" Mel, maukah kau menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya.
" Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar.
" Aku tidak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu tidak boleh?"
" Ya, itu memang tidak boleh, seharusnya!" jawabnya.
" Kalau begitu kita harus menikah kan?"
Melanie tertawa...
" Kita masih terlalu muda, Ben!"
" Kau ragu dengan cintaku?" serunya. Membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati.
" Aku sangat mencintaimu, dan cintaku tulus padamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius.
" Ben!" desis Melanie.
Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya di desak dengan keadaan.
" Kita menikah hari ini, dan setelah itu tidak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup bahagia bersamamu, hanya bersamamu!" ungkapnya.
" Aku...aku...!"
" Katakanlah!"
Mata Melanie berkaca-kaca tapi ia belum menangis.
" Aku juga ingin menikah denganmu, kau satu-satunya orang yang ku cintai di dunia ini, aku tak punya alasan untuk menolak kan!"
Sebuah senyum mengembang di bibir Ruben.
" Benarkah?" katanya lagi meyakinkan.
Melanie mengangguk dan bekata lagi.
" Ya, aku juga ingin menikah denganmu, sangat ingin!" ucapnya.
Keduanya tersenyum lebar, kini kedua anak muda itu sedang tak punya jalan lain selain menikah. Saat ini itulah jalan terbaik, menurut mereka.
" O- ya, aku punya sesuatu!" seru Ben sambil merogohkan tangannya ke dalam saku celana bagian kanan, sebuah kotak merah keluar bersama tangannya. Melanie menatap benda itu. Ben membukanya, sebuah cincin emas yang ia beli dari honor hasil manggung di orchesnya bang Iwan selama tiga hari berturut-turut. Ben memungut benda itu, dan membiarkan kotak merahnya jatuh ke lantai.
Ia mengambil telapak tangan kiri Melanie seraya berkata,
" Ini memang bukan berlian yang mahal, tapi percayalah....ini ku beli dari hasil keringatku sendiri, semoga kau suka!" ucapnya dengan senyum penuh harap.
Ben berkata demikian sambil menyematkan cincin itu ke jari manis Melanie. Melanie menatap benda berkilau yang melingkari jarinya. Itu memang hanya emas tapi di mata Melanie ini lebih dari sekedar rasa cinta Ruben yang berusaha untuk membahagiakannya. Dan tidak akan bisa di gantikan dengan apapun di dunia.
Melanie menatap Ben dengan penuh cinta, sebutir airmata menggelinding ketika ia berucap,
" Ini sangat cantik, aku suka!" jawabnya, airmatanya kini bertambah deras. " Aku sangat suka!" ucapnya lagi dalam tangis.
Ben menghapus airmata yang mengalir di pipi gadis itu lalu memeluknya erat, mereka berpelukan seolah dunia akan runtuh. Melanie bahkan tak peduli jika pun Ben tak memberinya sebuah cincin sebagai pinangannya, itu tidak penting. Yang penting adalah cinta yang besar dari pria itu, cinta yang tidak terukur oleh berlian paling mahal sekalipun.
Ben juga meneteskan airmata, tapi ia segera menghapusnya karena tak ingin Melanie tahu tentang airmatanya itu.
" Aku sangat mencintaimu!" ucap Melanie.
" Aku juga mencintaimu!" balas Ben mempererat pelukannya.
Mereka berpelukan lama, menangis bersama. Melanie terisak di pundak Ruben, Ben sendiri menangis dalam diam. Ia tak ingin gadis itu tahu kalau dirinya ikut menangis. Perlahan mereka bergerak bersama, detak jam dinding menjadi alunan merdu yang mengiringi langkah kaki mereka dalam dansa kecil.
Melanie mengusap airmatanya, ia mengangkat kepalanya. Kini mereka bertatapan, dalam dan mesra.
" Ben!"
" Hem!"
" Kau tahu, bertemu denganmu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku dan aku tak pernah menyesalinya, tidak akan pernah!"
" Kenapa bicaramu jadi aneh?"
" Aku hanya merasa sangat bahagia hari ini, terima kasih. Kau telah memberiku kebahagiaan yang sempurna!"
" Aku bahkan tak bisa memberikanmu apa-apa!"
Melanie tersenyum.
" Kau memberiku seluruh cintamu, dan itu sangat indah!"
" Akulah yang sangat bahagia karena Tuhan memberikanmu padaku, aku berharap kau selalu ada di sampingku, karena kau adalah kebahagiaanku!"
" Aku akan selalu ada di sampingmu, selamanya!"
" Berjanjilah?"
" Aku janji!"
Keduanya tersenyum. Melanie menyapukan bibirnya ke bibir Ruben, lembut dan dalam. Memang tak lama, tapi cukup mewakili semua perasaannya. Mereka kembali bertatapan dengan cinta, sayang suara telepon membuyarkan lamunan mereka. Ben mancarinya dan menemukannya di saku belakang celananya.
itu Doni,
" Hallo Don!"
" Ben, jadi nggak? Aku dan pak Uztad udah di masjid nih, beberapa orang juga. Kaya'nya temen kamu juga baru datang tuh ( yang di maksud Rico dan Tomi , tadi Ben menelpon mereka supaya datang ) " kata Doni.
" Oh, sorry, aku lupa. Thanks ya udah ngingetin!" katanya lalu menutup teleponnya.
" Ada apa?"
" Tidak apa-apa, hanya...kita kan mau nikah. Jadi pak Uztadnya udah nungguin!"
" Kau sudah mengundang orang?"
" Hanya pak Uztad sebagai pengulu sekalian wali kamu, dan beberapa teman sebagai saksi. Kita perlu mereka jika ingin sah bukan!"
" Ruben!" desis Melanie.
Melanie tak menyangka kalau ternyata Ben memang ingin menikahinya hari ini, ada rasa bahagia serta haru yang mengaduk hatinya.
" Sebaiknya kita ke sana sekarang, kasihan kalau mereka menunggu terlalu lama!" ajaknya menggandeng Melanie, Melanie menyambut tangan Ruben dan mereka berlari keluar. Menaiki mobil menuju ke masjid. Tapi baru saja keluar dari gerbang pintu, Ben menghentikan laju mobilnya. Ada beberapa mobil yang menghadang mereka. Ben mengenali mobil audi hitam dan mobil pajero itu. Audi itu milik kakaknya Dennis. Sedang Pajero itu yang biasa di pakai oleh orang suruhan Mamanya atau pun suruhan Dennis. Biasa para bodyguard plus mengintai.
Ben keluar dari dalam mobil, begitupun Melanie. Erika muncul menghampiri Ben. Ia melihat Melanie dengan gaun pengantin.
" Apa-apaan ini? Kalian mau kemana?" tanyanya.
" Kami akan menikah!" jawab Ben.
" Menikah! Ben, kau masih kecil!"
" Aku bukan anak kecil ma!"
" Tapi kau belum pantas untuk menikahn apalagi dengan gadis itu!" tudingnya pada Melanie.
Terlihat Dennis keluar dari mobil tapi kali ini dia hanya diam saja, tak ikut angkat bicara atau memaki Melanie seperti yang di lakukannya selama ini. Beberapa orang juga keluar daro mobil pajero. Ben berjalan memutar dan menghampiri Melanie, menggenggam tangannya. Sedikit menyembunyikan Melanie di belakang tubuhnya untuk melindunginya. Melanie nampak sedikit takut, ia mempererat genggaman tangan Ruben di tangannya.
Hal seperti inilah yang mereka takutkan, Erika melangkah mendekati keduanya.
" Ben, gadis ini tidak akan pernah pantas untukmu, lebih baik sekarang ikut mama pulang!"
" Tidak, aku tidak akan pulang!"
" Kau ini!" kesal Erika, ia melirik Dennis yang berdiri tak jauh dari mobilnya.
" Dennis, kenapa kau diam saja? Bantu mama membawa adikmu!"
" Ma, kenapa kita tak beri mereka kesempatan untuk bersama!"
Erika menoleh, " Apa! Kau ini bicara apa? Bukannya membantu mama!"
" Maaf ma, kali ini Dennis tak sependapat dengan mama!"
Jawaban Dennis membuat Erika kesal. Ia memberi isyarat kepada para bodyguardnya untuk memisahkan Melanie dengan Ruben.
Kelima orang itu menghampiri keduanya, tiga di antaranya memegang Ruben, dan dua lagi merengkuh Melanie. Memisahkan keduanya secara paksa.
" Tidak!" seru Ben, " lepaskan, lepaskan kami!" serunya meronta, pada akhirnya tangan Ben dan Melanie yang sedari tadi berpegangan terlepas juga, dan mereka terpisah . Melanie juga meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan dua orang berbadan besar itu. Sebenarnya tadi Dennis ingin membantu adiknya, tapi entah kenapa ia hanya bisa diam di tempatnya berdiri.
Ben melawan hingga berkelahi dengan ketiganya. Erika menghampiri Melanie dan langsung menamparnya hingga ia berhenti meronta.
" Kau....apa kau tidak sadar juga siapa dirimu? Kau pikir kau pantas menikah dengan putraku, dasar sampah!" makinya.
Melanie menolehnya, menatapnya. Ya, kini ia berani menatapnya. Dua orang yang memegangnya sudah melepaskan tangannya. Sementara Ben masih berkelahi, salah seorang bodyguard yang tadi memegang Melanie kini berjalan dan hendak membantu ketiga temannya meringkus anak majikannya, tapi Dennis menghalanginya. Akhirnya mereka malah berkelahi sendiri.
" Katakan berapa yang kau mau, aku akan memberikan berapapun yang kau mau asal kau tinggalkan Ruben!" seru Erika.
" Aku tidak mau uang kalian, bukan itu yang aku mau!"
" Omong kosong, pada akhirnya kau itu sama saja. Hanya memanfaatkan Ruben!"
Melanie menggeleng pelan.
" Tidak!"
" Lebih baik sekarang kau pergi, dan jangan kembali lagi. Atau kau mau lihat Ruben seperti itu?" tunjuk Erika. Melanie melihat Ben yang sedang berkelahi, airmata mulai muncul lagi, mengaliri pipinya.
" Simpan airmata buayamu, jangan kau pikir aku akan kasihan padamu dengan airmata itu! Kau tidak akan bisa menipuku!" hardiknya.
" Aku mencintai Ruben, aku sangat mencintainya!" tangisnya, tapi sebuah tamparan keras mendarat lagi ke wajahnya, kali ini lebih keras sehingga Melanie terpental ke tengah jalan. Bertepatan dengan itu ternyata ada sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi. Melanie tak sempat menghindar, ia terpental jauh dan terguling beberapa kali ke aspal.
*****
Suara jeritan Melanie yang hanya sekejap dan derit ban mobil karena rem mendadak menghentikan semua orang, mereka berdiri terpaku menoleh arah suara itu. Sementara mobil yang menabrak tubuh Melanie malah tancap gas alias kabur. Ruben melihat sesosok tubuh terkolek di tengah jalan, seorang wanita bergaun pengantin warna putih dengan noda merah di beberapa sisi. Erika diam terpaku melihat hal itu.
" Mel!" desis Ruben, " Melanie...!" teriaknya berlari ke arah wanita itu tersungkur, kali ini tak ada yang menghalangi. Ben berlari kencang menghampiri tubuh Melanie yang bersimpah darah, ia memungutnya ke dalam pangkauannya.
Melanie masih bernafas, tapi sepertinya lukanya sangat parah. Darah ada dimana-mana, keluar dari segala arah. Hidung, mulut, kepala, bahkan bagian tubuhnya juga. Ben meraba wajahnya. Airmata mengucur begitu saja.
" Mel, bertahanlah. Kita ke rumah saki. Jangan takut, aku di sini!" tangisnya hendak membawa tubuh Melanie, tapi Melanie menahan diri. Menghentikan aksi Ruben, Ben terdiam memandangnya. Gadis itu menggeleng pelan.
" Ma-afkan a-ku!" itu yang keluar dari mulutnya.
" Tidak!" sahut Ben dengan airmata.
" Maaf-kan aku, aku....aku tak bisa!"
" Tidak, jangan katakan apapun. Aku akan membawamu ke rumah sakit!"
" Tidak!" tahannya sambil menggeleng. " Ben, sepertinya-aku....tidak bisa-me-nikah denganmu!" katanya terbata. Ben menangis sambil menggeleng.
" Maafkan aku, aku tidak bisa-menepati jan-jiku pada-mu!"
" Kau sudah janji, kau berjanji padaku untuk tetap di sampingku, kau tidak boleh tidak menepati janji!" pintanya.
Melanie mengangkat tangannya yang berlumur darah, meraba wajah Ruben. Menghapus airmatanya.
" Aku mencintaimu, dan aku bahagia pernah bersamamu!"
" Jangan bicara lagi!"
" Berjanjilah padaku Ben, kau-kau akan hidup bahagia-demi aku, demi dirimu sendiri. Berjanjilah, kau-tidak akan - menyia-nyiakan hidup-mu lagi!"
" Tidak!" tangis Ben lagi.
" Berjanji-lah padaku!"
" Jangan bicara lagi, kau tidak akan kemana-mana, kau sudah janji padaku, kau janji tidak akan meninggalakn aku!"
" Aku- tidak a-kan kemana-mana, aku akan selalu di-sam-pingmu, kau jangan takut kare-na-aku ti-dak takut!"
" Hentikan Mel!"
" Kau belum berjanji, Ben!"
Ben tak bisa menjawab hal itu, ia hanya bisa menangis. Memeluk tubuh mungil tak berdaya itu lebih erat lagi.
" Mereka orang tuamu, " bisiknya, " keluargamu, kau-jangan mem-benci!"
" Cukup Mel!" pintanya.
" Asha-du alla-illa ha-illallah, waas hadu-anna..... !" Melanie melanjutkan kalimat sahadatnya, lalu tersenyum dan memejamkan matanya, tangannya yang berada di wajah Ruben pun terkulai jatuh. Ben sangat terkejut, sesaat rasanya ia berhenti bernafas, jantungnya berhenti berdetak.
" Mel, Melanie!" desisnya, tangisnya pecah," tidak! Tidak, jangan. Melanie....tidakkk!" teriaknya memeluk tubuh bersimpah darah itu kuat-kuat. Memeluknua erat seakan tak mau lepas. Ia menangis sejadi-jadinya.
Suara tangis Ruben yang menggema membuat tubuh Dennis lemas seketika, perlahan ia mundur dan jatuh di dekat mobilnya, airmatanya mengalir deras tanpa bisa ia tahan, menemani tangis adiknya. Hatinya cukup perih melihat Ruben seperti itu.
Erika masih berdiri mematung, menyaksikan gadis itu terlempar oleh mobil yang menabraknya, dan kini putranya memeluk tubuh gadis itu dengan jeritan yang membuat hatinya pedih. Tanpa terasa sebutir airmata menggelinding dari matanya yang berwarna grey seperti Ruben.
Sementara Ruben masih memeluk tubuh Melanie dengan airmata dan tangisan tiada henti. Harusnya hati ini mereka menikah, harusnya hari ini mereka bahagia. Bukan seperti ini, bukan sepert ini!
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H