Kak Lana tak bereaksi, diam menatapku. "kemarin ayah mengenalkan aku dengan anak teman bisnisnya, dan berharap kami bisa menjalin hubungan!"
"Bagaimana dia?"
"Aku tak mau menilainya!"
"Kenapa?"
"Karena tak penting bagiku!"
Sejak pembicaraan kami waktu itu, kak Lana jadi jarang menemuiku. Nomornya sering sekali mailbox, aku menjadi resah, apakah dia marah padaku sampai tak mau menjawab teleponku? Hingga suatu hari aku nekat menemuinya di apartemennya. Aku duduk di depan pintunya, menunggunya pulang. Ketika dia tiba, aku langsung saja memeluknya.
"Kamu kemana saja, aku kan kangen!" lalu dia mengajakku masuk, kami duduk bersebelahan meja di dapur. Teh hangat tersaji di depan kami, tapi hanya kepul asap dari dua cangkir itu saja yang bercengkrama. Kami diam hingga teh itu beranjak dingin.
"Kak Lana marah ya sama aku, kok telepon aku nggak pernah di balas?" aku mengawali perbincangan, "aku tidak marah sama kamu!" sahutnya tenang.
"Lalu?"
"Aku hanya berfikir, ayahmu benar. Kamu harus menjalin hubungan dengan seseorang, seorang pria. Lalu menikah, punya anak!"
Aku tertegun, ada rasa sakit yang terselip dalam kalimatnya, aku juga merasakan itu. Kalimatnya jelas sekali bisa ku mengerti dengan cepat, dia ingin hubungan kami berakhir.Â