Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Mistis di Pangkal Paha Ken Dedes

19 Oktober 2024   00:45 Diperbarui: 19 Oktober 2024   16:35 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Terus terang usianya yang muda menurunkan kepercayaanku untuk melakukan kerja besar dan berat, memadamkan kerusuhan yang sering terjadi di berbagai sudut negeri ini. Biarlah tugas itu aku panggul sendiri, Tunggul Ametung belum terlalu tua untuk bisa menumpas para perusuh itu." Kata Akuwu sambil tersenyum simpul.

"Baiklah akuwu. Yang penting aku telah memenuhi kesanggupanku, mencari kesatria sebagai jago negeri ini." Kata Tunggul Ametung pasrah, ia tak mampu menandingi Tunggul Ametung untuk bersilat kata.

"Bolehkah hamba mengajukan permohonan tuan Akuwu ?" Kata Arok memohon.

"Boleh, kenapa tidak. Tapi jangan meminta upah dulu sebelum bekerja. Keluar keringat. Tak ada sarapan pagi bagi mereka yang tak mau kerja, kerja dan kerja." Jawabnya sambil tersenyum.

"Puri istana Tumapel sangat luas tuan, tidak bisa hamba bekerja sendirian. Jika harus menjaga isi puri pula, betapa besar tanggung jawab yang harus dipikul. Sementara kerja harus segera dilakukan, siapa tahu para perusuh itu menolehkan pandangannya kesini besok atau lusa. Betapa lebih berat lagi beban yang harus dipikul. Hamba belum kenal dengan prajurit yang mulia, akan kikuk rasanya saya orang baru harus memimpin mereka. Bolehkah saya membawa lima puluh orang sahabat-sahabat saya untuk membantu hamba ?" Kata Arok.

Tunggul Ametung diam, pikirannya bekerja menimbang-nimbang. Menerima satu orang yang bukan kepercayaannya sendiri terasa berat, apalagi harus menerima lima puluh orang. Namun mengingat pemuda di depannya terlihat seperti orang desa biasa, tentu tak berbeda dengan lima puluh orang sahabatnya. Sementara prajurit pengawalnya banyak, dan tersebar di mana-mana. Andai jagoan Loh Gawe membuat rusuh, lama memijat buah ceplukan untuk menumpasnya.

"Baiklah. Bawa teman-temanmu itu. Aku percayakan keamanan puri dan isinya ini kepada kalian." 

Pertemuan dengan Tunggul Ametung itu berakhir setelah ia dan gurunya diusir keluar, karena ada prajurit Tumapel yang masuk istana hendak melaporkan kejadian kerusuhan yang baru saja berlangsung di daerahnya.

"Ternyata setan itu punya otak juga. Dikurungnya kalian nanti di puri ini agar tak bisa memadamkan kerusuhan di negeri ini." Kata Loh Gawe sambil berbisik di dekat telinga Ken Arok saat perjalanan pulang.

"Jangan kawatir guru. Kelak alam akan memberi jalan. Yang penting aku kini sudah ada di tengah sumber kerusuhan. Janjiku kepada guru,  akulah yang menjadi anak bajang itu, yang menggiring angin untuk menjadi badai, agar bisa menggulung manusia jahanam dan keparat itu." Kata Arok penuh percaya diri.

"Yah, pangestuku untukmu, garudaku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun