Ki Ageng Sura Menggala mengangguk-anggukkan kepala. Ia sendiri lupa jika tiga hari lagi adalah saat kematian isterinya. Ia usap peluhnya di leher dengan tangan kirinya.
"Baiklah, belikan aku kinangan saja. Hati-hati di jalan, segera pulang jika telah selesai belanja." Kata Ki Sura Menggala.
"Sendika bapa. Kalau haus telah aku buatkan minuman bapa. Aku letakkan bumbungnya di meja dapur. Air sere." Kata Cempluk.
"Yah. Bapa juga sudah haus. Terima kasih nduk, cah ayu."
Cempluk segera balik badan dan mengayun langkahnya pergi ke pasar desa Kertasari. Tanpa mereka ketahui sepasang mata mengamati gerak-gerik mereka dari balik pohon di kejauhan.
****
Tengah hari Cemplok baru pulang dari pasar. Tasnya penuh barang belanja, bumbu-bumbu bahan masakan yang harus ia siapkan untuk selamatan memperingati hari kematian ibunya. Jalannya gontai terberati beban, panas mentari yang terik memeras peluh membasahi badan.
"Pluk, Cempluk. Istirahat dulu, nampaknya kau lelah." Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang dari bawah pohon di pinggir jalan. Cempluk menoleh, ia tersenyum melihat orang yang memanggilnya.
"Kakang Gentho. Kenapa duduk di situ ? Tidak langsung pergi ke rumah ? Bapa ada di rumah Kang. Beliau tentu senang Kakang Gento mengunjunginya." Kata Cempluk sumringah.
Sura Gento sudah dikenalnya sejak kecil. Ia keponakan, sekaligus murid pamannya Warok Gunaseca. Tak ada kecurigaan apa-apa di hati Cempluk, melihat Sura Gentho istirahat di tepi jalan dekat gapura masuk desa Ngampal. Hari memang agak terik, menyebabkan orang ingin berteduh setelah berjalan jauh.
"Kemarilah, di situ panas. Aku lagi istirahat menikmati teduh di bawah pohon ini." Ajak Sura Gentho. Cemplukpun menghampiri. Peluhnya juga terperas setelah berjalan pulang dari pasar.