Mohon tunggu...
Wifqi Rahmi
Wifqi Rahmi Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S3 Ilmu Kependidikan Undiksha Singaraja Bali

Saya adalah seorang Kepala Madrasah di sebuah madrasah negeri di Kabupate Jembrana. Hoby saya adalah badminton. Saya tertarik dengan dunia pendidikan, sain dan teknologi. saat ini saya sedang menempuh program doktoral (S3) di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali .

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Pendidikan sebagai Sarana Pembentukan Demokrasi

3 Desember 2024   07:30 Diperbarui: 3 Desember 2024   07:34 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses Pemilihan Pengurus OSIS  (Sumber: Dokumen MTsN 3 Jembrana Bali)

PENDAHULUAN

Pendidikan dan demokrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dan saling memengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan berperan sebagai sarana pembentukan demokrasi melalui pengembangan individu yang sadar akan hak dan kewajibannya, mampu berpikir kritis, serta aktif dalam kehidupan sosial dan politik. 

Demokrasi, di sisi lain, membutuhkan fondasi masyarakat yang terdidik agar dapat menjalankan sistemnya secara efektif. John Dewey (1916), seorang filsuf pendidikan terkemuka, menekankan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai mekanisme untuk mengembangkan potensi manusia agar dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang demokratis.

Di negara-negara maju, seperti di Skandinavia, pendidikan yang inklusif dan berkualitas tinggi menjadi penopang demokrasi yang stabil. Sistem pendidikan di negara-negara tersebut dirancang untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial sejak usia dini. Hoskins et al. (2017) mencatat bahwa pendidikan di wilayah ini telah berhasil menciptakan masyarakat yang aktif secara politik dan sosial. 

Di sisi lain, negara-negara berkembang sering kali menghadapi tantangan besar dalam memanfaatkan pendidikan sebagai sarana demokrasi. Masalah seperti ketimpangan akses pendidikan, kurangnya literasi media, dan intervensi politik dalam kurikulum menjadi penghambat utama peran pendidikan sebagai katalis demokrasi.

Dalam era digital yang semakin kompleks, peran pendidikan menjadi semakin signifikan. Kemampuan untuk memilah informasi dari berbagai sumber, mengenali berita palsu (hoaks), dan mengambil keputusan secara rasional merupakan keterampilan penting yang harus diajarkan dalam sistem pendidikan modern.

 Tanpa pendidikan yang memadai, masyarakat rentan terhadap manipulasi informasi yang dapat melemahkan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, pendidikan juga berfungsi sebagai media untuk memperkuat kohesi sosial, mengurangi konflik horizontal, dan mendorong terciptanya keadilan sosial.

Di Indonesia, pendidikan memiliki peran strategis dalam mendukung perkembangan demokrasi. Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar dan beragam, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi isu utama. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup individu, tetapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Lebih lanjut, intervensi ideologis dan politis dalam sistem pendidikan sering kali menjadi kendala besar dalam upaya menciptakan pendidikan demokratis. Di beberapa negara, kurikulum dirancang untuk mencerminkan ideologi tertentu yang mungkin bertentangan dengan prinsip demokrasi universal. Hal ini dapat membatasi kebebasan akademik dan menghambat pengembangan keterampilan kritis yang diperlukan untuk partisipasi politik yang efektif. 

Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan strategi yang dapat mengatasi tantangan-tantangan ini, seperti pengembangan kurikulum yang netral dan inklusif, peningkatan akses pendidikan di wilayah terpencil, serta penguatan literasi media untuk melawan disinformasi.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis peran pendidikan sebagai sarana pembentukan demokrasi. Secara khusus, pembahasan akan mencakup peran strategis pendidikan dalam mendukung nilai-nilai demokrasi, metode pendidikan yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, serta tantangan utama yang dihadapi dalam implementasinya. 

Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara pendidikan dan demokrasi, diharapkan dapat ditemukan solusi yang relevan untuk meningkatkan efektivitas pendidikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih demokratis.

Selain itu, artikel ini juga akan mengkaji berbagai contoh praktik pendidikan demokratis dari berbagai negara sebagai pembelajaran bagi Indonesia. Dengan pendekatan ini, pembahasan tidak hanya memberikan kontribusi teoritis, tetapi juga menawarkan rekomendasi praktis yang dapat diterapkan dalam konteks lokal. 

Pendidikan yang berkualitas tidak hanya mencetak individu yang cerdas, tetapi juga membangun masyarakat yang inklusif, kritis, dan toleran---fondasi yang esensial bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

PEMBAHASAN

A. Peran Pendidikan dalam Demokrasi

Pendidikan memiliki peran fundamental dalam membangun dan memperkuat sistem demokrasi. Peran ini tidak hanya terbatas pada memberikan pengetahuan dasar kepada warga negara, tetapi juga mencakup pengembangan keterampilan dan nilai-nilai yang mendukung keberlangsungan demokrasi.

 Dalam konteks ini, pendidikan menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat yang sadar politik, mampu berpikir kritis, serta aktif dalam partisipasi sosial dan politik. Berikut adalah beberapa dimensi utama dari peran pendidikan dalam demokrasi.

1. Membangun Kesadaran Politik

Kesadaran politik adalah elemen inti dari masyarakat demokratis. Pendidikan memainkan peran sentral dalam meningkatkan pemahaman individu terhadap hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai warga negara, serta memberikan pengetahuan tentang sistem politik dan mekanisme demokrasi.

a. Pemahaman tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pendidikan formal, khususnya melalui mata pelajaran kewarganegaraan, memberikan dasar yang kokoh mengenai hak asasi manusia, tanggung jawab sosial, dan struktur pemerintahan. Sebagai contoh, kurikulum pendidikan di negara-negara Skandinavia mengintegrasikan konsep demokrasi ke dalam pembelajaran sejak dini, sehingga siswa tidak hanya memahami hak-hak mereka tetapi juga pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial (Hoskins et al., 2017).

b. Peningkatan Partisipasi dalam Proses Politik

Partisipasi politik, seperti memberikan suara dalam pemilu, bergabung dalam organisasi sosial, atau terlibat dalam diskusi publik, sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu. Pendidikan memberikan wawasan tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan kolektif. Studi Westheimer dan Kahne (2004) menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan kewarganegaraan yang baik lebih cenderung berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik, yang pada akhirnya memperkuat sistem demokrasi.

c. Pemberdayaan Masyarakat Marjinal

Pendidikan juga memiliki peran penting dalam memberdayakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Di banyak negara, program pendidikan inklusif dirancang untuk memastikan bahwa kelompok minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk memahami dan berpartisipasi dalam sistem politik. Dengan demikian, pendidikan menjadi alat untuk mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.

2. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memahami informasi secara objektif. Kemampuan ini sangat penting dalam demokrasi, di mana warga negara diharapkan dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang relevan dan akurat.

a. Melatih Kemampuan Analisis Objektif

Di era digital, banjir informasi sering kali diiringi oleh penyebaran berita palsu dan propaganda. Pendidikan yang menanamkan literasi media membantu individu untuk memverifikasi fakta dan membedakan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan. Di Finlandia, literasi media merupakan bagian penting dari kurikulum pendidikan. Siswa diajarkan untuk mengenali bias informasi dan propaganda, yang pada akhirnya membantu mereka menjadi pemilih dan warga negara yang lebih cerdas (Kupiainen, 2019).

b. Memfasilitasi Diskusi yang Konstruktif

Keterampilan berpikir kritis juga penting dalam diskusi kelompok dan debat publik, yang merupakan elemen inti demokrasi deliberatif. Pendidikan yang mendorong siswa untuk terlibat dalam diskusi dan kerja sama tim memperkuat kemampuan mereka untuk mendengarkan sudut pandang berbeda, menganalisis argumen, dan mencari solusi yang terbaik.

c. Meningkatkan Pengambilan Keputusan

Pendidikan yang menekankan pada logika dan analisis membantu individu untuk membuat keputusan berdasarkan data dan fakta yang relevan. Dalam konteks demokrasi, hal ini menjadi penting karena banyak keputusan kolektif membutuhkan pemahaman mendalam terhadap isu-isu yang kompleks.

3. Meningkatkan Partisipasi Sosial

Pendidikan tidak hanya berfungsi untuk menciptakan individu yang sadar politik, tetapi juga untuk mendorong keterlibatan mereka dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Partisipasi sosial adalah salah satu fondasi demokrasi, di mana warga negara aktif dalam komunitas mereka untuk menciptakan perubahan positif.

a. Memperkuat Kohesi Sosial

Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai demokrasi seperti toleransi, empati, dan solidaritas membantu menciptakan masyarakat yang kohesif. Kohesi sosial ini penting untuk mencegah konflik horizontal dan mempromosikan stabilitas politik.

b. Mendorong Keterlibatan dalam Organisasi Sosial

Pendidikan juga berperan dalam meningkatkan keterlibatan individu dalam organisasi masyarakat sipil. Organisasi semacam ini sering kali menjadi wadah bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mempengaruhi kebijakan publik.

c. Mengurangi Konflik dan Polarisasi

Dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan kerja sama, pendidikan membantu mengurangi konflik dan polarisasi dalam masyarakat. Hal ini penting terutama di negara-negara dengan keberagaman etnis dan agama yang tinggi, seperti Indonesia.

4. Mengembangkan Nilai-Nilai Etika dan Moral

Selain keterampilan dan pengetahuan, pendidikan juga berperan dalam menanamkan nilai-nilai etika dan moral yang mendukung demokrasi. Nilai-nilai ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan, dan kebebasan individu.

a. Menanamkan Nilai Toleransi

Toleransi adalah salah satu nilai inti dari demokrasi. Melalui pendidikan, individu diajarkan untuk menghormati perbedaan dan menghargai hak orang lain. Ini penting dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis.

b. Mengajarkan Pentingnya Keadilan Sosial

Pendidikan juga memainkan peran dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial. Dengan pemahaman ini, individu lebih cenderung untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan orang lain dalam sistem demokrasi.

Dengan berbagai peran strategis yang dimilikinya, pendidikan tidak hanya menjadi fondasi bagi demokrasi yang sehat tetapi juga berfungsi sebagai katalisator perubahan sosial. Namun, untuk mewujudkan peran ini secara optimal, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif dalam sistem pendidikan.

 

B. Metode Pendidikan untuk Mendorong Demokrasi

Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat yang demokratis. Melalui metode yang tepat, pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai demokrasi dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut ini adalah pengembangan dari dua metode pendidikan yang dapat mendorong demokrasi:

1. Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan adalah strategi utama dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi di kalangan generasi muda. Pendidikan ini tidak hanya bertujuan untuk memberi pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga untuk mengembangkan kesadaran sosial dan keterlibatan aktif dalam kehidupan politik dan sosial.

a. Pengajaran Nilai-Nilai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Pendidikan kewarganegaraan berfokus pada pengajaran nilai-nilai dasar demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. Melalui kurikulum yang berfokus pada hak asasi manusia (HAM), siswa diberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga hak individu dan kolektif dalam masyarakat. Pendidikan ini bertujuan untuk membangun pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar demokrasi yang mengutamakan hak asasi manusia dan menghargai keberagaman.

Pentingnya pendidikan berbasis hak asasi manusia ditegaskan oleh laporan UNESCO (2021), yang menyatakan bahwa kurikulum berbasis demokrasi dapat meningkatkan kesadaran siswa terhadap pentingnya inklusivitas dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 

Mengajarkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan merupakan langkah awal dalam menumbuhkan sikap demokratis pada generasi muda. Di samping itu, siswa diharapkan tidak hanya memahami teori tentang demokrasi, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, pengajaran mengenai kebebasan berpendapat, hak untuk memilih, dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum mendorong siswa untuk menghargai dan menuntut hak-hak mereka. Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan dapat berfungsi sebagai jembatan antara teori dan praktik demokrasi, memberi kesempatan bagi siswa untuk melihat relevansi nilai-nilai demokrasi dalam situasi nyata.

b. Memberikan Pemahaman tentang Sistem Pemerintahan

Salah satu komponen penting dari pendidikan kewarganegaraan adalah memberikan pemahaman yang mendalam tentang struktur pemerintahan, proses legislatif, dan mekanisme pemilu. Pendidikan ini membekali siswa dengan pengetahuan mengenai bagaimana pemerintahan bekerja, serta bagaimana warga negara dapat terlibat dalam proses pembuatan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Pengenalan terhadap sistem pemerintahan yang berlaku, baik itu demokrasi parlementer, presidensial, maupun sistem campuran, memungkinkan siswa untuk memahami bagaimana keputusan politik dibuat dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Program pendidikan ini sangat penting untuk menghindari ketidakpahaman atau apatisme terhadap politik, yang sering kali menjadi masalah di kalangan generasi muda. Sebagai contoh, di Jerman, pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian wajib dari kurikulum sekolah menengah, yang mengajarkan siswa tentang sistem pemerintahan Jerman yang demokratis dan pentingnya partisipasi aktif dalam pemilu (Hoskins et al., 2017).

Melalui pemahaman ini, siswa diharapkan dapat lebih kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan memahami peran mereka dalam proses demokrasi. Pemahaman yang mendalam tentang sistem pemerintahan juga mengurangi ketidakpercayaan terhadap politik, sehingga mendorong keterlibatan yang lebih aktif dan produktif dalam kehidupan publik.

2. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning)

Pembelajaran berbasis proyek (PBL) adalah metode pendidikan yang menekankan keterlibatan aktif siswa dalam proyek nyata yang berfokus pada isu sosial dan politik. Metode ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial, kolaborasi, dan berpikir kritis, yang semuanya sangat relevan dalam konteks demokrasi.

a. Mengajak Siswa Terlibat dalam Isu Sosial

Salah satu elemen kunci dalam pembelajaran berbasis proyek adalah melibatkan siswa dalam analisis isu sosial yang relevan dengan kehidupan mereka. Proyek seperti simulasi pemilu, debat politik, atau analisis isu lingkungan memberikan siswa kesempatan untuk merasakan bagaimana demokrasi bekerja dalam praktik, serta bagaimana proses pengambilan keputusan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Proyek semacam ini mengajak siswa untuk tidak hanya memahami teori tentang demokrasi, tetapi juga untuk mengaplikasikannya dalam konteks yang nyata. Misalnya, dengan melakukan simulasi pemilu, siswa dapat mempelajari bagaimana proses pemilu dijalankan, memahami pentingnya hak suara, serta bagaimana hasil pemilu dapat memengaruhi kebijakan negara. 

Begitu pula dengan proyek analisis isu lingkungan, di mana siswa dapat belajar tentang pengambilan keputusan berbasis bukti dan cara-cara untuk mempengaruhi kebijakan publik terkait isu-isu penting, seperti perubahan iklim.

Pembelajaran berbasis proyek tidak hanya mengembangkan keterampilan intelektual siswa, tetapi juga keterampilan sosial, seperti kerja sama, komunikasi, dan negosiasi. Dengan mengajak siswa untuk berpikir kritis dan mencari solusi terhadap masalah sosial yang mereka hadapi, pendidikan ini mendorong mereka untuk menjadi warga negara yang aktif, peduli, dan bertanggung jawab.

b. Meningkatkan Kolaborasi dan Diskusi

Pembelajaran berbasis proyek juga sangat mendukung pengembangan keterampilan kolaborasi yang sangat penting dalam demokrasi. Kolaborasi mengajarkan siswa untuk bekerja dalam kelompok yang beragam, menghargai pendapat orang lain, dan menemukan solusi secara bersama-sama. Proses ini mengasah keterampilan diskusi dan debat, yang merupakan elemen utama dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan diambil setelah adanya pertimbangan dan diskusi yang matang.

Menurut Larmer et al. (2015), pembelajaran berbasis proyek mendukung pengembangan keterampilan sosial yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat demokratis. Siswa belajar untuk mengungkapkan pendapat mereka dengan cara yang konstruktif, mendengarkan pandangan orang lain, dan berkolaborasi dalam mencapai kesepakatan. Ini merupakan pengalaman yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang berbasis pada komunikasi yang sehat dan saling menghargai.

Kolaborasi dalam proyek juga mengajarkan siswa untuk bekerja dengan berbagai pihak, yang mencerminkan dinamika politik di dunia nyata. Misalnya, dalam simulasi legislatif, siswa bekerja bersama untuk merancang undang-undang, memahami perbedaan pendapat, dan mencapai kesepakatan. Pengalaman ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang sistem pemerintahan, tetapi juga mengajarkan bagaimana perbedaan pendapat dapat dikelola secara demokratis.

Secara keseluruhan, metode pembelajaran berbasis proyek menyediakan platform bagi siswa untuk mengasah keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan demokratis, termasuk kemampuan untuk bekerja sama, berpikir kritis, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sangat relevan dalam mendukung pendidikan yang mendorong pengembangan demokrasi yang inklusif dan berkelanjutan.

C. Tantangan dalam Pendidikan untuk Demokrasi

Pendidikan merupakan instrumen yang sangat kuat dalam membentuk masyarakat yang demokratis, tetapi penerapannya menghadapi berbagai tantangan. Tantangan-tantangan ini tidak hanya terkait dengan pengajaran dan metode, tetapi juga dengan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi sistem pendidikan. Beberapa tantangan utama dalam pendidikan untuk demokrasi adalah akses dan kesetaraan pendidikan serta pengaruh ideologi dan politik. Berikut ini adalah pengembangan mendalam dari kedua tantangan tersebut:

1. Akses dan Kesetaraan

Akses pendidikan yang setara merupakan salah satu fondasi utama bagi masyarakat demokratis. Tanpa pendidikan yang merata, tidak mungkin tercipta masyarakat yang demokratis, karena hanya segelintir orang yang akan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik dan sosial. Tantangan utama dalam hal ini adalah ketimpangan akses pendidikan yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan geografis, ekonomi, dan sosial.

a. Ketimpangan Geografis dan Ekonomi

Ketimpangan dalam akses pendidikan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, menjadi hambatan utama bagi terciptanya masyarakat demokratis yang inklusif. Di banyak wilayah, terutama di daerah terpencil dan pedesaan, akses terhadap pendidikan yang berkualitas sangat terbatas. Misalnya, sekolah-sekolah di daerah pedesaan sering kali kekurangan fasilitas yang memadai, memiliki guru yang kurang terlatih, dan menghadapi keterbatasan sumber daya lainnya.

Di sisi lain, daerah perkotaan seringkali memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan berkualitas tinggi dengan fasilitas yang lebih lengkap, seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses ke teknologi informasi yang lebih canggih. Kesenjangan ini mengakibatkan ketidaksetaraan yang signifikan dalam peluang pendidikan, yang pada gilirannya memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.

 Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka partisipasi sekolah di daerah terpencil masih jauh di bawah rata-rata nasional, mencerminkan adanya kesenjangan dalam kesempatan pendidikan yang sangat nyata di Indonesia.

Selain itu, faktor ekonomi turut memperburuk kesenjangan ini. Anak-anak dari keluarga kurang mampu seringkali menghadapi hambatan yang lebih besar untuk melanjutkan pendidikan mereka, seperti biaya sekolah, biaya transportasi, atau kebutuhan ekonomi yang mengharuskan mereka untuk bekerja. 

Kondisi ini menciptakan ketidaksetaraan yang tidak hanya terbatas pada pendidikan, tetapi juga berimplikasi pada ketidaksetaraan sosial dan politik, karena hanya sebagian kecil dari populasi yang dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi secara aktif.

b. Dampaknya terhadap Demokrasi

Ketimpangan dalam akses pendidikan menghasilkan masyarakat yang tidak setara secara sosial dan politik, yang dapat mengarah pada ketegangan sosial dan politik. Masyarakat yang terbelakang secara pendidikan cenderung memiliki pemahaman yang lebih terbatas tentang prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti hak asasi manusia, kebebasan berbicara, dan proses pemilu yang transparan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses demokrasi.

Lebih jauh lagi, ketimpangan pendidikan dapat menciptakan jurang pemisah yang dalam antara kelompok-kelompok masyarakat, yang pada akhirnya memicu konflik horizontal. Ketidaksetaraan dalam akses pendidikan memperburuk ketidakadilan sosial, menciptakan perasaan ketidakpuasan, dan memperburuk polarisasi politik. Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat perkembangan demokrasi yang inklusif dan merusak stabilitas sosial. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk memastikan bahwa pendidikan tersedia dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau geografi.

2. Pengaruh Ideologi dan Politik

Sistem pendidikan sering kali menjadi sasaran intervensi politik dan ideologi yang menghambat kebebasan akademik dan objektivitas kurikulum. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk membuka wawasan dan mengembangkan pemikiran kritis, sering kali terganggu oleh kepentingan politik yang berusaha mengarahkan pemikiran generasi muda ke arah tertentu.

a. Kurikulum yang Tidak Netral

Salah satu tantangan besar dalam pendidikan untuk demokrasi adalah pengaruh ideologi politik dalam penyusunan kurikulum. Di beberapa negara, kurikulum pendidikan tidak sepenuhnya bersifat netral dan seringkali dirancang untuk mendukung ideologi tertentu yang mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 

Misalnya, di negara-negara dengan rezim otoriter atau kurang demokratis, kurikulum sering kali dimanipulasi untuk mendukung pandangan politik tertentu, baik itu nasionalisme ekstrem, komunisme, atau ideologi lain yang membatasi kebebasan berpikir dan mengurangi ruang untuk perbedaan pendapat.

Kurikulum yang terpengaruh ideologi ini dapat menghambat perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa, karena mereka tidak diajarkan untuk mengevaluasi dan menganalisis berbagai perspektif secara objektif. Sebagai contoh, di beberapa negara, sejarah atau pelajaran politik mungkin diajarkan dengan cara yang sangat bias, hanya menyoroti pencapaian pemerintah yang sedang berkuasa dan mengabaikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. 

Hal ini berisiko menciptakan generasi yang tidak mampu berpikir kritis dan memahami beragam pandangan dalam masyarakat, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat dan penghargaan terhadap perbedaan.

b. Tekanan terhadap Kebebasan Akademik

Tekanan terhadap kebebasan akademik juga menjadi tantangan besar dalam pendidikan untuk demokrasi, terutama di negara-negara dengan stabilitas demokrasi yang rendah. Dalam banyak kasus, pendidik dan institusi pendidikan menghadapi ancaman atau tekanan untuk menyampaikan materi yang sesuai dengan garis ideologi pemerintah, yang seringkali mengorbankan prinsip-prinsip kebebasan akademik.

Di beberapa negara, pengajaran di universitas dan sekolah dapat dibatasi oleh kekhawatiran tentang pengaruh politik yang mungkin timbul dari pandangan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. 

Sebagai contoh, dosen atau guru yang mengajarkan topik-topik yang dianggap kontroversial atau kritis terhadap pemerintah dapat menghadapi tindakan hukuman, termasuk pemecatan atau ancaman fisik. Dalam konteks ini, kebebasan akademik menjadi salah satu nilai yang paling terancam, dan pendidikan untuk demokrasi menjadi semakin sulit dijalankan.

Tekanan terhadap kebebasan akademik juga berdampak pada pengembangan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa dan pelajar. Jika mereka hanya diajarkan satu perspektif yang dikendalikan oleh pemerintah atau kelompok ideologi tertentu, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan pandangan yang lebih luas dan objektif tentang dunia. 

Kebebasan untuk mengakses informasi, berdiskusi, dan mempertanyakan asumsi adalah aspek penting dalam pendidikan demokrasi. Tanpa kebebasan akademik yang kuat, sistem pendidikan akan kesulitan untuk menghasilkan warga negara yang memiliki pemikiran kritis dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.

Secara keseluruhan, pengaruh ideologi dan politik terhadap sistem pendidikan dapat merusak kualitas pendidikan dan melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. Pendidikan harus tetap menjadi arena bebas untuk berpikir, berdiskusi, dan mengeksplorasi berbagai perspektif, agar dapat mencetak generasi yang siap untuk berpartisipasi dalam demokrasi dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab.

 

KESIMPULAN

Pendidikan adalah pilar utama dalam membangun demokrasi yang kuat. Melalui pengajaran nilai-nilai kewarganegaraan, pengembangan keterampilan berpikir kritis, dan penerapan metode pembelajaran inovatif, pendidikan dapat menciptakan masyarakat yang inklusif dan partisipatif. Namun, tantangan seperti kesenjangan akses dan intervensi ideologi memerlukan solusi yang terintegrasi agar pendidikan dapat berfungsi sebagai agen demokrasi yang efektif.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2023). Laporan Pendidikan Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Dewey, J. (1916). Democracy and Education. New York: Macmillan.

Hoskins, B., Janmaat, J. G., & Melis, G. (2017). Education for Democratic Citizenship: A Framework for European Policy. Springer.

Kupiainen, R. (2019). Media Literacy Education: Concepts, Policies, and Practices. Nordic Journal of Education.

Larmer, J., Mergendoller, J. R., & Boss, S. (2015). Setting the Standard for Project Based Learning: A Proven Approach to Rigorous Classroom Instruction. ASCD.

UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report: Inclusion and Education. UNESCO Publishing.

Westheimer, J., & Kahne, J. (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy. American Educational Research Journal, 41(2), 237--269.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun