Â
Hidupku boleh di bilang biasa-biasa saja, tak ada yang terlalu istimewa. Apalagi sejak kepergian Bunda, karena aku anak semata wayang dan papaku seorang pengusaha yang sering pergi keluar kota, hidupku jadi bertambah sepi. Kegiatan sehari-hari yang ku lakukan sepulang sekolah hanyalah nonton tv, belajar, les, atau kalau lagi suntuk jalan-jalan keluar. Karena aku bukanlah orang yang suka belanja ataupun memanjakan diri ke salon meski keuanganku mampu, paling....ke toko buku.
Hubunganku dengan teman-temanku juga tak ada yang istimewa, boleh di katakan aku tak punya teman yang sangat akrab atau bisa di bilang cs, sohib, atau apalah.... Hanya pertemanan biasa.
Penampilanku juga tak suka glamor meski jika aku mau aku bisa saja seperti itu, soal tampang....aku memang tidak terlalu cantik, tapi boleh di bilang imut. Aku tidak feminin juga tidak tomboy, memang seperti inilah aku.
Suatu hari aku di kejutkan karena tiba-tiba ayah membawa seorang wanita cantik ke rumah dan mengenalkannya padaku sebagai calon istrinya. Wanita itu seumuran dengan papa dan memiliki dua anak perempuan, dan satu anak laki-laki. Tapi dia masih cukup cantik dan seksi, sangat terlihat sekali kalau dia selalu menjaga tubuhnya tetap terawat, namanya Linda. Pantas saja kalau ayah sampai kecantol, mungkin ABG juga bisa kepikat. Anak pertama tante Linda adalah seorang perempuan, umurnya 22 tahun, namanya Lana. Yang ku dengar dia tinggal di apartemen dan memilih hidup sendiri, aku belum pernah bertemu dengannya hingga hari H, anak kedua laki-laki berumur 19 tahun hanya satu tahun lebih tua dariku, namanya Lucky, dia cukup tampan. Dan yang terakhir, 16 tahun, Lucy, dia cantik sekali seperti mamanya.
Tak lama setelahnya, Tante Linda resmi menjadi ibu tiriku. Mama Linda memang tak bisa di bilang jahat karena tak pernah menyiksaku, tapi seperti ibu tiri lainnya tentu saja dia tidak memperhatikan aku seperti memperhatikan Lucy. Sikap Lucky dan Lucylah yang terkadang membuatku jengah, kerjaan mereka hanyalah menghamburkan uang dan main-main. Terutama Lucy yang selalu judes padaku.
Beruntungnya ayah menolak ketika mama Linda mengusulkan untuk mengatur keuanganku, karena ayah tahu aku bukan tipe gadis yang boros. Selama ini ayah cukup puas dengan kepandaianku mengatur keuanganku sendiri, setidaknya tagihan ATMku tidak pernah membuat ayah pusing.
Tak terasa sudah hampir 2 tahun tante Linda menjadi mama tiriku, aku semakin tahu bagaimana tingkah lakunya di belakang ayah, tetapi ayah sangat menyayangi mama Linda. Bagiku, selama mama Linda tidak bermain serong dengan lelaki lain di belakang ayah, tidak akan masalah bagiku. Meski belakangan terkadang dia bersikap kasar padaku, apalagi Lucy yang suka menyuruhku ini dan itu. Sebagai kakaknya aku memenuhi keinginannya selama itu masih wajar.
Yang membuatku muak adalah tingkah Lucky yang terkadang menggodaku, entah dalam keadaan mabuk ataupun sadar. Terkadang dia sering berkata jorok padaku saat menggodaku, dan karena itu terkadang tanganku gatal sekali ingin memberinya hadiah di pipinya.
* * *
Suatu hari, saat aku sedang bersantai di rumah sendirian. Karena semua orang pergi berlibur, aku menolak ikut karena malas dengan Lucky, dia pasti akan mencari kesempatan untuk bisa berdua denganku, lalu menggodaku lagi. Takutnya dia bisa nekat jika sedang ada kesempatan, di rumah dia tak terlalu berani berbuat nekat karena ada mbok Inem, ada mang Dito, dan juga pak Rudi, satpam rumahku yang bertubuh tinggi besar. Mang Dito adalah pengurus kebun, aku cukup dekat dengan mereka sejak kecil dan selalu berusaha berada dekat dengan mereka, karena itu membuatku sedikit aman.
Sedang asyik menonton film baru karena malas nonton di bioskop, bell rumah berbunyi. Karena mbok Inem lagi menyetrika baju jadi aku yang bangkit membuka pintu, ketika pintu ku buka, muncul sesosok wanita cantik nan seksi, aku sampai terpana oleh kecantikannya yang seperti bidadari itu. Dia tersenyum ramah padaku lalu menyisirkan matanya ke arahku dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu kembali lagi ke wajahku.
"Kak Lana!" desisku,
Ya, wanita cantik itu adalah kakak tiri tertuaku, Lana. Mengingat namanya jadi ingat Lana Lang kekasih si Superman, ini kedua kalinya aku bertatap muka dengannya. Yang pertama di hari pernikahan ayah dan mama Linda, aku tak terlalu memperhatikannya waktu itu.
Saat ini kak Lana memakai jeans biru yang menempel tepat di kaki jenjangnya, atasanya di padukan dengan T-shirt warna merah pas badan yang membentuk lekuk tubuhnya yang indah. T-shirt itu hanya memiliki satu lengan, lengan yang satunya lagi polos, rambut indahnya terurai, di cat berwarna coklat.
"Kok kamu yang membuka pintu?" tanyanya,
"Mbok Inem lagi nyetrika baju kak, kalau yang lain lagi pergi ke Cipanas!"
"Kok kamu nggak ikut?"
"Lagi pingin di rumah aja, eh...masuk kak!"
Ku persilahkan kak Lana duduk di ruang tv bersamaku, "suka film action ya?" tanyanya, "iya kak, lebih seru!" sahutku meliriknya. Ku temukan ternyata matanya tak meninggalkanku, dia menatapku tajam seolah menelanjangiku, aku jadi risih di tatap seperti itu. Dan untuk menghilangkan rasa gugupku, ku tawarkan dia minum,
"Kak Lana mau minum apa, biar Rita ambilin kak!"
"Nggak usah repot-repot, nanti aku ambil sendiri ajah!"
"Oh iya, anggap aja rumah sendiri kak!"
Sepertinya dia mengetahui kegugupanku, jadi dia mulai mengajak ngobrol hal-hal ringan. Ternyata kakak tiriku yang satu ini lebih ramah dan baik ketimbang dua adiknya, mungkin karena usianya yang sudah menginjak dewasa. Aku jadi mulai akrab dengannya.
Ku dengar dia seorang model, tapi aku tak pernah melihatnya di majalah manapun. Hari itu dia tinggal hingga sore, selesai nonton film aku masuk ke dalam kamar dan ku persilahkan dia istirahat di kamar tamu, tapi dia menolak. Katanya mau melihat-lihat kamarku. Jadi ku biarkan saja dia mengobrak-abrik seisi kamarku sampai puas, banyak yang ia tanyakan. Termasuk kenapa tak ada foto cowo di kamarku, minimal fotoku bersama pacarku.
"Aku tidak punya pacar kak!"
"Masa', kamu kan cukup menarik!"
Sebenarnya ada beberapa yang pernah menyatakan cinta padaku, tetapi semuanya ku tolak dengan alasan aku tak ingin punya pcara dulu, lagipula aiu memang tak punya perasaan apapun terhadap mereka.
"Ah, kalah jauh sama kak Lana!"
Karena capek akhirnya aku tertidur, saat terbangun ternyata kak Lana tidur di sampingku. Ku tatap wajah cantiknya saat terlelap, entah kenapa tiba-tiba jantungku berdegub begitu kencang. Muncul debaran aneh yang tak kunjung reda di balik tulang rusukku, sesuatu yang bahkan tak pernah aku rasakan terhadap pria manapun sebelumnya.
Ku palingkan wajah ketika kak Lana menggerakan kepalanya, segera saja aku beringsut melarikan diri ke kamar mandi. Karena sudah sore jadi aku mandi saja, saat keluar kamar mandi ternyata kak Lana sudah duduk di pinggir kasur menatapku dengan aneh.
Tiba-tiba wajahku jadi panas, mungkin pipiku memerah, entah seperti apa tampangku saat itu di tatap oleh kakak tiriku dengan tajamnya. Mungkin wajahku sudah seperti kepiting rebus, kebetulan aku berkulit putih, kalau lagi merona pasti kelihatan banget. Bisa membaca situasi akhirnya ia berjalan ke kamar mandi. Segera saja ku pungut baju santai lalu mengenakannya.
* * *
Minggu berikutnya dia datang lagi, kali ini semua orang ada di rumah karena mama Linda berulang tahun. Kebetulan acaranya di adakan di sebuah gedung, rencananya kami akan berangkat bersama. Karena kak Lana bawa mobil sendiri jadi dia menawarkanku untuk naik mobilnya saja biar mobil ayah tidak kepenuhan. Benar juga sih, aku juga sedikit malas satu mobil dengan Lucky karena dia pasti akan menyusulku duduk di jok paling belakang, lalu melancarkan aksinya.
Kali ini kak Lana memakai gaun purple yang cantik, membuat kulit putihnya menjadi semakin bersinar. Tubuh sintalnya benar-benar menggoda setiap mata yang memandang, bahkan Lucky sebagai adiknya saja sampai menelan ludah menatapnya. Tapi segera saja di acungi kepalan tinju oleh kakaknya itu hingga langsung mengalihkan pandangannya. Tak ku sangka ternyata si Lucky lebih takut dengan kak Lana ketimbang mama Linda. Aku jadi sedikit senang di buatnya. Bersorak dalam hati.
Acara pesta membuatku bosan, jadi aku menyingkir saja seraya menenteng segelas minuman ringan hingga menembus kerumunan orang-orang yang tak ku kenal. Aku berjalan saja ke samping, kebetulan sepi tak ada orang, tapi gelak tawa yang berasal tak jauh dari sana masih terdengar.
Ku sesap minumanku pelan sambil bersandar tembok, tiba-tiba saja kak Lana ada di depanku. Entah darimana dia datang, lagi-lagi dia memberiku senyuman maut itu, binar matanya benar membuat jantungku kembali berdegub tak karuan. Ia menyesap minumannya sejenak lalu menyodorkannya ke tangan kananku yang bebas. Sementara tangan kiriku berisi gelas minumanku sendiri, dia berdiri di hadapanku, tepat di hadapanku. Tangan kanannya bertemu dengan tembok, kini kedua tanganku berisi gelas. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya.
Sepertinya cairan merah yang ia minum adalah redwine!
Ku balas tatapan matamya yang teduh, kenapa dia menatapku seperti itu, apakah dia mabuk?
"Rita, kamu cantik!" desisnya sedikit mendesah, mataku melebar, apa aku salah dengar? Dia memujiku cantik padahal sudah jelas dia jauh lebih cantik dari diriku.
Dia mulai mendekatkan diri, entah apa yang akan di lakukannya tetapi jantungku berpacu makin tak terkendali, bibirku bergetar hebat hingga untuk bertanya dia mau apa saja aku tak sanggup. Tiba-tiba saja bibirnya sudah mendarat di atas bibirku, aku makin tercengang, mataku bertambah lebar hingga bola mataku mau meloncat keluar. Ku gelengkan kepalaku untuk melepaskan diri, tetapi kedua telapak tangannya menangkup wajahku dan menekan kepalaku ke tembok. Membuatku tak bisa bergerak, apalagi di kedua tanganku penuh gelas. Dia terus memagutku dengan lembut, itu adalah ciuman pertamaku selama 20 tahun aku hidup di dunia.
Aku ingin berontak, tetapi tidak hatiku, entah kenapa hatiku seperti menginginkannya juga. Mataku meleleh, membasahi tangannya di pipiku, merasakan tangannya basah iapun melepasku dan menatapku. Aku juga tidak tahu kenapa aku menangis, apakah karena orang yang menciumku adalah kakak tiriku sendiri yang masih sesama wanita?
"Kamu tidak suka ya?" dengusnya, aku hanya diam membalas tatapannya. Tapi dia malah tersenyum padaku, "aku suka kamu, sejak pertama kali kita bertemu dua tahun lalu di pernikahan mama. Aku pikir, karena kamu akan jadi adikku maka aku pun mencoba tidak mengingat kamu!" akunya. Ia mengusap airmataku dengan jempolnya yang halus.
"Tapi hatiku sulit sekali berkompromi, aku tidak bisa lupa sama wajah polos kamu. Itu sebabnya minggu lalu aku sengaja datang untuk menemuimu!"
"Ja-jadi...kak Lana datang untukku?"
Dia tak menjawab, malah mendekatkan diri kembali untuk memagutku lagi tapi aku menghentikannya, "jangan kak, ini tidak benar!"
"Tidak ada yang benar dalam cinta, cinta juga tak memiliki salah!"
"Tapi, tapi aku masih ingin normal!"
"Kamu pikir aku tidak normal?" katanya sedikit tegas, sepertinya dia tersinggung karena tatapannya jadi garang, "bukan begitu maksudku!"
Sekarang kak Lana melepaskan tangannya dari pipiku, masih menatapku tajam. Aku jadi takut, kalau si Lucky saja takut padanya itu artinya jika marah mungkin kak Lana bisa berbahaya,
"Maaf kak, aku tidak bermaksud begitu!"
"Masuklah, tadi ayahmu memintaku mencarimu. Kamu pasti sudah di tunggu!" katanya dengan tenang, tapi aku tahu dia memang marah. Akupun melangkah saja, baru beberapa langkah dia menyentuh pundakku, membuatku harus terhenti. Tapi dia hanya memungut minumannya kembali, menenggaknya habis dalam sekejap. Entah kenapa caranya menghabiskan minuman itu aku suka, dia melirikku yang menatapnya.
Lalu aku ingat katanya ayah mencariku jadi aku masuk kembali. Aku bergabung dengan ayah dan yang lainnya, "Rita, kamu ikut si Lucky pulang saja kalau sudah cape. Bukannya besok ada kuliah pagi! "
"Pulang bersama Lucky yah!"
"Ya, karena mungkin ayah dan mama Linda akan menginap. Begitupum Lucy, katanya besok semua gurunya ada rapat jadi kelasnya di liburkan!"
Pulang bersama Lucky, aku sudah bergidik duluan. Aku yakin dia yang mengusulkan hal itu untuk mencari kesempatan, melihatku diam ayah berbicara lagi, "ayah tidak mungkin mengijinkanmu pulang sendiri, ini sudah cukup larut. Atau....kamu mau ikut menginap.
"Biar aku saja yang mengantarnya pulang!"
Semuanya menoleh, itu suara kak Lana. Berjalan ke arah kami, "karena mungkin Lucky juga akan berbelok ke arah lain, aku takut dia tidak akan membawa Rita sampai ke rumah!" cibirnya, muka Lucky langsung memerah, dia hendak membuka mulut untuk protes tetapi ketika melihat kakaknya melotot nyalinya jadi menciut. Dan itu juga membuatku takut.
Akhirnya aku memang kembali satu mobil dengan kak Lana, sementara Lucky entah pergi kemana. Mungkin karena kecewa ia jadi mencari hiburan lain. Selama perjalanan pulang jantungku tak berhenti dag-dig-dug, tanganku sedikit gemetaran, aku sama sekali tam berani menoleh pada wanita cantik di sampingku. Karena mungkin jika kami bertatapan desiran itu akan muncul lagi. Aku tak tahu kenapa, mungkinkah.....aku jatuh cinta padanya?
Ku gelengkan kepalaku, menampik pemikiran gila seperti itu, mungkin aku hanya mengaguminya saja! Ku tegaskan pada diriku sendiri. Setelah menurunkan aku, ku pikir dia akan turun dan ikut masuk tetapi dia hanya menatapku saja.
"Kamu jangan takut begitu dong, aku tidak akan menyakiti kamu kok. Sudah, masuk sana. Kunci pintu kamarmu kalau tidak mau Lucky mengintipmu!" pesannya lalu melesatkan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sepertinya dia juga cukup tahu bagaimana adiknya itu.
Minggu berikutnya....,
Seperti biasa aku menghabiskan hari minggu dengan bersantai di rumah saja, membaca buku atau nonton film. Aku memang mendengar bell berbunyi, kali ini mbok Inem yang membuka pintu karena aku lagi asyik nonton film romance. Tiba-tiba saja aku di kejutkan dengan sebuah kecupan di pipi, seketika tubuhku melonjak dan menoleh padanya.
"Asyik banget sampe tidak tahu aku datang!" bisiknya,
"Mama lagi pergi kak,"
"Siapa yang nyari mama sih!"
Sebenarnya aku tahu, hanya untuk pengalihan keterkejutanku saja. Dia duduk di sampingku seraya menyodorkan sebuah bag kertas warna coklat padaku, entah apa isinya, ku tatap benda itu, "hadiah kecil, kebetulan honorku baru turun!" katanya, ku pungut benda itu karena jika ku tolak pasti dia akan marah.
"Terima kasih kak!" aku sedikit tersipu, tatapannya tajam tetapi teduh, "ada waktu nggak?" tanyanya, "kalau ada temenin aku jalan yuk!" ajaknya. Aku pikir tak ada salahnya aku menemaninya pergi keluar, suntuk juga di rumah mulu.
Kami pergi seharian, nonton bioskop, makan, main di timezone, dan lain-lain. Setelah merasa lelah kak Lana menawarkan untuk datang ke apartemennya, tempatnya tidak terlalu besar tetapi berkesan megah, elegan, rapi. Dia menyuruhku beristirahat di kamar saja sementara dirinya mandi, aku tercekat ketika melihat beberapa foto terpajang di dinding kamarnya. Kak Lana berpose menantang hanya dengan bikini yang sanga minim, bahkan ada yang tak mengenakan sehelai benangku. Jantungku benar-benar hendak meloncat keluar di buatnya.
Lalu ku langkahkan kaki ke meja di dekat jendela, terpajang begitu banyak majalah di rak. Ku pungut satu, ku perhatikan sampul majalah itu yang ternyata adalah gambar kak Lana, masih dengan pose yang fiuhhh....., ternyata kak Lana memang seorang model, tetapi dia model majalah pria dewasa. Pantas saja aku tak pernah melihat gambarnya di majalah biasa, ku buka halaman perhalaman tapi sebenarnya aku tidak memperhatikan apa sisinya. Hanya untuk iseng.
"Anak kecil tidak boleh melihat majalah seperti ini!" katanya memungut majalah di tanganku dan meletakannya di meja, ku toleh dia dengan mata protes, "aku bukan anak kecil!"
"Begitu!"
"Jadi kamu benar seorang model ya?" tanyaku membuatnya mengernyit, mungkin dia heran karena aku memanggilnya kamu bukan kak, aku sendiri heran. Lalu dia tersenyum, "kalau kamu mau mandi ini handuknya!" katanya menyodorkan sebuah handuk padaku.
Selesai mandi ku pinjam baju santainya, dia sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon, seperti mengenai pemotretan, mungkin itu fotografernya!
Aku duduk di tepi ranjang, menunggunya selesai. Ku sapukan mataku ke seisi ruangan, memang tak ku dapati sepotongpun foto cowo di sana, sama seperti kamarku. Satu-satunya foto pria yaitu foto ayah!
"Eh, kamu sudah selesai!" katanya berjalan ke arahku, "kak, kamu tidak punya pacar?" sekarang aku yang bertanya, mulai kepo!
"Kenapa?"
"Kakak kan cantik, pasti banyak yang suka!" entah kenapa seperti terselip nada cemburu dalam kalimatku, kak Lana duduk di sampingku, menatapku semakin dalam.
"Untuk apa, kan sudah ada kamu!"
Pipiku merona, ku rasakan jemarinya yang lentik dan halus itu meraba wajahku, "Rita, kamu cantik sekali!" pujinya lagi, kali ini kak Lana tak membiarkan aku bernapas, dia langsung saja merenggut bibirku dengan ganas, aku kelagapan di buatnya. Tapi anehnya aku tak lagi melawan, bahkan terkesan membalas. Setelah itu dia melepasku dan menatapku lembut, ku rasakan pipiku makin panas, mungkin wajahku sudah benar-benar seperti kepiting rebus.
Sejak itu kami jadi sering bertemu, bahkan kak Lana sering menjemputku di kampus jika sedang free. Hubungan kami terjadi begitu saja hingga tak terasa sampai aku mendapatkan gelar sarjanaku dan membantu bisnis ayah. Hingga suatu hari....,
Aku melonjak kaget saat keluar kamar mandi karena ku dapati Lucky ada di dalam kamarku, langsung saja aku melotot dan membentaknya, "sedang apa kamu di kamarku?"
"Cuma iseng!"
"Keluar!"
"Jangan galak-galak, dulu kamu tidak segalak ini!"
"Keluar atau aku akan teriak!"
"Teriak saja, sekalian nanti aku kasih tahu ayah seperti apa putri kesayangannya!" ancamnya, mataku melotot menatapnya, Lucky tersenyum nakal, "kamu pikir aku nggak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Lana," aku makin melotot padanya, "aku kenal Lana, aku tahu dia seperti apa. Aku hanya tidak menyangka kalau ternyata alasan kamu selalu menolak aku itu karena kamu sama seperti Lana, aku jadi nyesel....pernah mengoda kamu. Mungkin aku memang brengsek, tapi setidaknya aku masih laki-laki normal!" cibirnya.
Ingin sekali ku tampar mukanya, tapi apa yang di katakannya aku benarkan. Terlihat sekali Lucky begitu menikmati ekspresiku, "tapi jangan kuatir, aku tidak akan membocorkan rahasia ini pada siapapun. Tapi tidak gratis, harus ada honor tutup mulutnya, gimana?"
"Kamu mengancamku!" Â
"Bukan mengancam, tapi kita saling pengertian ajalah. Tapi ya terserah kamu kalau kamu mau....ayah tahu juga nggak apa-apa!"
"Ok, aku transfer nanti!"
"Tiap bulan ya!"
"Apa?"
Lucky tak lagi menyahut ia hanya memberi isyarat saja yang berarti sebuah ancaman.
Tak lama dari itu papa menanyakan sesuatu yang membuatku sulit untuk menjawab. Tentang kenapa aku tak punya pacar, padahal usiaku sudah hampir 26. Kediamanku di jawab Lucky dengan sindiran, tapi aku langsung saja menyela.
"Belum ada yang cocok yah!"
* * *
"Maksud kamu apa?"
"Ayah terus saja mendesakku untuk punya kekasih, katanya ayah ingin melihatku segera menikah!"
Kak Lana tak bereaksi, diam menatapku. "kemarin ayah mengenalkan aku dengan anak teman bisnisnya, dan berharap kami bisa menjalin hubungan!"
"Bagaimana dia?"
"Aku tak mau menilainya!"
"Kenapa?"
"Karena tak penting bagiku!"
Sejak pembicaraan kami waktu itu, kak Lana jadi jarang menemuiku. Nomornya sering sekali mailbox, aku menjadi resah, apakah dia marah padaku sampai tak mau menjawab teleponku? Hingga suatu hari aku nekat menemuinya di apartemennya. Aku duduk di depan pintunya, menunggunya pulang. Ketika dia tiba, aku langsung saja memeluknya.
"Kamu kemana saja, aku kan kangen!" lalu dia mengajakku masuk, kami duduk bersebelahan meja di dapur. Teh hangat tersaji di depan kami, tapi hanya kepul asap dari dua cangkir itu saja yang bercengkrama. Kami diam hingga teh itu beranjak dingin.
"Kak Lana marah ya sama aku, kok telepon aku nggak pernah di balas?" aku mengawali perbincangan, "aku tidak marah sama kamu!" sahutnya tenang.
"Lalu?"
"Aku hanya berfikir, ayahmu benar. Kamu harus menjalin hubungan dengan seseorang, seorang pria. Lalu menikah, punya anak!"
Aku tertegun, ada rasa sakit yang terselip dalam kalimatnya, aku juga merasakan itu. Kalimatnya jelas sekali bisa ku mengerti dengan cepat, dia ingin hubungan kami berakhir.Â
"Kenapa kamu bicara seperti itu, kamu sudah bosan sama aku?"
"Karena kita tak bisa terus seperti ini!"
"Maksud kak Lana apa?"
"Maaf, aku baru memberitahukanmu sekarang. Aku akan pergi ke paris, ada tawaran job di sana!"
"Paris?"
"Sudah lama aku ingin kesana, jadi ku terima tawaran itu!"
Mataku memanas, menatapnya tak percaya, "kamu mau pergi, begitu saja!" desisku tak rela, bagaimana bisa dia memutuskan untuk pergi setelah semuanya, "kenapa kak?"
"Karena aku memang harus pergi, dan kamu harus kembali ke duniamu. Lupakan aku!" aku menggeleng pelan, buliran bening mulai bermunculan di pipiku.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, apa kamu tidak mencintaiku lagi?"
"Justru karena aku mencintaimu, aku tidak mau menyeretmu terlalu dalam ke dunia yang tak semestinya. Kamu masih punya masa depan, ingat ayahmu. Dia pasti mengharapkan yang terbaik buatmu!"
"Tapi aku cinta kamu kak, aku tidak mau kamu pergi!"
Dia memelukku, erat, hangat, ku rasakan itu adalah pelukan yang berbeda dari biasanya. "maafkan aku, karena aku sudah merusak kamu. Kamu gadis yang baik, Rita. Aku yakin kamu akan mendapatkan jodoh seorang pria yang baik!"
Kami larut dalam keheningan, tapi selama itu airmataku tak bisa berhenti mengalir, dia yang membuatku jatuh cinta padanya, dan sekarang dia yang menyuruhku untuk membunuh cinta itu. Aku tahu alasannya pergi bukanlah karena job itu. Tapi dia sengaja pergi agar aku bisa melupakannya, dia tahu bagaimana posisiku. Aku bukanlah seseorang yang bebas seperti dirinya dimana tidak ada seorangpun yang bisa mengaturnya. Aku masih punya ayah, yang tentu saja tidak ingin aku kecewakan, tapi aku sudah mengecewakannya bukan?
Mungkin yang selama ini kami lakukan memang salah, tapi aku mulai membenarkan kalimat yang pernah ia lontarkan padaku di pesta itu, "tak ada yang benar dalam cinta, dan cinta juga tak memiliki salah!" karena perasaan yang ku miliki untuknya begitu lembut dan dalam. Aku bahkan tidak tahu apakah aku akan mampu melupakannya.
Setelah dia pergi, aku memang menjalin hubungan dengan Dimas. Anak teman bisnis ayah itu, karena ayah sangat ingin aku segera menikah. Meski aku tahu aku belum bisa mencintainya, atau bahkan mungkin tidak bisa mencintainya. Karena di sudut hatiku, sudah terpatri satu nama, Lana.
* * * * * Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H