Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Getaran Cinta Cempluk Warsiyah

22 Oktober 2024   18:35 Diperbarui: 28 Oktober 2024   15:06 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saat itu namanya banyak dikenal sebagai Warok Sura Menggala, senapati terpercaya Kadipaten Wengker. Namun di hari tuanya ia lebih memilih tinggal di desa, bersama Cempluk putri tunggalnya.

******

Pagi itu, ketika matahari belum menampakkan wajahnya, Cempluk sudah bangun. Ia regangkan ototnya beberapa kali, untuk mengusir dingin yang membelai kulit. Lantas ia bangkit dan berjalan menuju pakiwan.

Setelah berkumur membuang rasa sepat di mulutnya dan mencuci mukanya, ia bergegas mengambil sapu lidi. Dengan santai, sebagaimana rutin ia lakukan, sampah dedaunan yang luruh dari pohonnya ia bersihkan dari halaman. Setelah terkumpul di pawuhan atau lubang galian tanah tempat sampah, ia ambil obor yang masih menyala dari gapura halaman rumah. 

Ia sulut sampah itu dengan api, ia tunggu sebentar sampai api berkobar sambil berdiri dan memegangi tangkai sapu lidinya yang panjang. Asap putih bergumpal-gumpal membubung, membelah langit pagi yang mulai terang.

Kerja rutin menyapu halaman, lantai rumah, menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan, serta kerja-kerja lainnya di rumah, barangkali itulah yang membentuk tubuh dan ototnya nampak kencang dan kuat. Dengan lulur bikinannya sendiri sering ia balur kulit mukanya saat menjelang tidur, membuat wajahnya nampak ayu alami, kulitnya bersih lembut dan mengkilap.

Hampir semua pekerjaan di rumah ia tangani sendiri, bahkan membelah kayupun kadang ia kerjakan sendiri, jika ayahnya tidak ada di rumah. Ditambah nilai-nilai keluhuran budi yang ditanam ayahnya sambil lalu saat bercengkrama, membuat Cempluk semakin sempurna. Keayuannya memancarkan cahaya agung, teduh mempesona. Ia laksana permata keraton yang kesingsal hidup di pedesaan.

Pagi itu setelah mandi dan berdandan, segera ia ambil tas anyaman daun pandan dan ia cangklong pada pundaknya. Ia hampiri ayahnya yang sedang mencangkul di pekarangan sebelah rumah. Cempluk tersenyum melihat ayahnya masih kuat membuat gulutan -gulutan tanah yang akan ditanami singkong. Bahan pangan murah, menu favorit ayahnya itu.

"Bapa aku mau belanja ke pasar. Bapa titip dibelikan apa ?" Katanya kepada ayahnya tercinta.

"Heeem. Belanja ke pasar ? Tidakkah kau suruh saja Mbok Semi untuk pergi ? " tanya ayahnya sambil menatap anak gadisnya yang berdandan rapi.

"Apa Bapa lupa, tiga hari lagi geblake simbok ?" Tanya putrinya. "Aku ingin menangani sendiri persiapan selamatan untuk peringatan hari itu. Bapa." Lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun