"Bajingan !!! Kenapa kau menyilangkan kudamu di depanku." Kata Sura Gentho marah.
"Agar kisanak tidak lagi mengejar gadis itu." Jawab pemuda itu sambil melepas kudanya.
"Apa urusanmu ? Kau bukan sanak kadang kami, kenapa peduli ?" Tanya Sura Gentho.
"Peristiwa ini bisa menjadi urusan setiap orang yang masih waras otaknya." Jawab pemuda itu.
Pertengkaran adu mulut terus terjadi. Pemuda itu dengan beraninya menghadang, setiap saat Sura Gentho hendak mengejar Cempluk lagi. Akhirnya terjadilah sebuah perkelahian di jalan dekat gapura masuk desa Ngampal.
Cempluk berhenti mendengar teriakan-teriakan dua orang yang berbantah. Ia menoleh, matanya melihat sebuah pemandangan yang menakutkan. Sura Gentho tengah melancarkan serangan-serangan yang dahsyat kepada pemuda yang mengganggunya.
Cempluk tak ingin berlama-lama menyaksikan perkelahian itu. Ia tak mau keselamatannya terancam jika Sura Gentho memenangkan perkelahian. Iapun berlari lagi melanjutkan langkahnya untuk pulang.
****
Ki Ageng Sura Menggala terkejut anaknya berlari dengan tergesa-gesa masuk halaman. Ia segera bangkit dari duduknya di atas tanah di sisi pintu depan rumahnya. Waktu istirahatnya untuk mengeringkan keringat terganggu melihat Cempluk yang nampak ketakutan.
"Kenapa kau lari-lari seperti dikejar setan, nduk. Keringatmu deras, tubuhmu basah kuyub. Wajahmu juga pucat." Kata Ki Ageng.
"Bapa, hah hah hah. Kakang Sura Gentho bapa, hah hah." Katanya tersendat-sendat di tengah nafasnya yang masih terengah-engah. Berulang kali ia menelan ludahnya karena kehausan.