih?"
"Tidak, hanya..., sudah lama aku tertawa seperti ini. Terima kasih ya,"
Sonia menatapnya. Ini memang aneh, tapi ia benar-benar suka berada di dekat pria ini. Nyaman, dan mereka bisa tertawa bersama. Tapi.., kalau istri om Edwan tahu suaminya tertawa bersama gadis muda seperti dirinya, pasti akan marah besar! Dan itu membuat Sonia tiba-tiba merubah mimiknya. Menyadari hal itu, Edwan pun melenyapkan tawanya.
"Kamu kenapa?"
"Eh, enggak om. Cuman..., kebelet mau ke toliet!" dalihnya, "ya udah, ayo. Sekalian ganti baju!" mereka pun berganti baju lalu makan bersama. Sementara Rocky harus kembali terjebak bersama Nancy, Dimas berkumpul di Bengkel Gio. Membantu di sana.
Wajahnya di tekuk terus, bahkan yang biasanya ramah dengan pelanggan, ini..., asem terus wajahnya. Membut teman-temannya saling tanya. Ketika mulai sepi, Bayu menghampirinya.
"Kenapa bro?" tanyanya duduk di sisinya,
"Kesel!" sahutnya.
"Kita juga tahu, kamu lagi kesel. Tapi keselnya tuh kenapa?"
Dimas menunduk, meremas lap di tangannya, "papa ngejodohin aku sama anak temennya!" sahutnya, Bayu mengernyit, "di jodohin, bukanya sebelumnya papa kamu cuek-cuek aja?"
"Nah itu dia..., sepertinya teman-temannya tuh ngomporin papa biar papa jodohin aku!"
"Wah, parah dong kalau gitu. Terus.... Sonia gimana?"
Dimas menatap Bayu, tak memberi sahutan apapun. Tatapannya bebar-benar seperti putus asa, Bayu memahami itu. Tanpa ada campur tangan papanya pun Dimas sudah mendapat halangan mendapatkan hati Sonia dengan munculnya Rocky, apalagi ini..., pakai ada acara perjodohan.
"Kenapa kmau nggak telepon Sonia aja, atau..., datang aja ke kost. Siapa tahu dia udah pulang!" saran Bayu, Dimas menatapnya. Lesu.
"Di, cinta itu perlu di perjuangkan. Kan si Rocky udah bertunangan, sama anaknya om Hardi lagi. Kesempatan kamu jauh lebih besar, apalagi..., aku lihat sepertinya Sonia juga suka kok sama kamu!"
Dimas mendengarkan, apa yang di katakan Bayu ada benarnya. Ia masih memiliki peluang hesar untuk mendapatkan hati Sonia. Iapun memindahkan lap di tangannya ke tangan Bayu dan bangkit. Bayu menatap lap yang kini di tangannya, lalu menatap sahabatnya yang tengah pergi ke belakang untuk ganti baju. Ia memungut lap itu sambil nyengir lalu mendengus kesal.
"Di pikir aku keranjang pakaian kotor apa?" desisnya kesal menaruh lap itu ke kursi, Dimas keluar dengan pakaian yang sudah rapi kembali, "hai guys, cabut dulu ya!" katanya berjalan menuju motornya.
"Eh, baru dateng berapa jam, udah kabur lagi!" protes Gio, "mentang-mentang nggak aku gaji!" sambungnya tanpa beranjak dari kursi kasir.
"Biarin aja, lagi galau dia!" sahut Ian yang lagi mengotak-atik sebuah motor.
* * *
Sonia membuka seatbeltnya, ia diam beberapa detik sebelum membuka suara kembali, "makasih ya om, udah membuat aku seneng hari ini!" katanya. Edwan tersenyum, "aku yang harusnya berterima kasih sama kamu Sonia, karena kamu sudah membuatku tertawa hari ini setelah sekian lama!" ungkapnya.
Ada hal lain yang Sonia rasakan dari kalimat Edwan, tapi mungkin itu karena pria ini sedang dalam masalah, "rasanya aneh ya om. Kok aku merasa..., deket sama om dan seperti..., sudah lama kenal. Padahal kita baru ketemu dua kali ini kan!" ungkap Sonia.
"Ia, aku juga merasa seperti itu. Lain kali..., kita bisa bermain bersama lagi kan?"
Sonia mengangguk, "tentu om. Kalau gitu..., aku..., masuk dulu ya om!" katanya membuka pintu mobil. Edwan mengangguk juga, Sonia turun lalu berbalik menatap mobil itu. Ketika Edwan memutar mobilnya, Dimas datang. Ia merasa seperti mengenal mobil itu dan pengendaranya.
Ia pun menghentikan motornya di dekat Sonia, "eh, Di!" sapa Sonia. Saat meninggalkan tempat itu dari kaca spion Edwan bisa melihat Dimas.
"Bukankah itu Dimas, jadi..., Sonia juga kenal sama Dimas. Kenapa bisa begini?" desisnya pada diri sendiri, sementara Dimas juga mengamati mobil yang kian jauh hingga menghilang di kelokan itu. Lalu menatap Sonia tanpa turun dari motor, helmnya ia peluk di perutnya.
"Sonia, itu..., om Edwan kan?"
Sonia menolehnya dengan tatapan heran, "kamu kenal Di?" tanyanya, "ya iyalah, om Edwan itu kan adiknya om Hardi. Teman papa!"
Sonia tertegun. Memutar matanya, rasanya ini aneh sekali. Apa..., dunia itu memang sesempit ini? Kenapa ia bertemu orang-orang yang ternyata mengenal satu sama lainnya. Seolah membentuk lingkaran. Mulai dari Dimas, lalu Rocky yang ternyata orangtua mereka berteman baik, sekarang om Edwan yang tidak lain adalah adik dari salah satu teman papanya Dimas.
Sonia dan Dimas saling tatap dengan arti tatapan yang berbeda.
Â
Bersambung.....,
©Wild Sakura (season 1)Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI