Mohon tunggu...
wulan sybil
wulan sybil Mohon Tunggu... profesional -

Saya adalah anak Adam yang menurut orang-orang bilang, anak gak jelas. karna ayahnya orang Jogja, ibunya orang Surabaya, tapi aku dilahirkan dan besar di Sulawesi. hmm.. mungkin aneh juga sih, tapi coba berpikir realistis, gak salah kan kalo orang tuaku siapa tau aja dulu tinggal di Jakarta, trus rumahnya kebanjiran terus, ya.. jadinya pindah aja ke Sulawesi yang banyak pegunungannya. dan sebentar lagi Sulawesi juga pohonnya dah banyak yang nebang, pindah ke mana lagi ya...?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Patonah

18 November 2011   07:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:30 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Bau tubuhnya sudah menyengat sampai beberapa meter jauhnya. Rambutnya yang diikat

menggunakan sisa-sisa kain seadanya terlihat sangat kumal, mungkin sudah tak dikeramas dalam

beberapa hari ini. Di kakinya, lumpur kecoklatan yang melengket sudah kering sebelum sempat tersiram

air.  Maklum beberapa hari ini cuaca sedang tak menentu di kota Kendari, kadang hujan deras

berjaam-jam, kadang juga tiba-tiba panas datang sangat menyengat. Tak pelak, jalanan becek dan

berlumpur. Bahkan sebagian jalanan masih ada yang terendam banjir.
Aku sangat bosan dengan cuaca seperti ini. Dan kukira, semua orang juga tak suka dengan

keadaan yang seperti ini. Kecuali, ya kecuali pengantin baru tentunya. Jika aku saja tak suka dengan hal

ini, apalagi bagi perempuan itu yang pekerjaan keseharianya menjual jamu keliling, tentu cuaca yang

tak bersahabat ini sangat tak nyaman untuknya. Bahkan akan menghalanginya untuk mendapatkan

rejeki yang lebih banyak. Aku kasihan melihatnya. Ia harus berkeliling kota menjajakan segelas demi

segelas jamu pada masyarakat. Padahal warga di jarang yang hobi minum jamu. Ritual itu hanya

digemari pendatang suku Jawa, Madura atau Bali yang memang senang menggunakan jamu sebagai

obat tradisional untuk mencegah penyakit. Tapi, sudah melalui jamu di botolnyalah ia mendapatkan

rejeki. Mungkin Tuhan sudah menetapkan garis tangannya bahwa ia harus jadi penjual jamu.
****

Seperti hari ini, setelah tadi subuh hujan sangat deras, siang ini justru panas sangat terik. Di

sekeliling jalanan kuamati seluruh bagian-bagian kota. Mataku menjelajah seluk-seluk kota yang masih

terlihat sangat jorok dan penuh sampah. Ya, bagian kota lama ini, tepat di depan kios-kios perhiasan

emas, air got yang menggenang terlihat sangat keruh kehitam-hitaman. Sampah yang menumpuk dan

air yang menggenang membuatnya menjadi lumpur yang sangat bau. Melihatnya saja aku ingin muntah.

Hanya para tukang ojek yang berebut penumpang dan aheng sopir angkot yang bertahan nongkrong di

tempat seperti ini.
Di antara bangunan-bangunan tua kota ini, kulihat perempuan itu tengah menawarkan

dagangannya yang tak lain adalah jamu. Seharusnya di hari yang sesiang ini jamunya sudah habis. Dan

dia sudah bisa pulang ke rumah dengan membawa sayur yang akan dimakan siang ini. Jika dia belum

pulang, berarti di rumah belum ada makanan dong. Hmm… salahku juga, tadi aku tak sarapan, jadi

siang ini aku harus puasa. Aku tak bisa mengharapkan akan cepat makan siang ini, karna aku yakin

perempaun itu tak akan pulang sebelum jualannya habis terjual.  Aku tau betul sifatnya, pekerja keras

yang sangat pantang menyerah.
Dan karna sifatnya itulah aku sangat bangga kepadanya. Walaupun dia hanya penjual jamu,

aku tau itu pekerjaan yang halal. Sudah lebih dari dua puluh tahun dia menekuni pekerjaanya sebagai

tukang jamu. Mungkin sudah bermil-mil jarak yang ditempuh jika saja dikumpulkan dari waktu ke waktu

sejak aku kecil dulu. Tapi, betis perempuan itu mungkin betis ciptaan Tuhan yang sangat spesial,

sehingga masih mampu menopang badan ibu selama bertahun-tahun. Walaupun badannya kian ringkih,

keriput-keriput di wajahnya kian rapat, matanya kian sayu, dan tak sedikit mulai ditumbuhi katarak yang

berseliweran di kelopak matanya. Namun ia tetap tersenyum bangga kepaku, menyunggingkan senyum

setiap pulang. Dan selalu memberi semangat padaku ketika pagi datang, agar tak bernasib sama

sepertinya.
Perempuan itu selalu mengatakan, ” kamu harus bisa jadi orang, walaupun pekerjan Ibu jadi

penjual jamu, namun nasib bisa saja berubah, dan Tuhan tak akan mengubah nasib manusia kecuali

manusia itu sendiri yang mengubahnya. Makanya sekarang kamu harus sekolah biar gak kayak ibu” itu

adalah kata-kata perempuan itu yang sudah entah keberapa kalinya aku dengarkan.
Jika sudah begini, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Mungkinkah dari tangan seorang pejual

jamu aku bisa menjadi guru atau menjadi sekertaris di sebuah perusahaan? Ah orang jawa bilang "Guru

jamu" atau "Sekertaris Jamu".
****

Aku tak tau yang sebenarnya. Ketika aku berumurtuju tahu, ketka aku duduk di bagku SD, kata

guruku Ibu itu adalah orang tua perempuan kita. Tapi aku tak tau yang sebenarnya, apakah perempuan

itu memang ibuku atau bukan, aku tak paham. Teman-temanku juga memiliki ibu, dan mereka sangat

dekat dengan ibunya. Kadang aku membayangkan mereka seperti lakon sinetron keluarga cemara. Tapi

aku tak pernah seperti itu. Kedekatanku pada Ibu hanya sebatas ia memberiku nafkah dan

menasehatiku. Itu pun hanya sedikit saja, dan hanya itu-itu saja. Hari-hariku lebih banyak diisi

kekosongan dan kebisuan. Perempuan itu tak pernah memanggilku “nak”, juga pernah memelukku,

apalagi menciumku seperti yang dikatakan teman-temanku, ketika mereka berangkat sekolah, mereka

pasti akan mencium tangan ibunya, dan ibunya pun akan mencium pipi anaknya. Oh… indahnya jika itu

juga terjadi padaku. Dunia ini terasa sangat sepi. Tapi aku hanya punya Dia.
Mungkin benar kata perempuan ini, dan mungkin juga memang benar dia adalah ibuku.

Semenjak aku bisa membuka mata. Dialah yang aku panggil Ibu, walaupun sering jika aku

memanggilnya tak menggunakan sebutan Ibu. Dan aku tau dia tulus memenuhi segala kebutuhanku

walaupun aku tak pernah memintanya. Dan tentu seorang Ibu ingin anaknya hidup bahagia seperti yang

dia inginkan. Itu memang keinginan mulia darinya, walaupun hanya bekarja sebagai tukang jamu namun

perempuan yang biasa dipanggil Patonah ini tak pernah putus asa, dan selalu berusaha bagaimana agar

anaknya dapat bersekolah dengan baik.
Aku anak semata wayang di rumah perempuan ini, namun aku tak pernah mendapatkan kasih

sayang sebagai seorang anak. Apa mungkin karna ibuku ini sudah capek atau apa, yang pastinya sejak

ayahku tak pernah lagi muncul di rumahku ini, ibu pun juga tak pernah menganggapku ada.

Betahun-tahun aku didiamkannya, hingga suatu hari, aku ingat ibu membawaku ke suatu tempat dan

ibuku mengatakan bahwa itu adalah sekolah, aku harus belajar di tempat itu dan tak boleh nakal. Itulah

yang ku ingat ibuku pertama kali mengucapkan kata-katanya setelah Ayah menghilang.

***

Aku masih ingat, dulu aku sangat bahagia tinggal di rumah yang sangat sempit ini. Rumah

kos-kosan papan sederhana yang hanya terdiri dari satu kamar utama, satu ruang tamu, dan satu

ruangan lagi yang disekat dari ruang tamu yang ditempati oleh seorang perempuan yang aku sebut

“tante’. Aku biasa bermain-main dengan Ayahku, dan perempuan itu sementara ibuku memasak.

Dapurku hanyalah halaman belakang yang ditutup dengan papan-papan rusak sebagai dindingnya.
Ayahku bekerja sebagai sopir mobil angkot jurusan kota-kampus. Sebagai seorang sopir, uang Ayah

mungkin sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Karna aku sering

mandengar Ibuku kekurangan uang belanja dan bertengkar dengan ayah. Tapi pertengkaran Ibu sangat

santun. Tak pernah Ibu membentak-bentak Ayah hingga terjadi insiden keributan atau bahkan

kekerasan.
Ketika ibu menjual jamunya, aku tinggal berdua bersama tanteku. Dia perempuan yang baik

padaku. Jika aku ingin makan atau pipis, tante yang selalu melayaniku. Dia juga baik pada ayahku, dia

biasa menyiapkan makanan sisa sarapaan pagi untuk Ayah ketika pulang sebentar sewaktu bawa mobil.

Dan ayah juga baik padanya, dia sering membelikan sesuatu yang diberikan kepada tanteku. Hingga

tante dapat tertawa dengan sangat senang dikamarnya.
Walaupun ibu sering bertengkar dengan ayah, namun ibu tetap sabar dan berusaha untuk

mencukupi kebutuhannya dari jualan jamu keliling. Adik ibuku yang hanya tamatan SMP sangat susah

mencari pekerjaan yang hanya sekedar cukup untuk memenuhi keutuhannya sendiri. Jika ada, itu pun

hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan ayahku, tak setuju jika adik iparnya itu harus dipekerjakan

sebagai pembantu rumah tangga. Ia berjanji untuk mencarikan pekerjaan yang lebih baik selain

pembantu rumah tangga. Sehingga tanteku hanya menganggur luntang luntung tak jelas karuannya.
Walaupun ibuku sering merasa kurang dengan penghasilan ayahku, dan biasa hidup dengan

serba kekurangan. Tapi nyatanya, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa dan ibukulah yang terpaksa

harus mancukupinya. Tapi walaupun ibu dengan susah payah sudah mambantu ayah, sepertinya ayah

tepat santai-santai saja, dan ia masih bisa membelikan barang-barang yang disukai tante, bedak, jam

tangan, dan pernak-pernik lainnya yan tentunya tak diketahui oleh ibuku. Sementara ibu harus

menambah jam berjualannya agar menambah penghasilan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami

***
Suatu pagi, aku heran, ketika aku bangun pagi biasanya ibu sudah tidak ada. Tapi, pagi ini ibu

ada di rumah. Atau barangkali ibu belum berangkat. Tapi, tak ada juga barang-barang yang biasa di

bawa ibu ketika menjual jamu keliling. Tanpa bicara dan masih dalam diam, aku berlari ke dapur, dan

ternyata, oh… barang-barang bawaannya ibu masih tersusun rapi. Tak ada warna-warna merah bekas

kunyit yang biasa berceceran di lantai tanah belakang tempat memasakku ini, dan semuanya masih

terlihat sangat rapi.
Kulihat mata ibu merah dan sangat sembab. Aku tak pernah melihat hal aneh ini sebelumnya.

Apa yang telah terjadi aku pun tak paham, yang aku lihat pagi ini terbalik. Ayah tak ada di rumah, dan

ibu ada di rumah dalam tatapan kosong, bengong dengan mata sembab, dan membiarkanku kelaparan.

Untung ada tanteku yang menyendokkanku nasi, sehingga aku tak kelaparan. Kulihat tante berperilaku

aneh hari ini. Tak ada lagi senyum renyahnya bersama ayahku. Dia sangat pediam dan tak berani

manatap ibuku.
***

Hari itu adalah hari terakhir ketika kulihat ayahku pulang siang, yang kemudian disiapkan

makan siang oleh tanteku. Ayah hari itu sangat bahagia. Ayah memeluk tanteku dn menggendong ke

kamarnya, aku sudah biasa melihat hal ini terjadi berulang-ulang. Dan aku juga sering di gendong oleh

ayahku. Aku tak heran jika ayah juga selalu menggendong tanteku. Ayah hanya menggendongku ketika

menunggui ibuku memasak atau menunggu sarapan. Tapi, jika Ayah sudah menggendong tanteku, ayah

selalu membawa tanteku di kamar. Dan pintu kamar tanteku akan tertutup. Aku disuruhnya main-main

sendiri di sekitar rumahku. walaupun aku tak punya teman di sekeliling rumahku. Sehingga aku hanya

berdiam diri di rumah. Aku tak tau apa yang dilakukan tante dan ayahku. Aku selalu mendengar suara

yang aneh-aneh. Hingga suatu hari, ayah tak kunjung keluar-keluar dari kamar tanteku. Aku sangat

kesepian.     Aku ingin makan, tapi tante tak kunjung keluar-keluar juga. Dari kejauhan aku

melihat ibu pulang dengan membawa sayur yang agak banyak dibanding hari-hari sebelumya. Tumben

ibu membawa sayur yang cukup banyak. Mungkin uang yang diperoleh ibu hari ini banyak. Dari

kejauhan, aku mengejar ibu dan berlari menjemput ibu:

“ibu, ibu, aku ingin makan, Santi lapar bu,,,” aku merengek pada ibuku

“loh, memangnya mana tantemu?”

“tante masih di kamarnya dengan ayah”

Sejenak ibu berhenti, dia melihat mataku. Ada pertanyaan di sana. Namun ibu hanya diam, dan bergegas

menuju rumahnya. Dan semuanya disaksikan sendiri oleh ibu ketika ia membuka paksa kamar tante.

***

Jika kini ibuku mampu untuk menopang semua kebutuhanku, aku sudah yakin ibu dapat

melakukannya dengan mudah tanpa harus bergantung pada laki-laki lain. Jika sekarang ibuku pendiam,

mungkin itu dikarenakan akibat luka masa lalu ibu. Kini aku sudah bisa berpikir, dan menerka apa yang

terjadi pada perempuan ini. Tapi aku tak pernah mengungkit hal ini. Aku sudah cukup paham. Aku tak

ingin menambah luka hati perempuan yang sudah semakin tua ini.
Aku kini tak punya lagi teman selain dia. Orang tua keriput yang katanya ibuku. Aku juga tak

lagi mengetahui di mana tanteku sekarang. Katanya ibuku, tante kini telah mempunyai keluarga sendiri.

Yah… mungkin itu benar, karena tak lama setelah ayah pergi. Tante punya anak, dan aku memiliki adik

sepupu dari tanteku. Sayang tak lama setelah itu tante tak lagi tinggal di rumahku. Padahal aku sangat

bahagia mempunyai teman baru yang lucu. Aku masih ingat waktu itu tante sempat mencium pipiku.

Aku juga tak pernah melihat, mana yang disebut suami tanteku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun