Dua minggu dalam perawatan Cempluk, pemuda itu sudah dapat bangkit dari pembaringan, tertatih-tatih berjalan keluar pintu, dalam penjagaan Cempluk dengan memegangi lengannya. Mereka duduk di atas sebatang kayu Nangka yang di tebang Ki Sura Menggala.
"Maafkan aku Nini. Membuatmu repot merawatku." Kata pemuda itu lirih.
"Kakang tidak bersalah kepadaku. Tak perlu minta maaf. Sebaliknya akulah yang berterima kasih kepada kakang, telah melepaskan aku dari tangan Sura Gentho." Jawab Cempluk yang juga duduk di atas kayu nangka itu. Semilir angin membelai kulit mereka di sore hari yang cerah itu.
"Kenalkah Nini dengan lelaki itu ?" Tanyanya.
"Bapa bersahabat dengan gurunya. Iapun sering kesini saat aku masih kecil. Entah setan mana yang merasukinya, sehingga berani hendak menodaiku setelah lama tidak bertemu."
"Terima kasih atas perawatanmu. Membuat aku kerasan tinggal di sini. Â Barangkali sama dengan Sura Gentho, aku juga jatuh cinta padamu."kata pemuda itu.
Cempluk tersipu. Hatinya berdebar. Ia menundukkan kepalanya. Gerak-geriknya menjadi kikuk seketika.
"Siapakah namamu ? Nini ?"
"Cempluk Warsiyah. Nama kakang ?"
"Aku Subroto. "Â
"Di mana rumah kakang ? Aku tak pernah bertemu pemuda seperti kakang, berpakaian bagus sambil menunggang seekor kuda yang tegar. Pasti kakang anak orang kaya."